Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (2): SP-IAIN dan Qari

Di rumah konco Sya’roni, Rambatan. Reuni angk 72 BA FT IAIN IB Nov 2019 (Dok)

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (2):  SP-IAIN dan Qari


Buya Mirdas Ilyas (paling kanan) mengajak alumni IAIN 1972 ke Resto (latar belakang foto) miliknya di Panyalaian, November 2019. (Dok-arikPri).k

Saya tersentak. Dalam degupan dada mengenang kebersamaan. Pada tahun 1969, kami adalah siswa Sekolah Persiapan IAIN (SP IAIN) Padang Panjang. SP-IAIN belakangan ada di Padang, Lubuk Alung, Bukittinggi, Payakumbuh dan Batu Sangkar. Berada di bawah satu inspektorat, Inspekturnya Adalah Buya H. Nashruddin Thaha. Seorang tokoh terkenal masa itu. 

Salah seorang pendiri  Islmic College Padang dan Payakumbuh, alumni Azhar Kairo itu, konon pernah menjadi Menteri Pendidikan masa PRRI. Belakangan dinormalisasikan dan beliau menjadi pegawai kementerian Agama RI dan menjadi dosen IAIN IB Padang. 

Alumni IAIN angkatan 1972 sempat menikmati kuliah dengan Buya yang tinggi semampai ini. Mata Kuliah yang diasuhnya Pendidikan Akhlak. Ciri khas beliau sebelum kuliah berdoa bersama dulu. Baru suaranya yang lembut tetapi dalam vokal dan intonasi yang jelas dan terang kuliah itu mendalam dan meluas ke antar disiplin.




Kembali ke SP IAIN. Teman sekelas kami selain Buya Mirdas dari Panyalaian adalah Noviar dari Singkarak. Suhardi dari Sulit Air perantau dari Palembang. Asaad dari Muara Bungo. Rusydi Tanjul Aulia dari Selayo. Sumarman dari Solok. Baharuddin Indra dari Batu Sangkar. Ahmad Djarimi dari Tanjung Agung.

Ada Nurlis dan Nurhayati dari Gunung Padang Panjang. Mustimar sekampung dengan Buya dari Panyalaian. Afrida dari Rao , Pasaman. Kartini dari Paninjauan. Muslim dari Pariaman. 

Kepala sekolah, waktu itu disebut Direktur SP-IAIN adalah Bp. H. Djamaan Karim Jum'ah, MA merangkap guru Fikih dari Paninjauan. Isterinya Hj. Djusmaniar Amir Hakim, M.A dari Koto Laweh adalah guru kami Qawaid Bahasa Arab. Kedua mereka lulusan Al-Azhar Mesir. Mereka juga dosen FU IAIN IB Padang Panjang. belakangan ditarik ke Padang.

Selain itu guru Ilmu Tauhid kami adalah Bp. Syamsul Bahri Khatib waktu itu masih B.A. belakangan Prof. Dr. dari Sikaladi. Ada guru Ushul Fikh Bp (sering disebut ayah) Sudirman, B.A dari Paninjauan. Belakangan Drs., M.A. Berikutnya. Sejarah Pendidikan Islam Bp. Drs. Chairuddin dari Maninjau. Bp. Drs. Zulkarnain Hakim guru Ilmu Ekonomi dari Sulik Aie.  Ibu Dra. Rabi'ah guru Ilmu Jiwa dari Batu Sangkar.  Bp. Drs. Sjafaruddin dari Solok guru Bahasa Indonesian  . Bp. Drs. Suhaimi Taher guru Ilmu Falak dan Ilmu Alam dari Panyalaian.  Ibu Rahimah Ahmad  M.A. Guru Tafsir dan Hadist dari Banuhampu. Bp Drs. Meisunar Guru Olahraga dari Maninjau. Bp. Rasul Hamidi guru Ilmu Tata Negara daribPadang Lua Singkarak. Juga  Bp Rustam guru Bahasa Inggris yang terkenal tamatan Singapura. 

Guru-guru kami tadi sebagian besar juga guru Thawalib, Diniyah dan Kauman, Padang Panjang. 

SP-IAIN menyebut kelas sebagai tingkat. Padahal setingkat SLTA. Kami masuk melalui testing berdasarkan ijazah Madrasah 3 tahun dan boleh tamat SMP. Kalau tamat Madrasah masuk langsung sedangkan tamat SMP harus testing baca Quran dan pengetahuan dasar agama. Saya beruntung di samping saya juga belajar di Madrasah Alhidayatul Islamiyyah dulunya.

Pada waktu itu Madrasah masa belajarnya 7 tahun.  Setelah 4 tahun pertama sambung 3 tahun. Mungkin karena SP IAIN menerima tamat SMP 3 tahun, maka kelas 4 Madrasah diterima tingkat 2.  




Dan mereka kelas 6 di madrasah, pindahannya diterima tingkat 3 dan tahun itu langsung ujian akhir. Mereka hemat, 1 tahun. Maka banyak yang pindah ke SP IAIN dari berbagai Madrasah. Istimewa dari Diniyah dan Thawalib serta PGA. 

Pada tahun 1975 ketika sekolah agama negeri mengalami perubahan menjadi Tsanawiyah dan Aliyah, maka SP IAIN menjadi Aliah. PGAP dan PGAA pun diubah ke Tsanawiyah dan Aliyah itu. 

Buya Mirdas sama masuk tingkat 1 dg saya. Agaknya juga dari SMP.  Beliau punya kelebihan. Suaranya bagus. Bacaan Quran bagus. Beliau Qari. Aktif menjadi guru dan pengasuh didikan subuh di Kampungnya Panyalaian. Padahal usia masih belasan tahun.
 Belakangan Buya juga menjadi guru dan pembina didikan subuh di Surau belakangan menjadi Masjid Zu'ama Jembatan Besi Padang Panjang. 

Jalan jembatan besi itu belakangan setelah Etek Rahmah wafat menjadi  Jl. Rahmah El Yunusiah. Tentu saja dalam literatur pendidikan Islam Indonesia Surau Jembatan Besi masih abadi ketika menyebut Dr Abdul Karim Amrullah, ayah HAMKA  pada dekade awal abad lalu.
 (Bersambung)






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan