Ikan Dapat, Air Tidak Keruh

*Kegelisahan KH Faqih Usman*

Oleh: Nur Cholis Huda

Banyak orang Muhammadiyah aktif di partai Masyumi, bahkan menjadi pimpinan di berbagai tingkatan. Setelah partai ini bubar, banyak yang kembali aktif di Muhammadiyah.

KH Faqih Usman, asal Gresik adalah Ketua PP paling singkat, hanya satu minggu karena wafat lalu digantikan Pak AR. Beliau merasa ada sesuatu yang berubah dengan banyaknya orang partai yang kembali ke pangkuan Muhammadiyah. Atmosfer partai politik ikut terbawa masuk. Hal ini karena mereka sudah bertahun-tahun hidup dalam suasana kepartaian. Apalagi waktu itu politik Nasakom sedang berkibar.

Maka dalam berbagai perbincangan yang menonjol adalah soal politik dan kekuasaan. Inilah yang mereka minati saat itu. Bukan soal dakwah, pencerahan umat, memajukan amal usaha, pengembangan cabang dan ranting. Jika ini dibiarkan   berketerusan, pikir Faqih Usman, maka pemahaman orang tentang Muhammadiyah akan semakin kabur. 

Tahun 1961 PP Muhamamdiyah mengadakan Darul Arqam yang dihadiri para pimpinan Muhammadiyah se-Indonesia. Faqih Usman memberi materi yang diberi judul: Apakah Muhammadiyah itu? Tujuannya agar para pimpinan mengenal Muhammadiyah tidak hanya kulitnya tetapi sampai ke akar-akarnya. 

Materi yang disampaikan Faqih Usman itu menarik perhatian PP dan para peserta. Maka Ketua PP M Yunus Anies membentuk tim untuk menyempurnakan gagasan Faqih Usman agar nanti dijadikan pedoman dalam kegiatan bermuhammadiyah. Tim terdiri atas Faqih Usman, Farid Ma’ruf, Djarnawi Hadikusumo, Djindar Tamimy, Hamka, M Wardan Diponingrat dan Saleh Ibrahim. Selanjutnya hasil rumusan itu akan dibawa ke sidang Tanwir.

Hasil rumusan tim diserahkan kepada PP dan dibahas dalam sidang Tanwir 25-28 Agustus 1961. Peserta Tanwir menerima rumusan itu yang kemudian dikenal sebagai Kepribadian Muhammadiyah. Selanjutnya rumusan itu tangal 23 April 1962 disahkan Muktamar ke-35 di Jakarta dan menjadi pedoman seluruh warga pesyarikatan. Dalam Muktamar ini juga terpilih KH Ahmad Badawi sebagai Ketua PP periode 1962-1965 menggantikan Pak Yunus Anies.

Ada baiknya kita berendah hati bersedia membaca ulang Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhamamdiyah, semuanya secara utuh, termasuk Khittah Denpasar. Lalu kita introspeksi diri sendiri, apakah aktivitas bermuhammadiyah kita masih dalam batas ketentuan ataukah sudah melampaui garis batas.
Apakah kita baicara soal politik masih terukur ataukah terlalu banyak bicara soal politik seperti yang digelisahkan Faqih Usman bahkan melebihi partai politik?

Partai-partai sudah beramai-ramai mau mengambil ghanimah. Kita yang bukan partai masih saling berkomentar kasar. Jangan menyalahkan orang lain. Kita nilai diri sendiri dengan pikiran jernih.

Apakah tokoh terdahulu itu mengabaikan soal politik? Tidak! Bahkan sangat serius memikirkan politik. Apalagi Muhammadiyah sedang digoyang PKI dengan tuduhan menjadi sarang orang Masyumi. Namun yang mengagumkan mereka tetap berpikir jernih, paham inti masalah dan tahu cara mengatasinya. Kunci masalahnya saat itu ada pada Bung Karno yang sedang dikitari PKI. Maka KH Badawi selain bertugas sebagai Ketua PP ditugasi mendekati Bung Karno dengan tambahan tugas mencegah Bung Karno membubarkan HMI dan PII.

Sekitar satu tahun Pak Badawi sudah dekat Bung Karno bahkan diminta menjadi penasehatnya dalam bidang agama. Pada Muktamar ke-35 di Jakarta Bung Karno menyatakan bahwa dirinya anggota Muhamamdiyah. “Cuma anehnya sejak menjadi Presiden saya belum pernah ditagih iuran. Maka sejak sekarang saya minta tagihlah kontribusi saya itu. Saya menjadi anggota Muhammadiyah sejak tahun 1938. Sekarang sudah tahun1962, jadi sudah 24 tahun..”

Pidato Bung Karno itu diperbanyak Roeslan Abdul Gani. Ternyata Bung Karno orang Muhammadiyah. Mereka yang sinis pada Muhammadiyah menjadi kecut. Cabang dan Ranting bergairah. Pejabat daerah menjadi ramah. Tidak ada lagi kecurigaan. Singkatnya misi Pak Badawi berhasil. HMI dan PII juga tidak dibubarkan.

Tidak ada kegaduhan. Tidak ada hiruk-pikuk. Ikannya tertangkap tanpa membuat air keruh. Memang ada kritik, jangan-jangan Muhammadiyah “dijual” pada kekuasaan. Tapi para tokoh yang visioner ini tetap fokus pada tujuan. Membiarkan kritik yang kekanak-kanakan dari mereka yang hanya melihat jarak dekat. Mereka rabun jauh.

Dulu inti permasalahan pada Bung Karno. Zaman berubah. Sekarang dimanakah bundelan masalah yang harus kita urai? Kita butuh jawaban dari pikiran yang jernih, bukan emosional.
___

_Kolom ini telah dimuat di majalah Matan Juli 2019_

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan