GERAKAN KEAGAMAAN RADIKAL DI INDONESIA


DR. H. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammdiyah, Key Note Speaker  di antara Rektor UMSB Dra. Hj. Novelti Muis, M.Hum dan DR. Vina Salviana DS, M.Si. Ketua LPPM UMM dan Sekretaris Umum  APSSI bersebelahan dengan  DR. Drs. H. Shofwan Karim Elha, MA, Ketua PW Muhammadiyah Sumbar  pada Koenferensi Asosiasi Program Studi Sosiologi Indonesia  di Hotel Bumi Minang Padang, 18 Mei 2016

GERAKAN KEAGAMAAN RADIKAL
 DI INDONESIA

Oleh Haedar Nashir



Gerakan keagamaan radikal merupakan kenyataan yang dapat ditemukan di mana pun sepanjang sejarah kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia pada kurun terakhir. Gerakan radikal juga dapat dijumpai dalam kelompok sosial lain, seperti dalam gerakan demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan laiannya. Di dunia akademik pandangan-pandangan yang radikal pun bertumbuh, sebagai bagian dari dinamika hidup umat manusia yang kompleks sifatnya. Genre radikal bukan milik satu golongan, sifatnya universal.
Diksi radikal, radikalisasi,  dan radikalisme keagamaan dengan menunjuk pada sikap keras atau ekstrem dalam beragama merupakan sesuatu yang tetap aktual dan tidak jarang menjadi bahan perdebatan di dunia akademik maupun kelompok-kelompok agama. Tidak ada satu golongan tertentu yang mewakili genre radikalisme. Gerakan petani radikal bahkan sudah melegenda menjadi realtias sejarah, yang menjadi perhatian khusus ilmu-ilmu sosial dalam studi gerakan sosial  (J.C. Scott, 1983, 1976; E. Wolf, 1969; Kartodirjo, 1973; Kuntowijoyo, 1983;).
Radikal dalam makna keras, ekstrim, dan sampai batas tertentu membenarkan kekerasan atasnama agama dalam sejumlah kasus memang terjadi di masyarakat, yang dalam perspektif pelakunya memperoleh fondasi pada "radic" (dasar, akar) keyakinan atau paham agama yang dianutnya. Baik antar umat beragama, umat beragama dengan golongan lain, hingga sesama umat satu agama praktik radikal itu terjadi secara nyata dan menjadi bagian dari dinamika sekaligus masalah kehidupan beragama.
Pertanyaannya, kenapa sikap dan tindakan radikal keagamaan seperti itu terjadi dalam kehidupan umat beragama, padahal agama mengajarkan perdamaian dan kebajikan? Masalah ini tentu tidak sederhana, selalu banyak kaitan yang melibatkan aspek-aspek keagamaan dan kemasyarakatan dalam beragam jalinan dari yang sederhana hingga kompleks.

Radikalisme Keagamaan
Istilah radikal pada awalnya bukan sesuatu yang bermasalah dalam kehidupan beragama maupun interaksi sosial kemasyarakatan. Radikal berarti "back to radic", yakni kembali pada "akar", sesuatu yang dipandang mendasar sebagaimana fungsi akar bagi sebuah pohon. Dalam beragama orang yang kembali pada "radic" atau "akar" menghendaki keberagamaan itu berpijak pada akar keyakinan, yaitu prinsip-prinsip mendasar yang menjadi pedoman bagi setiap orang beriman atau beragama. Dalam Islam kembali pada tauhid atau aqidah sebagai dasar keyakinan beragama.
Namun karena orang berpaham atau beragama yang serba merujuk pada "akar", maka biasanya menjadi kaku, tidak mau kompromi, dan mengabsolutkan atau memutlakkan pandangan keyakinannya. Lebih-lebih tatkala sikap yang dogmatik seperti itu didasari oleh pandangan yang terbatas, sempit, dan parsial atau tidak menyeluruh mengenai sesuatu yang dipandang mendasar itu. Hanya terbatas pada satu ayat atau bahkan kata secara harfiah, kemudian melahirkan absolutisme pandangan atau paham, sehingga subjek atau pemeluk agama tertentu merasa diri paling benar dengan pemahamannya dan memandang yang lain salah.
Beragama memang harus disertai dan memiliki basis pada  keyakinan yang kuat, sebaba bukanlah beragama kalau tidak disertai keyakinan yang kokoh. Namun ketika keyakinan yang kuat itu tidak disertai pemahaman yang luas dan toleran terhadap pihak lain, maka lahirlah sikap radikal yang serbakeras atau ekstrem. Ekstrimitas inilah sebagai akar radikal dalam beragama. Dalam ajaran Islam ekstrimitas  yang disebut "ghuluw" dilarang, sebaliknya sikap tengahan (wasatha, wasithiyah, moderat) justru dianjurkan. Tetapi dalam praktiknya selalu ada orang yang ekstrim atau radikal dalam beragama.
            Radikal (radical) ialah denote  a concerted attempt to change the status quo (Collins Dictionary  of  Sociology, 1991). Menurut Giddens, menjadi radikal berarti memiliki wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu.  Beberapa mereka yang radikal itu revolusioner, meski tidak indentik semua  revolusioner. Adapun radikalisme ialah taking things by the roots (Anthony Giddens, 1994). Gerakan sosial radikal ialah “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa”  (Sartono  Kartodirdjo, 1973).
Radikalisme keagamaaan dikaitkan dengan sikap radikal yang berbasis pada keyakinan dan paham agama. Karena sikap radikal berbasis agama itu menjadi suatu alam pikiran dan sistem tindakan dalam kehidupan seseorang atau sekelompok orang maka menjadi paham sehingga disebut radiklisme keagamaan, kadang secara reduksi ada yang mengaitkannya secara langsung dengan agama yang dianggap mengandung ajaran kekerasan sehingga disebut radikalisme agama. Radikalisme atau dalam idiom lain fundamentalisme yang melahirkan kekerasan atasnama agama dilakukan oleh banyak pemeluk agama besar yakni Kristen-Katholik, Islam, Hindu, Budha, dan lainnya (Richard T. Antoun, 2003). Sikap radikal seperti itu melahirkan kekerasan atasnama Tuhan (Mark Juergensmeyer, 2000; Karen Amstrong, 200). Radilalisme Islam bahkan menjadi isu mutakhir yang mengandung banyak muatan kepentingan dan bersifat kompleks (Youssef M. Choueiri, 1990; Hassan Hanafi, 1989).
Kecenderungan radikal dalam beragama maupun sikap hidup lainnya sering berbenturan dengan kelompok lain yang sama radikalnya, sehingga terjadi konflik pemahaman hingga tindakan sesama kaum radikal. Radikalisme keagamaan kadang dikaitkan dengan fundamentalisme agama. Mengenai perilaku radikal pada kaum fundamentalis, Tariq Ali memperkenalkan istilah benturan antar fundamentalisme” (the clash of fundamentalism), yang melibatkan kelompok keagamaan yang menunjukkan sikap “religious fundamentalism” (fundamentalisme keagamaan) dengan sikap yang sama radikalnya di seberang lain yang disebutnya “imperial fundamentalism” (fundamentalisme penjajah), yang satu diwakili sosok Oesama bin Laden dan lainnya Goerge W. Bush (Tariq Ali, 2003: xi).


Faktor Radikalisme
Kecenderungan radikal dan hadirnya radikalisme keagamaan, sesungguhnya lahir dalam kondisi yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal yang menyertai lahirnya radikalisme keagamaan maupun radikalisme Islam. Dua faktor utama sering bersenyawa, yaitu faktor keyakinan keagamaan dan kondisi-kondisi sosiologis yang serba tumbuh di lingkungannya. Keduanya sering berkaitan dan beririsan yang bersifat "cross cutting of interest", sehingga sebab dan perwujudannya kompleks.
Pertama dari segi keyakinan atau paham keagamaan. Kecenderungan sikap radikal pada umumnya tumbuh dalam pemahaman agama yang serba doktriner. Paham doktriner biasanya terkait dengan orientasi tekstual yang sempit, parsial, dan konservatif. Paham doktriner ini hitam-putih dalam memahami agama namun disertai keyakinan yang berlebihan (ghuluw, ekstrem) karena mereka memandangnya sebagai ajaran yang mendasar (radic). Akibatnya, lahirlah pandangan yang "true believing" (paham absolut) yang anti-dialog dan keterbukaan. Dari keyakinan dan paham keagamaan yang doktriner-ortodoks-komservatif  dan serbaabsolut inilah lahir tindakan-tindakan serbakeras. Contohnya Imam Samudra dan kawan-kawan yang menafsirkan "irhab" (QS Al-Anfal: 60) sebagai teror dan membenarkan terorisme. Pelaku bom Bali ini secara paradoks atau ekstrem bahkan mengakui dirinya penganut "salaf al-shalih", tetapi dirinya memiliki sifat menyukai "darah dan kekerasan".
Paham yang bersumber pada "akar" dan melahirkan sikap keagamaan yang serba kaku itulah yang sering menjad embrio lahirnya ortodoksi atau konservativisme dalam beragama, yang berbuah tindakan radikal dalam makna keras atau kekerasan. Seperti pemahaman Imam Samudra tentang "irhab" (turhibuna) dalam ayat ke-60 Surat Al-Anfal sebagai "teror", sehingga tindakan teror itu menurut dirinya dibenarkan oleh agama. Demikian pula makna "jihad" sebagai "qital" benar adanya, di samoing makna lain, dan Rasulullah beberapa kali berperang. Tetapi ketika jihad perang itu dilakukan berdasarkan pandangan sekelompok kecil orang, dengan motif dan kondisi yang berbeda, maka lahirlah sikap radikal yang absolut tadi. Pandangan seperti itulah yang melahirkan radikalisme dalam makna dan pemahaman umum selama ini.
Paham radikal di kalangan sebagian umat Islam di kurun terakhir misalnya sering dikaitkan dengan gerakan neorevivalisme. Pemikiran dan praktik keagamaan  neorevivalisme menunjukkan watak dan orientasi yang sangat konservatif. Dalam kajian Esposito (2004), ”Neorevivalis cenderung mengikuti tradisionalisme konservatif dalam hal kecenderungan mereka untuk menyamakan antara penafsiran  historis yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dengan wahyu. Mereka menganut pemikiran yang agak romantis dan statis tentang perkembangan akidah dan praktik Islam. Sikap ini dapat dipahami, disebabkan oleh persepsi dan pengalaman mereka tentang modernitas sebagai ancaman politik Barat dan dominasi serta asimilasi kulturalnya.” Menurut Ali Syu’aibi dan Gils Kibil (2004: 148), Ikhwanul Mulsimin justru sebagai ”gerakan yang pertama kali memelopori kekerasan dan terorisme sebagai alat kepentingan politik”. Dari ketiga gerakan neorevivalis, dalam kurun terakhir Taliban yang paling keras atau radikal. Kini, pasca The Arab Spring, muncul Islamic State of Irak and Syiria (ISIS) yang menjadi "hantu dunia" hingga menjalar ke Indonesia.
Di luar aspek keyakinan atau paham keagamaan, terdapat faktor atau dimensi sosiologis yang memicu lahirnya gerakan radikal. Secara sosiologis terdapat kondisi-kondisi antagonistik yang memicu respons dalam kehidupan umat beragama. Pertama, kemiskinan, marjinalisasi, dan keterbelakangan dalam banyak aspek kehidupan umat yang dipertautkan dengan ketidakadilan yang serba kompleks. Kedua, sekularisasi dan liberalisasi kehidupan yang berlangsung masif di masyarakat yang melahirkan demoralisasi dalam berbagai aspek secara luas, yang kemudian melahirkan respon sektarian dalam bentuk pandangan agama yang radikal. Ketiga, tindakan negara khususnya dalam kasus radikalisme di tubuh sebagian kecil umat Islam karena adanya negara-negara Barat atau sekutu dan satelitnya yang dipandang merugikan dan sewenang-wenang terhadap  dunia Islam, sehingga melahirkan bentuk-bentuk perlawanan dalam gerakan-gerakan keagamaan yang radikal.
Maka betapa kompleks gerakan keagamaan radikal, sebagaimana kompleksitas radikalisme gerakan-gerakan sosial yang tumbuh dalam masyarakat. Fenomena yang spesifik dari radikalisme keagamaan boleh jadi terdapat pada dimensi "religious belief", sehingga sikap dan tindakan radikal itu memperoleh motif keagamaan yang sakral dan sering melahirkan "sakralisasi radikal" atau radikal yang disakralkan oleh para pelakunya. Hal serupa terjadi dalam gerakan radikal lainnya seperti ditemukan dalam gerakan-gerakan milenari maupun dalam konteks mutakhir pada gerakan demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perjuangan buruh, kiri-baru, dan gerakan-gerakan sosial lain yang memiliki basis ideologi yang berwatak "true-believing".



---------------
Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Sosiologi V di Padang tanggal 18 Mei 2016.





           








Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan