Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3):  Satu Rumah-Posko Bersama



Saya, Abdul Hadi, Syar'i tinggal ngekos di kediaman Bp Jamaan-Ibu Djus di Bukitsurungan. Tinggal di rumah pasangan Direktur-isteri yang guru SP-IAIN ini
 sangat nyaman.

Abdul Hadi dari Rantau Ikil pindahan Thawalib langsung tingkat 3 di SP. Syar'i dari Dusun Panjang, guru Thawalib yg sedang selesaikan kuliah di FU Padang Panjang. Keduanya senior saya. Senang tinggal dengan Direktur, Guru dan senior. Ada yg bimbing belajar dan tempat bertanya.
Keadaan itu tak lama. Anak saudara Ibu Djus, dua remaja perempuan bergabung di rumah itu. Satu dari Kampungnya Kotolaweh, Yennita,  sekolah di SPG Padang Panjang. Satu lagi Nona Stefin Uring dari Manado, masuk SMP 1.
Padahal sebelumnya sudah ada Umi, ibunda Bu Djus. Adiknya, Anwar yg sekolah di STM. Ada putri-putra mereka Fairuz (pr), Elwisyam(lk) dan Mirfad (pr) yang masih kanak-kanak. 

Meski rumah itu cukup besar, tetapi kamarnya tidak banyak. Maka kami bertiga secara sangat bijak mohon pindah kediaman. Ketiga kami mencari tempat masing-masing. 
Saya di sekolah memberitahu teman-teman keadaan itu. Tiba-tiba saja Buya Mirdas bilang, ka tampek ambo sajo. Perai, katanya. Jauah, Buya. Indak mungkin ambo tiga di Pakan Rabaa tudoh, kata saya. (Pakan Rabaa dalam kepala saya sama saja dg Panyalaian. Belakangan baru tahu ada sedikit beda walau kawasan sama).


Tidak, katanya. Bukan di kampuang tapi di Jembatan Besi. Jaraknya hanya 500 meter dari sekolah kami di Pasa Usang.

Rupanya rumah petak yg lumayan bagus. Ruang tamu, 1 kamar tidur, Dapur dan WC-Kamar Mandi. Rumah itu hanya ditempati Buya, kalau sempit waktu pulang ke Panyalaian. Atau ketika beliau jadwal membimbing Didikan Subuh 1 kali sepekan Masjid Zu'ama Surau Jembatan Besi, di samping agenda Didikan  Subuh di Kampungnya.
Jadi tidak pernah dalam sepekan itu penuh, Buya bermalam di rumah petak itu. Cuma, katanya, sekali dalam beberapa hari dalam setahun pemilik rumah berkunjung ke sini. Beliau adalah Bp Sidi Ringgit yang dg isteri tinggal di rumah anaknya di Pekanbaru. Kota itu bagi saya sangat jauh di masa itu. Baru saya ke Pekanbaru setelah menjadi mahasiswa beberapa tahun belakangan. Buktinya memang tidak sering kedatangan Bp Sidi Ringgit  sendiri atau bersama isteri menengok dan bermalam di rumahnya ini. Kedua suami istri itu perkiraan saya waktu itu usia mereka di atas 60-an. Orangnya baik. Kalau mereka datang saya hanya bantu ibu masak dan santap apa yg mereka makan. Keduanya  bersih, necis dan penyayang.
Sering saya sendirian di rumah ini. Beberapa waktu kemudian ada adik, atau cucu mamak ayah serta anak mamak ayah saya yg sekolah di Thawalib  dan SP dan SMA kota dingin (waktu itu masih dingin)  yang tinggal bersama saya di situ seizin Buya dan sepengetahuan Bp Sidi Ringgit tadi. 
Kadang-kadang tempat ini menjadi Posko dunsanak yang sekolah di Padang dan Bukittinggi. Mereka adalah Nahrawi. Sarjana Muda , B.A. Olahraga IKIP Padang. Kini pengusaha perkebunan karet dan sawit di Sirihsekapur. Chairuddin, Sarjana Lengkap , Drs IAIN IB, Pensiunan Kemenag Musra Bungo. Soufi, Sarjana Muda, B.A. PAI IAIN IB,  pengusaha perkebunan karet di Sirihsekapur. Yuslim, Sarjana Hukum UNJA, Pensiunan Dinas Pendapatan dan Keuangan Prov Jsmbi.  Rasman, Mantan DPRD Kab Bungo. Zaki, Pengusaha Tambang Batu Bara dan Kebun Karet, Bungo.Elhelwi, Mantan Anggota DPRD Bungo dan pengusaha. Adnan, Sarjana Muda Keuangan dan Perbankan, wafat sekitar 30 th lalu,  sewaktu bekerja di PT Pembangunan Jaya Jakarta.  Shabirin, pengusaha perkebunan dì Rantau Ikil, wafat sekitar 20 th lalu. Dua nama belakangan  hijrah kuliah. Shabirin ke Medan dan Adnan setelah Medan pindah ke Jakarta. 

Selain itu, rumah ini juga menjadi Posko bersama teman-teman laki-laki dari SP. Yang sering bertandang, resminya belajar bersama tetapi kenyataannya "bagadang dan maota" sampai subuh  ke Surau.  Di antaranya Noviar, pensiunan Pemda Sumbar. Rusdi, pensiunan guru di Jakarta. Asaad mantan DPRD Bungo, aktivis LSM dan wafat sekitar 10 th lalu dan Suhardi serta Sumarman. Dua nama belakangan belum terlacak. 

Saya pun sering nginap di Panyalaian rumah orang tua Buya dan di Singkarak rumah ortu Noviar dan Selayo, rumah Ortu Rusydi. Tentu tidak "bagadang sampai subuh" di situ. Konsisten jaga imej dan kelihatan taat dan baik-baik.(Bersambung)




 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Tahlilan