GERAKAN KEAGAMAAN RADIKAL DI INDONESIA
GERAKAN KEAGAMAAN RADIKAL
DI INDONESIA
Oleh Haedar Nashir
Gerakan keagamaan radikal
merupakan kenyataan yang dapat ditemukan di mana pun sepanjang sejarah
kehidupan masyarakat, termasuk di Indonesia pada kurun terakhir. Gerakan
radikal juga dapat dijumpai dalam kelompok sosial lain, seperti dalam gerakan
demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, dan laiannya. Di dunia akademik
pandangan-pandangan yang radikal pun bertumbuh, sebagai bagian dari dinamika
hidup umat manusia yang kompleks sifatnya. Genre radikal bukan milik satu
golongan, sifatnya universal.
Diksi radikal, radikalisasi,
dan radikalisme keagamaan dengan menunjuk pada sikap keras atau ekstrem
dalam beragama merupakan sesuatu yang tetap aktual dan tidak jarang menjadi
bahan perdebatan di dunia akademik maupun kelompok-kelompok agama. Tidak ada satu
golongan tertentu yang mewakili genre radikalisme. Gerakan petani radikal
bahkan sudah melegenda menjadi realtias sejarah, yang menjadi perhatian khusus
ilmu-ilmu sosial dalam studi gerakan sosial
(J.C. Scott, 1983, 1976; E. Wolf, 1969; Kartodirjo,
1973; Kuntowijoyo, 1983;).
Radikal dalam makna keras,
ekstrim, dan sampai batas tertentu membenarkan kekerasan atasnama agama dalam
sejumlah kasus memang terjadi di masyarakat, yang dalam perspektif pelakunya
memperoleh fondasi pada "radic" (dasar, akar) keyakinan atau paham
agama yang dianutnya. Baik antar umat beragama, umat beragama dengan golongan
lain, hingga sesama umat satu agama praktik radikal itu terjadi secara nyata
dan menjadi bagian dari dinamika sekaligus masalah kehidupan beragama.
Pertanyaannya, kenapa sikap
dan tindakan radikal keagamaan seperti itu terjadi dalam kehidupan umat
beragama, padahal agama mengajarkan perdamaian dan kebajikan? Masalah ini tentu
tidak sederhana, selalu banyak kaitan yang melibatkan aspek-aspek keagamaan dan
kemasyarakatan dalam beragam jalinan dari yang sederhana hingga kompleks.
Radikalisme Keagamaan
Istilah
radikal pada awalnya bukan sesuatu yang bermasalah dalam kehidupan beragama
maupun interaksi sosial kemasyarakatan. Radikal berarti "back to
radic", yakni kembali pada "akar", sesuatu yang dipandang
mendasar sebagaimana fungsi akar bagi sebuah pohon. Dalam beragama orang yang
kembali pada "radic" atau "akar" menghendaki keberagamaan
itu berpijak pada akar keyakinan, yaitu prinsip-prinsip mendasar yang menjadi
pedoman bagi setiap orang beriman atau beragama. Dalam Islam kembali pada
tauhid atau aqidah sebagai dasar keyakinan beragama.
Namun
karena orang berpaham atau beragama yang serba merujuk pada "akar",
maka biasanya menjadi kaku, tidak mau kompromi, dan mengabsolutkan atau
memutlakkan pandangan keyakinannya. Lebih-lebih tatkala sikap yang dogmatik
seperti itu didasari oleh pandangan yang terbatas, sempit, dan parsial atau
tidak menyeluruh mengenai sesuatu yang dipandang mendasar itu. Hanya terbatas
pada satu ayat atau bahkan kata secara harfiah, kemudian melahirkan absolutisme
pandangan atau paham, sehingga subjek atau pemeluk agama tertentu merasa diri
paling benar dengan pemahamannya dan memandang yang lain salah.
Beragama
memang harus disertai dan memiliki basis pada
keyakinan yang kuat, sebaba bukanlah beragama kalau tidak disertai
keyakinan yang kokoh. Namun ketika keyakinan yang kuat itu tidak disertai
pemahaman yang luas dan toleran terhadap pihak lain, maka lahirlah sikap
radikal yang serbakeras atau ekstrem. Ekstrimitas inilah sebagai akar radikal
dalam beragama. Dalam ajaran Islam ekstrimitas
yang disebut "ghuluw" dilarang, sebaliknya sikap tengahan
(wasatha, wasithiyah, moderat) justru dianjurkan. Tetapi dalam praktiknya
selalu ada orang yang ekstrim atau radikal dalam beragama.
Radikal
(radical) ialah denote a
concerted attempt to change the status quo (Collins Dictionary of
Sociology, 1991). Menurut Giddens, menjadi radikal berarti memiliki
wawasan tertentu untuk melepaskan diri dari cengkeraman masa lalu. Beberapa mereka yang radikal itu revolusioner,
meski tidak indentik semua revolusioner.
Adapun radikalisme ialah taking things
by the roots (Anthony Giddens, 1994). Gerakan sosial radikal ialah “gerakan sosial
yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku dan ditandai
oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum
yang punya hak-hak istimewa dan yang berkuasa”
(Sartono Kartodirdjo, 1973).
Radikalisme keagamaaan
dikaitkan dengan sikap radikal yang berbasis pada keyakinan dan paham agama.
Karena sikap radikal berbasis agama itu menjadi suatu alam pikiran dan sistem
tindakan dalam kehidupan seseorang atau sekelompok orang maka menjadi paham
sehingga disebut radiklisme keagamaan, kadang secara reduksi ada yang
mengaitkannya secara langsung dengan agama yang dianggap mengandung ajaran
kekerasan sehingga disebut radikalisme agama. Radikalisme atau dalam idiom lain
fundamentalisme yang melahirkan kekerasan atasnama agama dilakukan oleh banyak
pemeluk agama besar yakni Kristen-Katholik, Islam, Hindu, Budha, dan lainnya (Richard
T. Antoun, 2003). Sikap radikal seperti itu melahirkan kekerasan atasnama
Tuhan (Mark Juergensmeyer, 2000; Karen Amstrong, 200). Radilalisme Islam bahkan menjadi isu mutakhir yang mengandung
banyak muatan kepentingan dan bersifat kompleks (Youssef M. Choueiri,
1990; Hassan
Hanafi, 1989).
Kecenderungan radikal dalam
beragama maupun sikap hidup lainnya sering berbenturan dengan kelompok lain
yang sama radikalnya, sehingga terjadi konflik pemahaman hingga tindakan sesama
kaum radikal. Radikalisme keagamaan kadang dikaitkan dengan fundamentalisme
agama. Mengenai perilaku radikal pada kaum fundamentalis, Tariq Ali memperkenalkan istilah ”benturan antar fundamentalisme” (the clash of fundamentalism), yang
melibatkan kelompok keagamaan yang menunjukkan sikap “religious fundamentalism”
(fundamentalisme keagamaan) dengan sikap yang sama radikalnya di seberang lain
yang disebutnya “imperial fundamentalism” (fundamentalisme penjajah), yang satu
diwakili sosok Oesama bin Laden dan lainnya Goerge W. Bush (Tariq Ali, 2003: xi).
Faktor Radikalisme
Kecenderungan radikal dan hadirnya
radikalisme keagamaan, sesungguhnya lahir dalam kondisi yang kompleks. Tidak
ada faktor tunggal yang menyertai lahirnya radikalisme keagamaan maupun
radikalisme Islam. Dua faktor utama sering bersenyawa, yaitu faktor keyakinan
keagamaan dan kondisi-kondisi sosiologis yang serba tumbuh di lingkungannya.
Keduanya sering berkaitan dan beririsan yang bersifat "cross cutting of
interest", sehingga sebab dan perwujudannya kompleks.
Pertama dari segi keyakinan
atau paham keagamaan. Kecenderungan sikap radikal pada umumnya tumbuh dalam
pemahaman agama yang serba doktriner. Paham doktriner biasanya terkait dengan
orientasi tekstual yang sempit, parsial, dan konservatif. Paham doktriner ini
hitam-putih dalam memahami agama namun disertai keyakinan yang berlebihan (ghuluw,
ekstrem) karena mereka memandangnya sebagai ajaran yang mendasar (radic).
Akibatnya, lahirlah pandangan yang "true believing" (paham absolut)
yang anti-dialog dan keterbukaan. Dari keyakinan dan paham keagamaan yang
doktriner-ortodoks-komservatif dan
serbaabsolut inilah lahir tindakan-tindakan serbakeras. Contohnya Imam Samudra
dan kawan-kawan yang menafsirkan "irhab" (QS Al-Anfal: 60) sebagai
teror dan membenarkan terorisme. Pelaku bom Bali ini secara paradoks atau
ekstrem bahkan mengakui dirinya penganut "salaf al-shalih", tetapi
dirinya memiliki sifat menyukai "darah dan kekerasan".
Paham
yang bersumber pada "akar" dan melahirkan sikap keagamaan yang serba
kaku itulah yang sering menjad embrio lahirnya ortodoksi atau konservativisme
dalam beragama, yang berbuah tindakan radikal dalam makna keras atau kekerasan.
Seperti pemahaman Imam Samudra tentang "irhab" (turhibuna)
dalam ayat ke-60 Surat Al-Anfal sebagai "teror", sehingga
tindakan teror itu menurut dirinya dibenarkan oleh agama. Demikian pula makna
"jihad" sebagai "qital" benar adanya, di samoing makna
lain, dan Rasulullah beberapa kali berperang. Tetapi ketika jihad perang itu
dilakukan berdasarkan pandangan sekelompok kecil orang, dengan motif dan
kondisi yang berbeda, maka lahirlah sikap radikal yang absolut tadi. Pandangan
seperti itulah yang melahirkan radikalisme dalam makna dan pemahaman umum
selama ini.
Paham
radikal di kalangan sebagian umat Islam di kurun terakhir misalnya sering
dikaitkan dengan gerakan neorevivalisme. Pemikiran dan praktik keagamaan neorevivalisme menunjukkan watak dan
orientasi yang sangat konservatif. Dalam kajian Esposito (2004), ”Neorevivalis
cenderung mengikuti tradisionalisme konservatif dalam hal kecenderungan mereka
untuk menyamakan antara penafsiran
historis yang mereka warisi dari para pendahulu mereka dengan wahyu.
Mereka menganut pemikiran yang agak romantis dan statis tentang perkembangan
akidah dan praktik Islam. Sikap ini dapat dipahami, disebabkan oleh persepsi
dan pengalaman mereka tentang modernitas sebagai ancaman politik Barat dan
dominasi serta asimilasi kulturalnya.” Menurut Ali Syu’aibi dan Gils Kibil
(2004: 148), Ikhwanul Mulsimin justru sebagai ”gerakan yang pertama kali
memelopori kekerasan dan terorisme sebagai alat kepentingan politik”. Dari
ketiga gerakan neorevivalis, dalam kurun terakhir Taliban yang paling keras
atau radikal. Kini, pasca The Arab Spring, muncul Islamic State of Irak and
Syiria (ISIS) yang menjadi "hantu dunia" hingga menjalar ke
Indonesia.
Di luar aspek keyakinan atau paham keagamaan,
terdapat faktor atau dimensi sosiologis yang memicu lahirnya gerakan radikal. Secara sosiologis terdapat kondisi-kondisi
antagonistik yang memicu respons dalam kehidupan umat beragama. Pertama,
kemiskinan, marjinalisasi, dan keterbelakangan dalam banyak aspek kehidupan
umat yang dipertautkan dengan ketidakadilan yang serba kompleks. Kedua,
sekularisasi dan liberalisasi kehidupan yang berlangsung masif di masyarakat
yang melahirkan demoralisasi dalam berbagai aspek secara luas, yang kemudian
melahirkan respon sektarian dalam bentuk pandangan agama yang radikal. Ketiga,
tindakan negara khususnya dalam kasus radikalisme di tubuh sebagian kecil umat
Islam karena adanya negara-negara Barat atau sekutu dan satelitnya yang
dipandang merugikan dan sewenang-wenang terhadap dunia Islam, sehingga melahirkan
bentuk-bentuk perlawanan dalam gerakan-gerakan keagamaan yang radikal.
Maka betapa kompleks gerakan
keagamaan radikal, sebagaimana kompleksitas radikalisme gerakan-gerakan sosial
yang tumbuh dalam masyarakat. Fenomena yang spesifik dari radikalisme keagamaan
boleh jadi terdapat pada dimensi "religious belief", sehingga sikap
dan tindakan radikal itu memperoleh motif keagamaan yang sakral dan sering
melahirkan "sakralisasi radikal" atau radikal yang disakralkan oleh
para pelakunya. Hal serupa terjadi dalam gerakan radikal lainnya seperti
ditemukan dalam gerakan-gerakan milenari maupun dalam konteks mutakhir pada
gerakan demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup, perjuangan buruh, kiri-baru,
dan gerakan-gerakan sosial lain yang memiliki basis ideologi yang berwatak
"true-believing".
---------------
Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional
Sosiologi V di Padang tanggal 18 Mei 2016.
Komentar