Perempuan Berkemajuan, Sopo Tresno dan 1 Abad Aisyiah

Sumber:
http://hariansinggalang.co.id/perempuan-berkemajuan-sopo-tresno-dan-1-abad-aisyiah/

Perempuan Berkemajuan, Sopo Tresno dan 1 Abad Aisyiah



Wapres Jusuf Kalla dan Ibu Mufidah Kalla berdiri bersama Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 Din Syamsuddin bersama tamu lain sebelum masuk gedung penutupan Muktamar. (Foto: SK)
Oleh Shofwan Karim

Menurut sumber yang akurat, Aisyiah didirikan pada 27 Rajab 1335 H bertepatan dengan 19 Mei 1917. Sekarang dihitung 1 abad menurut tahun kelender Islam Tahun Hijriyah.

Organisasi ini bermula dari halakah pengajian Quran yang disebut dengan “sopo tresno” (siapa yang mencintai ). Maksudnya mencintai Quran, sejak 1914.

Beberapa wanita muda telah dididik KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah Nyai Ahmad Dahlan di dalam sopo tresno itu. Salah satu di antara santrinya bernama Siti Bariyah diangkat menjadi ketua organisasi yang baru dirikan yang mereka sebut Aisyiah (pengikut Aisyah) yang dinisbatkan kepada Siti Aisyah, isteri Nabi Muhammad Rasullullah SAW.

Hal itu mengikuti sebutan Muhammadiyah sebagai persyarikatan, dinisbatkan kepada pengikut Muhammad SAW. Sejak itu di kalangan Aisyiah dikenal sebagai Ketua Pertama adalah santri wanita tadi yaitu Siti Bariyah yang disebut tadi.


Haedar Nashir menyampaikan pidato selesai pengukuhan dan pelantikan PWM, PWA dan PWPM Sumbar, 10 April 2016 di Gedung Nasional Batu Sangkar. (Foto: Dok) 



Menggantikan Siti bariyah, baru setelah 3 tahun (1920) Siti Walidah Nyai Dahlan menjadi Ketua Aisyiah. Dan itu 3 tahun sebelum KH Ahmad Dahlan wafat, 1923.

Pada 10 November 1971, Nyai Ahmad Dahlan dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971. Ahmad Dahlan telah diangkat sebagai Pahlawan Nasional 10 tahun sebelumnya Presiden Soekarno.

Dengan tidak bermaksud mengkultus kedua mereka, maka foto keduanya amat sering dipajang di mana-mana-mana. Baik oleh kalangan internal maupun eksternal Muhammadiyah dan Aisyiah.

Maka di dalam ingatan kolektif sebagian besar orang selalu menganggap Muhammadiyah identik dengan KH Ahmad Dahlan dan Aisyiah identik dengan Nyai Walidah Dahlan.

Sepasang suami-isteri itu telah menjadi ikon Muhammadiyah dan Aisyiah yang abadi memasuki abad ke-2 usia persyarikatan Muhamamdiyah. Kini Aisyiah merupakan organisasi otonom khusus atau otonom istimewa di dalam Muhammadiyah. Muhammadiyah dianggap kalangan luas sebagai organisasi umat Islam di samping jumlah anggota, adalah pemilik asset, struktur organisasi dan amal usaha terbesar di dunia pada abad ini.

Maka ketika Muktamirin memilih Dr. H. Haedar Nashir, M.S.i sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2015-2020 dan Dra. Hj. Siti Noorjannah Djohantini, M.M., M.Si terpilh sebagai Ketua Pimpinan Pusat Aisyiah, 2015-2020, banyak komen dan berita media yang mengindentikkan pasangan ini sebagai rekonstruksi ulang 1 abad lalu kepemimpinan Muhammadiyah dan Aisyiah.

Menanggapi semua itu, pasangan ini tidak merasa “wah” apalagi riya dan takabur . Keduanya merasa biasa-biasa saja sebagai pemegang amanah.

Ke depan, ungkap Noordjannah, ‘Aisyiyah akan konsisten menjalankan peran keumatan dan kebangsaan melalui dakwah pencerahan sebagaimana tertuang dalam Pokok-pokok Pikiran Abad Kedua.

Noordjannah menyebut 3 visi gerakan Aisyiyah memasuki abad kedua, Islam berkemajuan, Dakwah Pencerahan, Perempuan Berkemajuan.

Selain itu, terdapat 8 agenda strategis Aisyiyah, 1) pengembangan gerakan keilmuan; 2) Penguatan keluarga sakinah; 3) reaktualisasi usaha praksis melalui pemberdayaan ekonomi juga pelayanan dan pemberdayaan kesehatan masyarakat; 4) peran keumatan dan kemanusiaan;

Selanjutnya, 5) Peran kebangsaan, melalui perlindungan dan pemberdayaan lansia, perlindungan kelompok difabel, memperkokoh solidaritas sosial, pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, penguatan karakter bangsa, pemberantasan korupsi dan lembahnya penegakan hukum; 6) Penguatan Posisi Organisasi dan Ideologisasi; 7) Dinamisasi kepemimpinan. (habis)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan