Sejarah Tahlilan
SEJARAH LAHIRNYA TAHLILAN DALAM UPACARA KEMATIAN, KHUSUSNYA DI TANAH JAWA, INDONESIA.
Oleh: Sangadji EM
(Tulisan ini tdk bertujuan utk menohok pihak tertentu, tapi sebagai kajian ilmu agar kita paham sejarah lahir'y Upacara Tahilan)K
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta Pengembangan Islam di Pulau Jawa adlh Para Ulama/Mubaligh yg berjumlah sembilan, yg populer dgn sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yg berpusat di Demak, Jawa Tengah.
Para Ulama yg sembilan dlm menyiarkan dan Mengembangkan Islam di Tanah Jawa yg mayoritas penduduk'y Beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dlm membuang Adat Istiadat Upacara Keagamaan lama bagi mereka yg telah Masuk Islam.
Para Ulama yg sembilan (Wali Songo) dlm menanggulangi masalah Adat Istiadat lama bagi mereka yg telah Masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adlh suatu aliran yg di pimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dgn para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dlm masalah ibadah sama sekali tdk mengenal kompromi dgn Ajaran Budha, Hindu, Keyakinan Animisme dan Dinamisme.
Org yg dgn suka rela Masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala Adat Istiadat lama yg bertentangan dgn Syari'at Islam tanpa reserve. Karena murni'y aliran dlm menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini di sebut ISLAM PUTIH.
Ad pun ALIRAN TUBAN adlh suatu aliran yg di pimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yg di dukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat Moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikut'y yg mengerjakan Adat Istiadat Upacara Keagamaan lama yg sdh mendarah daging sulit di buang, yg penting mereka mau Memeluk Islam. Agar mereka jgn terlalu jauh menyimpang dari Syari'at Islam. Maka Para Wali Aliran Tuban berusaha agar Adat Istiadat Budha, Hindu, Animisme dan Dinamisme di warnai Keislaman.
Karena Moderat'y aliran ini maka pengikut'y jauh lebih byk di bandingkan dgn pengikut Aliran Giri yg "Radikal". Aliran ini sangat di sorot oleh Aliran Giri karena di tuduh mencampur adukan Syari'at Islam dgn Agama lain. Maka aliran ini di cap sebagai Aliran ISLAM ABANGAN
Dgn ajaran Agama Hindu yg terdapat dlm Kitab Brahmana. Sebuah kitab yg isi'y mengatur tata cara Pelaksanaan Kurban, sajian-sajian utk menyembah Dewa-Dewa dan upacara menghormati Roh-Roh utk menghormati org yg telah mati (Nenek Moyang) ad aturan yg di sebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.
Yajna Besar di bagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna.
1. Somayjna adlh upacara khusus utk org-org tertentu. Ad pun,
2. Hafiryayajna utk semua org.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain.
Dari empat macam tersebut ad satu yg sangat berat di buang sampai skrg bagi org yg sdh Masuk Islam adlh Upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati Roh-Roh org yg sdh mati.
Dlm upacara Pinda Pitre Yajna, ad suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali ke dunia ad yg menjadi Dewa, Manusia, Binatang dan bahkan menjelma menjadi Batu, Tumbuh-Tumbuhan dan lain-lain sesuai dgn amal perbuatan'y selama hidup, dari 1-7 hari Roh tersebut masih berada di lingkungan rumah keluarga'y. Pd hari ke 40, 100, 1000 dari Kematian'y, roh tersebut datang lg ke rumah keluarga'y. Maka dari itu, pd hari-hari tersebut harus di adakan upacara saji-sajian dan bacaan Mantera-Mantera serta Nyanyian Suci utk memohon kpd Dewa-Dewa agar roh'y si fulan menjalani Karma menjadi manusia yg baik, jgn menjadi yg lain'y.
Pelaksanaan upacara tersebut di awali dgn Aghnideya, yaitu menyalakan Api Suci (Membakar Kemenyan) utk kontak dgn Para Dewa dan roh si fulan yg di tuju. Selanjut'y di teruskan dgn menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain utk di persembahkan ke Para Dewa, kemudian di lanjutkan dgn bacaan Mantra-Mantra dan Nyanyian-Nyanyian Suci oleh Para Pendeta agar permohonan'y di kabulkan.
Musyawarah Para Wali
Pd masa Para Wali di bawah pimpinan Sunan Ampel, pernah di adakan musyawarah antara Para Wali utk memecahkan Adat Istiadat lama bagi org yg telah Masuk Islam.
Dlm musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua Aliran Tuban mengusulkan kpd Majlis Musyawarah agar Adat Istiadat lama yg sulit di buang, termasuk di dlm'y upacara Pinda Pitre Yajna di masuki Unsur Keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yg serius pd waktu itu sebab Para Ulama (Wali) tahu benar bahwa Upacara Kematian adat lama dan lain-lain'y sangat menyimpang dgn Ajaran Islam yg sebenar'y.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yg penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku Penghulu Para Wali pd waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
"Ap kah tdk di khawatirkan di kemudian hari, bahwa Adat Istiadat lama itu nanti akan di anggap sebagai Ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti ap kah hal ini tdk akan menjadikan Bid'ah"?
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian di jawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
"Sy sangat setuju dgn pendapat Sunan Kali Jaga"
Sekali pun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tdk menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dgn keinginan'y. Mulai saat itu lah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dlm Agama Hindu yg bernama Pinda Pitre Yajna di lestarikan oleh Org-Org Islam Aliran Tuban yg kemudian di kenal dgn nama Nelung Dina (3 hari), Mitung Dina (7 hari), Matang Puluh (40 hari), Nyatus (100 hari) dan Nyewu (1.000 hari)
Dari akibat lunak'y Aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yg berkembang subur, akan tetapi keyakinan Animisme dan Dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tdk lah heran murid'y Sunan Kali Jaga sendiri yg bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yg sangat leluasa utk Mensinkritismekan Ajaran Hindu dlm Islam.
Dari hasil olahan'y, maka lahir suatu Ajaran Klenik/Aliran Kepercayaan yg Berbau Islam. Dan tumbuh lah ap yg di sebut "Manunggaling Kawula Gusti" yg arti'y Tuhan menyatu dgn tubuh ku. Maka tata cara utk mendekatkan diri kpd Allah Ta'ala lewat Shalat, Puasa, Zakat, Haji dan lain sebagai'y tdk usah di lakukan.
Sekali pun Syekh Siti Jenar berhasil di bunuh, akan tetapi murid-murid'y yg cukup byk sdh menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai skrg.
Keadaan Umat Islam setelah Para Wali meninggal dunia semakin jauh dari Ajaran Islam yg sebenar'y. Para Ulama Aliran Giri yg terus mempengaruhi para Raja Islam pd khusus'y dan masyarakat pd umum'y utk menegakkan Syari'at Islam yg murni mendapat kecaman dan ancaman dari para Raja Islam pd waktu itu, karena Raja-Raja Islam mayoritas menganut Aliran Tuban. Sehingga pusat Pemerintahan Kerajaan di Demak berusaha di pindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para Ulama Aliran Giri.
Pd masa Kerajaan Islam di Jawa, di bawah pimpinan Raja Amangkurat I, Para Ulama yg berusaha mempengaruhi Keraton dan masyarakat, mereka di tangkapi dan di bunuh/di brondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 Org Ulama.
Melihat tindakan yg sewenang-wenang terhadap Ulama Aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan utk menyerang Amangkurat I yg keparat itu.
Pd masa Kerajaan di pegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayah'y, ia membalas dendam terhadap Truno Joyo yg menyerang pemerintahan ayah'y. Ia bekerja sama dgn VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta Santri Aliran Giri di bunuh habis-habisan, bahkan semua Keturunan Sunan Giri di habisi pula.
Dgn demikian lenyap lah sdh Ulama-Ulama Penegak Islam yg konsekwen.
Ulama-Ulama yg boleh hidup di masa itu adlh Ulama-Ulama yg lunak (Moderat) yg mau menyesuaikan diri dgn keadaan masyarakat yg ad. maka bertambah subur lah Adat-Istiadat lama yg melekat pd Org-Org Islam, terutama Upacara Adat Pinde Pitre Yajna dlm Upacara Kematian.
Keadaan yg demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ad Seorang Ulama pun yg muncul utk mengikis habis Adat-Istiadat lama yg melekat pd Islam terutama Pinda Pitre Yajna.
Baru pd tahun 1912 M, muncul seorang Ulama di Yogyakarta bernama K.H.Ahmad Dahlan yg berusaha sekuat kemampuannya utk mengembalikan Islam dari sumber'y yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dlm Masyrakat Indonesia telah byk di campuri berbagai ajaran yg tdk berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan Khurafat dan Bid'ah sehingga Umat Islam hidup dlm keadaan Konservatif dan Tradisional.
Muncul'y K.H.Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala Adat Istiadat Budha, Hindu, Animisme, Dinamisme yg melekat pd Islam, akan tetapi jg menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dlm Islam, agar Umat Islam menjadi umat yg maju seperti umat-umat lain.
Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan Beliau tersebut di sambut negatif oleh sebagian Ulama itu sendiri, yg ternyata Ulama-Ulama tersebut adlh Ulama-Ulama yg tdk setuju utk membuang beberapa Adat Istiadat Budha dan Hindu yg telah di warnai Keislaman yg telah di lestarikan oleh Ulama-Ulama Aliran Tuban dahulu, yg antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yg di isi Nafas Islam, yg terkenal dgn nama Upacara Nelung Dina (3 hari), Mitung Dina (7 hari), Matang Puluh Dina (40 hari), Nyatus (100 hari) dan Nyewu (1.000 hari).
Pd tahun 1926 para Ulama Indonesia bangkit dgn di dirikan'y organisasi yg di beri nama "Nahdhatul Ulama" yg di singkat NU.
Pd Muktamar'y di Makassar, NU mengeluarkan suatu keputusan yg antara lain :
"Setiap acara yg bersifat Keagamaan harus di awali dgn Bacaan Tahlil yg sistimatika'y seperti yg kita kenal skrg di masyarakat".
Keputusan ini nampak'y benar-benar di laksanakan oleh Org NU. Sehingga semua acara yg bersifat Keagamaan di awali dgn Bacaan Tahlil, termasuk Acara Kematian. Mulai saat itu lah secara lambat laun Upacara Pinda Pitre Yajna yg di warnai Keislaman berubah nama menjadi Tahlilan sampai skrg.
Sesuai dgn sejarah lahir'y Tahlilan dlm upacara kematian, maka istilah Tahlilan dlm Upacara Kematian hanya di kenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tdk ad acara ini. Seandai'y ad pun hanya sebagai rembesan dari Pulau Jawa saja.
Ap lg di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lain'y di seluruh dunia sama sekali tdk mengenal Upacara Tahlilan dlm Kematian ini.
Dgn sdh mengetahui sejarah lahir'y Tahlilan dlm Upacara Kematian yg terurai di atas, maka kita tdk akan lg mengatakan bahwa Upacara Kematian adlh Ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa org yg tdk mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran Agama Hindu. Org-Org Hindu sama sekali tdk mau melestarikan Ajaran Islam, bahkan tdk mau kepercikan Ajaran Islam sedikit pun.
Tetapi kenapa kita Org Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka?
Tak cukup kah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Salam yg sdh jelas terang benderang saja yg kita kerjakan. Kenapa harus di tambah-tambahin/mengada-ad. Mereka beranggapan Ajaran Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Salam masih kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahir'y Tahlilan dlm Upacara Kematian, kita mau membuka hati utk menerima Kebenaran yg hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi Org Islam yg konsekwen terhadap Ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dan RasulNya.
Daftar Literatur :
1. K.H.Saifuddin Zuhn
[Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan'y di Indonesia, Al Ma'arif Bandung 1979]
2. Umar Hasyim, [Sunan Giri, Menara Kudus 1979]
3. Solihin Salam, [Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974]
4. Drs.Abu Ahmadi, [Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977]
5. Soekmono, [Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961]
6. A.Hasan, [Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975]
Hasil wawancara dgn tokoh Agama Hindu.Asa
Oleh: Sangadji EM
(Tulisan ini tdk bertujuan utk menohok pihak tertentu, tapi sebagai kajian ilmu agar kita paham sejarah lahir'y Upacara Tahilan)K
Perintis, pelopor dan pembuka pertama penyiaran serta Pengembangan Islam di Pulau Jawa adlh Para Ulama/Mubaligh yg berjumlah sembilan, yg populer dgn sebuatan Wali Songo. Atas perjuangan mereka, berhasil mendirikan sebuah Kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa yg berpusat di Demak, Jawa Tengah.
Para Ulama yg sembilan dlm menyiarkan dan Mengembangkan Islam di Tanah Jawa yg mayoritas penduduk'y Beragama Hindu dan Budha mendapat kesulitan dlm membuang Adat Istiadat Upacara Keagamaan lama bagi mereka yg telah Masuk Islam.
Para Ulama yg sembilan (Wali Songo) dlm menanggulangi masalah Adat Istiadat lama bagi mereka yg telah Masuk Islam terbagi menjadi dua aliran yaitu ALIRAN GIRI dan ALIRAN TUBAN.
ALIRAN GIRI adlh suatu aliran yg di pimpin oleh Raden Paku (Sunan Giri) dgn para pendukung Raden Rahmat (Sunan Ampel), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan lain-lain.
Aliran ini dlm masalah ibadah sama sekali tdk mengenal kompromi dgn Ajaran Budha, Hindu, Keyakinan Animisme dan Dinamisme.
Org yg dgn suka rela Masuk Islam lewat aliran ini, harus mau membuang jauh-jauh segala Adat Istiadat lama yg bertentangan dgn Syari'at Islam tanpa reserve. Karena murni'y aliran dlm menyiarkan dan mengembangkan Islam, maka aliran ini di sebut ISLAM PUTIH.
Ad pun ALIRAN TUBAN adlh suatu aliran yg di pimpin oleh R.M. Syahid (Sunan Kalijaga) yg di dukung oleh Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Djati.
Aliran ini sangat Moderat, mereka membiarkan dahulu terhadap pengikut'y yg mengerjakan Adat Istiadat Upacara Keagamaan lama yg sdh mendarah daging sulit di buang, yg penting mereka mau Memeluk Islam. Agar mereka jgn terlalu jauh menyimpang dari Syari'at Islam. Maka Para Wali Aliran Tuban berusaha agar Adat Istiadat Budha, Hindu, Animisme dan Dinamisme di warnai Keislaman.
Karena Moderat'y aliran ini maka pengikut'y jauh lebih byk di bandingkan dgn pengikut Aliran Giri yg "Radikal". Aliran ini sangat di sorot oleh Aliran Giri karena di tuduh mencampur adukan Syari'at Islam dgn Agama lain. Maka aliran ini di cap sebagai Aliran ISLAM ABANGAN
Dgn ajaran Agama Hindu yg terdapat dlm Kitab Brahmana. Sebuah kitab yg isi'y mengatur tata cara Pelaksanaan Kurban, sajian-sajian utk menyembah Dewa-Dewa dan upacara menghormati Roh-Roh utk menghormati org yg telah mati (Nenek Moyang) ad aturan yg di sebut Yajna Besar dan Yajna Kecil.
Yajna Besar di bagi menjadi dua bagian yaitu Hafiryayajna dan Somayjna.
1. Somayjna adlh upacara khusus utk org-org tertentu. Ad pun,
2. Hafiryayajna utk semua org.
Hafiryayajna terbagi menjadi empat bagian yaitu : Aghnidheya, Pinda Pitre Yajna, Catur masya, dan Aghrain.
Dari empat macam tersebut ad satu yg sangat berat di buang sampai skrg bagi org yg sdh Masuk Islam adlh Upacara Pinda Pitre Yajna yaitu suatu upacara menghormati Roh-Roh org yg sdh mati.
Dlm upacara Pinda Pitre Yajna, ad suatu keyakinan bahwa manusia setelah mati, sebelum memasuki karman, yakni menjelma lahir kembali ke dunia ad yg menjadi Dewa, Manusia, Binatang dan bahkan menjelma menjadi Batu, Tumbuh-Tumbuhan dan lain-lain sesuai dgn amal perbuatan'y selama hidup, dari 1-7 hari Roh tersebut masih berada di lingkungan rumah keluarga'y. Pd hari ke 40, 100, 1000 dari Kematian'y, roh tersebut datang lg ke rumah keluarga'y. Maka dari itu, pd hari-hari tersebut harus di adakan upacara saji-sajian dan bacaan Mantera-Mantera serta Nyanyian Suci utk memohon kpd Dewa-Dewa agar roh'y si fulan menjalani Karma menjadi manusia yg baik, jgn menjadi yg lain'y.
Pelaksanaan upacara tersebut di awali dgn Aghnideya, yaitu menyalakan Api Suci (Membakar Kemenyan) utk kontak dgn Para Dewa dan roh si fulan yg di tuju. Selanjut'y di teruskan dgn menghidangkan saji-sajian berupa makanan, minuman dan lain-lain utk di persembahkan ke Para Dewa, kemudian di lanjutkan dgn bacaan Mantra-Mantra dan Nyanyian-Nyanyian Suci oleh Para Pendeta agar permohonan'y di kabulkan.
Musyawarah Para Wali
Pd masa Para Wali di bawah pimpinan Sunan Ampel, pernah di adakan musyawarah antara Para Wali utk memecahkan Adat Istiadat lama bagi org yg telah Masuk Islam.
Dlm musyawarah tersebut Sunan Kali Jaga selaku Ketua Aliran Tuban mengusulkan kpd Majlis Musyawarah agar Adat Istiadat lama yg sulit di buang, termasuk di dlm'y upacara Pinda Pitre Yajna di masuki Unsur Keislaman.
Usulan tersebut menjadi masalah yg serius pd waktu itu sebab Para Ulama (Wali) tahu benar bahwa Upacara Kematian adat lama dan lain-lain'y sangat menyimpang dgn Ajaran Islam yg sebenar'y.
Mendengar usulan Sunan Kali Jaga yg penuh diplomatis itu, Sunan Ampel selaku Penghulu Para Wali pd waktu itu dan sekaligus menjadi ketua sidang/musyawarah mengajukan pertanyaan sebagai berikut :
"Ap kah tdk di khawatirkan di kemudian hari, bahwa Adat Istiadat lama itu nanti akan di anggap sebagai Ajaran Islam, sehingga kalau demikian nanti ap kah hal ini tdk akan menjadikan Bid'ah"?
Pertanyaan Sunan Ampel tersebut kemudian di jawab oleh Sunan Kudus sebagai berikut :
"Sy sangat setuju dgn pendapat Sunan Kali Jaga"
Sekali pun Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Drajat sangat tdk menyetujui, akan tetapi mayoritas anggota musyawarah menyetujui usulan Sunan Kali Jaga, maka hal tersebut berjalan sesuai dgn keinginan'y. Mulai saat itu lah secara resmi berdasarkan hasil musyawarah, upacara dlm Agama Hindu yg bernama Pinda Pitre Yajna di lestarikan oleh Org-Org Islam Aliran Tuban yg kemudian di kenal dgn nama Nelung Dina (3 hari), Mitung Dina (7 hari), Matang Puluh (40 hari), Nyatus (100 hari) dan Nyewu (1.000 hari)
Dari akibat lunak'y Aliran Tuban, maka bukan saja upacara seperti itu yg berkembang subur, akan tetapi keyakinan Animisme dan Dinamisme serta upacara-upacara adat lain ikut berkembang subur. Maka dari itu tdk lah heran murid'y Sunan Kali Jaga sendiri yg bernama Syekh Siti Jenar merasa mendapat peluang yg sangat leluasa utk Mensinkritismekan Ajaran Hindu dlm Islam.
Dari hasil olahan'y, maka lahir suatu Ajaran Klenik/Aliran Kepercayaan yg Berbau Islam. Dan tumbuh lah ap yg di sebut "Manunggaling Kawula Gusti" yg arti'y Tuhan menyatu dgn tubuh ku. Maka tata cara utk mendekatkan diri kpd Allah Ta'ala lewat Shalat, Puasa, Zakat, Haji dan lain sebagai'y tdk usah di lakukan.
Sekali pun Syekh Siti Jenar berhasil di bunuh, akan tetapi murid-murid'y yg cukup byk sdh menyebar dimana-mana. Dari itu maka kepercayaan seperti itu hidup subur sampai skrg.
Keadaan Umat Islam setelah Para Wali meninggal dunia semakin jauh dari Ajaran Islam yg sebenar'y. Para Ulama Aliran Giri yg terus mempengaruhi para Raja Islam pd khusus'y dan masyarakat pd umum'y utk menegakkan Syari'at Islam yg murni mendapat kecaman dan ancaman dari para Raja Islam pd waktu itu, karena Raja-Raja Islam mayoritas menganut Aliran Tuban. Sehingga pusat Pemerintahan Kerajaan di Demak berusaha di pindahkan ke Pajang agar terlepas dari pengaruh para Ulama Aliran Giri.
Pd masa Kerajaan Islam di Jawa, di bawah pimpinan Raja Amangkurat I, Para Ulama yg berusaha mempengaruhi Keraton dan masyarakat, mereka di tangkapi dan di bunuh/di brondong di lapangan Surakarta sebanyak 7.000 Org Ulama.
Melihat tindakan yg sewenang-wenang terhadap Ulama Aliran Giri itu, maka Trunojoyo, Santri Giri berusaha menyusun kekuatan utk menyerang Amangkurat I yg keparat itu.
Pd masa Kerajaan di pegang oleh Amangkurat II sebagai pengganti ayah'y, ia membalas dendam terhadap Truno Joyo yg menyerang pemerintahan ayah'y. Ia bekerja sama dgn VOC menyerang Giri Kedaton dan semua upala serta Santri Aliran Giri di bunuh habis-habisan, bahkan semua Keturunan Sunan Giri di habisi pula.
Dgn demikian lenyap lah sdh Ulama-Ulama Penegak Islam yg konsekwen.
Ulama-Ulama yg boleh hidup di masa itu adlh Ulama-Ulama yg lunak (Moderat) yg mau menyesuaikan diri dgn keadaan masyarakat yg ad. maka bertambah subur lah Adat-Istiadat lama yg melekat pd Org-Org Islam, terutama Upacara Adat Pinde Pitre Yajna dlm Upacara Kematian.
Keadaan yg demikian terus berjalan berabad-abad tanpa ad Seorang Ulama pun yg muncul utk mengikis habis Adat-Istiadat lama yg melekat pd Islam terutama Pinda Pitre Yajna.
Baru pd tahun 1912 M, muncul seorang Ulama di Yogyakarta bernama K.H.Ahmad Dahlan yg berusaha sekuat kemampuannya utk mengembalikan Islam dari sumber'y yaitu Al Qur'an dan As Sunnah, karena beliau telah memandang bahwa Islam dlm Masyrakat Indonesia telah byk di campuri berbagai ajaran yg tdk berasal dari Al Qur'an dan Al Hadits, dimana-mana merajalela perbuatan Khurafat dan Bid'ah sehingga Umat Islam hidup dlm keadaan Konservatif dan Tradisional.
Muncul'y K.H.Ahmad Dahlan bukan saja berusaha mengikis habis segala Adat Istiadat Budha, Hindu, Animisme, Dinamisme yg melekat pd Islam, akan tetapi jg menyebarkan fikiran-fikiran pembaharuan dlm Islam, agar Umat Islam menjadi umat yg maju seperti umat-umat lain.
Akan tetapi aneh bin ajaib, kemunculan Beliau tersebut di sambut negatif oleh sebagian Ulama itu sendiri, yg ternyata Ulama-Ulama tersebut adlh Ulama-Ulama yg tdk setuju utk membuang beberapa Adat Istiadat Budha dan Hindu yg telah di warnai Keislaman yg telah di lestarikan oleh Ulama-Ulama Aliran Tuban dahulu, yg antara lain upacara Pinda Pitre Yajna yg di isi Nafas Islam, yg terkenal dgn nama Upacara Nelung Dina (3 hari), Mitung Dina (7 hari), Matang Puluh Dina (40 hari), Nyatus (100 hari) dan Nyewu (1.000 hari).
Pd tahun 1926 para Ulama Indonesia bangkit dgn di dirikan'y organisasi yg di beri nama "Nahdhatul Ulama" yg di singkat NU.
Pd Muktamar'y di Makassar, NU mengeluarkan suatu keputusan yg antara lain :
"Setiap acara yg bersifat Keagamaan harus di awali dgn Bacaan Tahlil yg sistimatika'y seperti yg kita kenal skrg di masyarakat".
Keputusan ini nampak'y benar-benar di laksanakan oleh Org NU. Sehingga semua acara yg bersifat Keagamaan di awali dgn Bacaan Tahlil, termasuk Acara Kematian. Mulai saat itu lah secara lambat laun Upacara Pinda Pitre Yajna yg di warnai Keislaman berubah nama menjadi Tahlilan sampai skrg.
Sesuai dgn sejarah lahir'y Tahlilan dlm upacara kematian, maka istilah Tahlilan dlm Upacara Kematian hanya di kenal di Jawa saja. Di pulau-pulau lain seluruh Indonesia tdk ad acara ini. Seandai'y ad pun hanya sebagai rembesan dari Pulau Jawa saja.
Ap lg di negara-negara lain seperti Arab, Mesir, dan negara-negara lain'y di seluruh dunia sama sekali tdk mengenal Upacara Tahlilan dlm Kematian ini.
Dgn sdh mengetahui sejarah lahir'y Tahlilan dlm Upacara Kematian yg terurai di atas, maka kita tdk akan lg mengatakan bahwa Upacara Kematian adlh Ajaran Islam, bahkan kita akan bisa mengatakan bahwa org yg tdk mau membuang upacara tersebut berarti melestarikan salah satu ajaran Agama Hindu. Org-Org Hindu sama sekali tdk mau melestarikan Ajaran Islam, bahkan tdk mau kepercikan Ajaran Islam sedikit pun.
Tetapi kenapa kita Org Islam justru melestarikan keyakinan dan ajaran mereka?
Tak cukup kah bagi kita Sunnah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Salam yg sdh jelas terang benderang saja yg kita kerjakan. Kenapa harus di tambah-tambahin/mengada-ad. Mereka beranggapan Ajaran Rasulullah Shallallahu'alaihi wa Salam masih kurang sempurna.
Mudah-mudahan setelah kita tahu sejarah lahir'y Tahlilan dlm Upacara Kematian, kita mau membuka hati utk menerima Kebenaran yg hakiki dan kita mudah-mudahan akan menjadi Org Islam yg konsekwen terhadap Ajaran Allah Subhanahu wa Ta'ala dan RasulNya.
Daftar Literatur :
1. K.H.Saifuddin Zuhn
[Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangan'y di Indonesia, Al Ma'arif Bandung 1979]
2. Umar Hasyim, [Sunan Giri, Menara Kudus 1979]
3. Solihin Salam, [Sekitar Wali Sanga, Menara Kudus 1974]
4. Drs.Abu Ahmadi, [Perbandingan Agama, Ab.Siti Syamsiyah Solo 1977]
5. Soekmono, [Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia, Tri Karya, Jakarta 1961]
6. A.Hasan, [Soal Jawab, Diponegoro Bandung 1975]
Hasil wawancara dgn tokoh Agama Hindu.Asa
Komentar