Sumatera Barat Menuju Pariwisata Syari’ah, Antara Gagasan dan Peluang
Imnati Ilyas dengan latar belakang persiapan suatu acara di Istano Silinduang Bulan Kerajaan Pagaruyung, Maret 2015. |
Sumatera
Barat Menuju Pariwisata Syari’ah, Antara Gagasan dan Peluang:
sinkronisasi caturlogi wisata syariah di sumbar [1]
Oleh Shofwan Karim [2]
I.
PENDAHULUAN
Sumatera Barat berpenduduk 4.846 .909
jiwa, terdiri atas 19 Kota dan Kabupaten, terletak di tengah-barat Pulau
Sumatera dan dilalui Garis
Khattulistiwa. Hanya 30 % lahan yang dapat ditanami oleh petani. Selebihnya
adalah dataran tinggi, pegunungan dan
bukit barisan, danau, dataran rendah, lemba, hutan lindung dan cagar alam yang menjadi paru-paru dunia.
Menurut data 2010, penduduk Sumatera
Barat mayoritas etnis Minangkabau
88,35%, Batak, 4.42 %, Jawa 4,15 % dan Mentawai 1,28 %, lain-lain 1,8%.
Beragama Islam 97,4 %, Kristen Katholik dan Protestan 2,2%, Buddha 0,26 % dan
Hindu 0,01%. [3]
Masyarakat Minangkabau terkenal sebagai
kaum yang suka merantau. Boleh jadi,
karena lahan yang sempit dan masalah internal dan eksternal lain, membuat sebagian besar mereka suka merantau,
melakukan migrasi spontan. [4]
Islam masuk ke Minangkabau sebagai juga masuknya
Islam ke wilayah nusantara ini, melalui beberapa gelombang. Mulai dari abad
ke-7, terhenti, mulai lagi abad, kle-13 dan terhenti, kemudian dengan dianutnya
Islam oleh Raja Pagaruyung, maka Islam menjadi agama resmi masyarakat
Minangkabau . Sampai sekarang, agama ini kokoh dipegang. [5]
Bahkan Islam (syara’) menjadi kekuatan yang saling menupang dengan adat. Maka
lahir adagium “ adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah, syara’ mengato, adaik mamakai” [6].
Di tengah masyarakat modern, kemajuan semua
lini kehidupan, pembangunan di segala bidang dan sektor, bagaimanakah adagium
itu dapat diaktualisasikan? Salah satu di antaranya di dunia
kepariwisataan.
Shofwan dan Imnati, Winter, February, 18-20, 2015 Ottawa, Omtario, Canada (Photographed by Andis) |
Imnati with our very nice friend, Kristine Greenaway, in Montreux, Swiss, May 18, 2013 (Photographed by Shofwan Karim) |
Di dalam kaitan ini Seminar
Internasional, “ Sumatera Barat menuju pariwisata syariah, antara gagasan dan
peluang”, ini menjadi amat penting. Di dalam hal ini perlu kita gambarkan
bagaimana pariwisata syariah di Indonesia. Kemudian perlu sinkronisasi antara
alam, budaya, masyarakat dan nilai-nilai syar’i (Islam) yang selanjutnya saya
sebut sebagai cartur logi wisata syariah.
II. PARIWISATA SYARIAH
Dunia
kepariwisataan di Indonesia sejak 2 tahun lalu mulai menggagas frasa kata apa
yang disebut wisata syariah. Sebagai gambaran umum apa itu pariwisata syariah,
untuk sementara dapat kita pahami sebagai apa yang saya kutip brikut:
http://travel.detik.com/read/2012/12/21/174712/2124858/1382/wisata-syariah-siap-hadir-di-indonesia. Akses, 12.03.2014
“Wisata syariah adalah cara baru untuk mengembangkan pariwisata Indonesia. Kemenparekraf dan Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah bekerjasama untuk wisata yang menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai Islami.
Dari rilis yang diterima detik Travel dari Kemenparekraf, Jumat (21/12/2012), Kemenparekraf dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menandatangani MoU terkait sosialisasi pembinaan aspek kesyariahan untuk stakeholder pariwisata syariah. Penandatanganan dan pertemuan kedua belah pihak ini berlangsung di The Empire Palace, Surabaya, Kamis (20/12) kemarin.
Hal ini menandai mulai aktifnya pengembangan dan promosi Indonesia sebagai destinasi wisata syariah dunia. Beberapa destinasi wisata yang saat ini mempunyai potensi untuk dipromosikan sebagai destinasi wisata syariah tersebut adalah Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Makasar, dan Lombok.Pariwisata syariah dapat didefinisikan sebagai berbagai macamkegiatan pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah yang memenuhi ketentuan syariah. Pariwisata syariah ini sejalan dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang disebutkan mengenai pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dan juga tentang kode etik pariwisata dunia yang menjunjung tinggi budaya dan nilai–nilai lokal.
Kemenparekraf menyiapkan standarisasi usaha wisata syariah mulai dari hotel, restoran, spa, biro perjalanan wisata. Kemenparekraf akan menggandeng universitas-universitas untuk menyiapkan SDM industri wisata syariah seperti guide, customer service di hotel.
Dari sisi promosi, Kemenparekraf mempromosikan Indonesia sebagai destinasi wisata yang ramah, aman dan nyaman bagi wisatawan muslim. Parekraf juga akan ikut dalam event pariwisata syariah di luar negeri…….”
Dari rancangan
pemerintah tadi, maka tahun 2014 akan diluncurkan program nasional Pariwisata
syariah. Lihat :
http://travel.kompas.com/read/2014/01/07/1717322/Inilah.9.Destinasi.Wisata.Syariah.di.Indonesia.
Akses, 15.03.14.
Kita kutip,
“Wisata syariah bukanlah wisata eksklusif karena wisatawan non-Muslim juga dapat menikmati pelayanan yang beretika syariah. Wisata syariah bukan hanya meliputi keberadaan tempat wisata ziarah dan religi, melainkan pula mencakup ketersediaan fasilitas pendukung, seperti restoran dan hotel yang menyediakan makanan halal dan tempat shalat.
Produk dan jasa wisata, serta tujuan wisata dalam pariwisata syariah adalah sama seperti wisata umumnya selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan etika syariah. Contohnya adalah menyediakan tempat ibadah nyaman seperti sudah dilakukan di Thailand dan negara lainnya yang telah menerapkan konsep tersebut terlebih dahulu.
Potensi wisata syariah di Indonesia sangat besar dan bisa menjadi alternatif selain wisata konvensional. Sekitar 7 juta wisatawan dan 17 persen di antaranya merupakan wisatawan Muslim.”
Kelihatan oleh kita sekarang bahwa parisiwisata
syariah bukan lagi gagasan tetapi sudah meningkat ketahap berikutnya yaitu
usaha kearah yang lebih konkret. Meskipun landasan hukum, undang-undang dan peraturannya ,
secara berbarengan tengah disiapkan pemerintah. Akan tetapi usaha wisata syariah
sudah dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat. Maka lahirlah travel syariah,
hotel syariah dan restoran syariah serta destinasi syariah lainnya. Ini artinya
merupakan kelanjutan dari apa yang sejak dulu sudah ada yang kita sebut sebagai
wisata ziarah, wisata budaya dan wisata reliji.
III.
CATUR LOGI WISATA SYARIAH SUMBAR
Dunia
pariwisata selama ini lebih kepada sinkronisasi antara alam, budaya (kultur)
dan masyarakat (trilogi). Maka apa yang kita maksud dengan wisata syariah
tentulah menambah satu lagi logos baru, yaitu wisata yang mempunyai aura religi
yang nilai-nilainya serta etika dan aktifitasnya, sarana dan prasarananya
sinkron dengan syar’i.
Saya
menyebut ini sebagai caturlogi wisata
syariah di Sumbar, sebagai salah satu dari destinasi wisata syariah dari 9
wilayah daerah yang ditetapkan Kemenpekraf dan MUI sebagai sudah diutarakan
pada bagian terdahulu. Maka catur logi yang harus kita sinkronkan adalah alam,
kultur, masyarakat dan nilai syariah.
Tari Pasambahan menyambut pengantin di Payakumbuh, Mahasiswa ISI Padang Panjang, April, 2016 (Foto: Shofwan Karim) |
Di
Sumbar, sebagai telah saya utarakan pada pendahuluan dan sudah diketahui semua,
sinkronisasi catur logi tadi sudah berjalan sesuai alamiah dan kodratnya saja.
Masalahnya adalah bagaimana mencermati dan menghitung satu-satu potensi yang ada di Sumbar. Saya tidak perlu menyebut
lagi soal potensi alam, semua kita sudah tahu. Begitu pula potensi religi dan
nilai syariah yang kita punya, semua sudah tahu. Begitu pula potensi budaya saya.
Semua
itu dapat diliha pada makalah saya terlampir pada,
“Annual Lecture dan Seminar Mengenang
Tokoh Diplomasi Bung Hatta: Apresiasi Perjalanan 50 Tahun Hubungan Diplomatik
RI-Malaysia”, kerjasama Universitas Andalas dengan Deplu RI (Dit. Asia Timur
& Pasifik dan Dit. Diplomasi Publik) dan KBRI Kuala Lumpur di Padang,
Kamis, 19 April 2007.
Kembali
ke carturlogi pariwisata syariah di Sumbar, perlu ditekankan bahwa kata syariah
di sini bukan masalah halal dan haram. Akan tetapi bagaimana nuansa syariah itu
muncul di dalam penerapan etika budaya oleh masyarakat sendiri yang ada di sumbar, terhadap
diri, dan kepada wisatawan domistik. Begitu pula kepada para wisatawan
mancanegara. Di dalam hal ini dari 17 % wisatawan muslim ke Indonesia, sebagian
di antaranya masuk ke Sumbar menjadi subyek sekaligus objek penerapan
nilai-nilai syar’i tersebut.
IV.
KESIMPULAN DAN PENUTUP
Melihat
kepada alam, budaya, social-masyarakat dan nilai-nilai syar’i yang hidup dalam
masyarakat Sumbar, dapat disimpulkan bahwa sinkronisasi itu secara alamiah
telah terlaksana. Akan tetapi bagaimana meningkatkannya menjadi lebih produktif
dan dapat meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah, inilah yang harus
terus menerus secara terencana, terprogram dengan sarana, prasana dan
pendidikan masyarakat, dilaksanakan dan ditingkatkan.
·
Wa Allah a’lam bi al-sahwab. ***
[1]
Seminar Internasional Fakultas Pariwisata UMSB, Sumbar Menuju Pariwisata
Syari’ah: Antara Gagasan dan Peluang,
Bukittinggi, 15 Maret 20-14.
[2]
Shofwan Karim, BA., Drs., MA., DR. (IAIN IB Padang, 1976 dan 1982); MA., DR.
(IAIN dan
UIN Jakarta, 1991 dan 2008) adalah Dosen IAIN IB Padang (1985-
sekarang)
dan Rektor UMSB 2004-2013.
Disertasi
Ph.D. University of Singapore, 1974.
Hal. 10
[5]
Periode I abad ke
7 di masa pemerintahan Dinasti Umayyah Islam masuk di wilayah Minangkabau
Timur. Perkembangan itu terhenti sampai abad ke-8 oleh "counter
action" Dinasti T'ang dari Cina karena perebutan dominasi ekonomi. Periode
II antara abad ke 10 sampai abad ke-12 ketika Dinasti Fatimiyah di Mesir
(976-1168 M.) mengirim misinya dan menyebarkan Islam Syi'ah. Periode III pada
abad ke-15 kembali Islam masuk dan pada pertengahan abad ke-16 Sultan Alif
keluarga raja Minangkabau memeluk Islam beserta seluruh warga Minangkabau.
Lihat M.D. Mansoer, Et. al., Sejarah Minangkabau (Jakarta: Bhratara,
1970), h. 44, 45, 47, 48, 49, 63; lihat juga, HAMKA, Ayahku:
Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera, (Jakarta: UMMINDA,
1982) h. 3, 14-20. Juga B.J.O. Schrieke, Pergolakan Agama di Sumatera
Barat (Jakarta:
Bhratara, 1973), h. 11-23.
[6]
Adat (budaya-hidup) bersendikan syara’, syarak, bersendikan kitabullah
(al-Quran dan Sunnah). Syara’ memberikan dalil dan hujjah, adat yang
menjalankannnya.
Komentar