ORMAS ISLAM DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Pengukuhuan-Pelantikan PWM Sumbar 2015-2020 oleh Ketua PPM dan foto setelah itu bersama undangan tokoh. Batusangkar, April 2016. (Foto: Dok.PWMSB)
ORMAS ISLAM DAN KEBIJAKAN PUBLIK
Oleh Shofwan Karim
Pekan ke-3 Ramadhan, (20/6/16) lalu, Ketua Komisi V DPRD Provinsi Sumbar, Apris Yaman mengundang Muhammadiyah untuk diskusi Ramadhan bertajuk Aktualisasi Peran Muhammadiyah di dalam Penentuan Kebijakan Publik di Sumbar.
Pada diskusi itu kebijakan public yang dimaksud tampaknya disimplifikasikan kepada keikutsertaan Muhammadiyah memberikan masukan kepada Dewan di dalam membahas Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda).
Intinya tentu kebijakan tentang regulasi, apapun tingkatannya. Padahal di sisi lain, kebijakan public tidaklah sesederhana itu. Ada kaitannya dengan sistem demokrasi dan kehidupan bangsa dan negara secara luas dan mencakup.
Besok harinya beberapa Koran dan Media On-line meliput, isinya mempersuasi Muhammaiyah mendongkrak peranan itu. Peserta diskusi meminta di samping peranan Muhammadiyah yang sudah biasa diperlebar dan perdalam. Yang biasa adalah di dalam menjaga akidah umat, dakwah, tajdid pemikiran dan aplikasi teologi al-Maun seperti pendidikan, kesehatan, gerakan ekonomi, santunan sosial dan seterusnya. Di dalam penentuan kebijakan public Muhammadiyah masih belum sejajar dengan peranan yang tersebut sebelumnya tadi. Oleh karena itu perlu ditingkatkan.
Hikmah dan Kebijakan Publik
Muhammadiyah adalah salah satu di antara organisai, jam’iyah, harakah, gerakan umat Islam di Indonesia yang merata seluruh provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, nagari, desa dan dusun di seluruh penjuru Indonesia. Bahkan Muhammadiyah mempunyai cabang istimewa di 21 negara di dunia. Beberapa kalangan sering mengutip bahwa Muhammadiyah adalah organisasi umat Islam terbesar di dunia bila dihitung dari jumlah nominal dan kuantifikasi gerakan agama, dakwah, pendidikan, kesehatan, dan sosial yang dimiliki dan digelutinya.
Untuk kebijakan public, Muhammadiyah mempunyai lembaga di tingkat Pusat, Wilayah, Daerah, kecuali Cabang dan Ranting yang disebut Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP). Ini salah satu saja dari 12 Majelis dan 8 lembaga serta badan yang disebut amal usaha Muhammmadiyah (AUM) yang meliputi hampir semua bidang yang jumlahnya puluhan ribu di seluruh tanah air.
Partisipasi kebijakan public sepertinya selama ini secara langsung diserahkan kepada kader dan tokoh Muhammadiyah yang ada di pemerintahan, eksekutif, legislative dan yudikatif serta partai politik. Karena di dalam pemahaman awam, Ormas Islam lebih kepada pelaksana dari regulasi yang dibuat. Rupanya hal itu harus ditinjau ulang dan sebagian kalangan merasa gelisah.
Untuk menjawab kegelisahan itu harus dilihat apa kaitan Ormas dengan kebijakan publik. Peranan organisasi masyakarat Islam (Ormas Islam) di dalam pembangunan umat tidak diragukan. Sebagai bagian dari civil society, Ormas Islam mempunyai peranan strategis dan operasional. Untuk itu harus dilihat pula status Ormas Islam di dalam kehidupan keumatan dan kebangsaan sebagai masyarakat warga (civil-society) yang menjadi salah satu pilar demokrasi.
Secara konvensional, para ilmuwan politik mengutip pilar demokrasi dengan distribusi kekuasan via trias-politica. Ini produk pemikiran filsafat politik John Locke, 1632-1704 (Inggris) dan Montesquieu, 1689-1755 (Perancis).
Berdasarkan pemikiran empiris liberal keduanya mengemukakan tiga teori pembagian kekuasaan: legislatif, yudikatif dan eksekutif. Oleh karena itu, negara modern yang menjalankan demokrasi di dunia menganggap ketiganya sebagai pilar demokrasi.
Bersamaan dengan perkembangan dinamika masyarakat dan politik di berbagai negara serta semakin signifikan dan kuatnya peranan mass-media di dalam mempengaruhi kekuasan dan opini, maka sejak tahun 1970-an, mass media dianggap menjadi pilar demokrasi ke-4.
Pilar ke-5
Paling aktual, akibat begitu kuatnya pula lobi lembaga non-pemerintah atau NGO, Ormas dan organisasi masyakat civil society, maka yang disebut belakangan ini mulai dianggap sebagai soko-guru atau pilar ke-5 demokrasi.
Meskipun belum banyak yang mengaktualkan pilar ke-5 ini, untuk kasus Indonesia, Ketua Umum ICMI Prof. Dr. Jimly Assidqy memproklamirkan pradigma tersebut. Dengan lantang Jimly menyatakan secara terbuka pada Mutamar ICMI di Mataram, Desember 2015 dan pada acara yang ditaja oleh PuSaKo Unand di Bumi Minang, Padang beberapa waktu lalu.
Berikutnya diulangi lagi pada Konvensi Nasional Indonesia berkemajuan di Yogyakarta, 22-24 Mei bulan lalu. Di dalam kenyataan kelihatan bahwa Ormas atau civil-society secara umum, disadari atau tidak telah menjadi pilar ke-5 demokrasi yang kian kuat dan populer .
Kenyataan itu diperkuat oleh gencarnya artikulasi aspirasi rakyat dan masyarakat, terutama warga masing-masing persyarikatan dan organisasi atau jam’iyah untuk berwacana sekaligus mengambil inspirasi dari paradigma itu. Padahal Ormas Islam sebagai bagian dari civil-society di Indonesia, mempunyai peranan di dalam pembangunan umat dan bangsa secara umum di dalam mekanisme demokrasi mempunyai peranan strategis dan signifikan. Baik secara langsung maupun tidak langsung.
Bersamaan dengan itu, Ormas Islam sangat berperanan di dalam pembangunan bangsa terutama memberdayakan masyarakat di dalam pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, menjaga momentum dan semangat kemandirian, serta menjadi pemandu spritualitas, akhlak dan karakter umat.
Meskipun menyebut Ormas Islam, oleh sebagian pihak masih dianggap sebagai ruang lingkup sempit organisasi labeling Islam di Indonesia. Padahal di dalam limbo sejarah Indonesia, selain Budi Oetomo, Ormas Islam sejak awal abad lalu telah memposisikan diri yang amat kuat di dalam gerakan pembebasan serta pembangunan umat dan bangsa.
Peranan Sejarah
Bila dikategorikan sesuai zamannya, maka ormas Islam yang lahir dan berkembang sejak pra-kemerdekaan RI, era kemerdekaan awal sampai masa orde baru dan sekarang pasca reformasi, peranan umat Islam melalui ormasnya mengalami dan bersifat akumulatif, naik-turun.
Adakalanya peranan kebangsaan itu dititikberatkan di bidang politik perjuangan kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan dan ketika mengisi kemedekaan lebih banyak kepada peranan pelaksana kebijakan karena penentuan kebijakan lebih berat di pemeritah sebagai eksekutif dan parlemen atau legislatif.
Ormas Islam di dalam sejarah, amatlah kuat dan kokoh dengan khittah, langkah-idologis perjuangannya. Di antaranya Al-Khairiyah, Jakarta, 1905; Muhammadiyah, Yogyakarta. 1912; Syarikat Dagang Islam, 1906, Solo kemudian menjadi Syarikat Islam 1911, Al-Irsyad, Surabaya, 1916; Mathlaul Anwar, Menes, Banten, 1916; Persatuan Islam (Persis), Bandung, 1923; Nahdhatul Ulama(NU), Surabaya, 1926; Pergerakan Muslimin Idonesia (Permi), Padang Panjang, 1925; Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Bukittinggi, 1928. Berikut Al-Washliyah, Medan, 1930; Nahdlatul Wathan (NW), Lombok, 1953.
Setelah masa kemerdekaan, zaman orde baru sampai sekarang di antaranya Himpunan Mahasiswa Islam, Yogyakarta, 1947, Pelajar Islam Indonesia, Yogyakarta, 1947; Persatuan Umat Islam (PUI), Bogor, 1952.Gerakan Pemuda Islam (GPI), Jakarta, 1956; Tarbiyah Islamiyah, Jakarta, 1971; Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Jember, 1990; Dewan Dakwah Islamiyah Indinesia (DDII), Jakarta, 1967.
Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), 1975, Jakarta; Guppi, Jakarta, 1971; Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jakarta, 1975; Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Jakarta, 1977; Jakarta; Satuan Karya Ulama, Jakarta, 1977; Dewan Kesatuan Ulama Forum Umat Islam (FUI), Jakarta, 2008; Front Pembela Islam (FPI), Jakarta, 1998; Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jakarta, 1980 berasal dari Al-Quds, Palestina 1953; Ikatan Da'i Indonesia (Ikadi), Jakarta, 2002; Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Jakarta, 1961 ; dan puluhan bahkan ratusan lainnya yang kadang-kadang muncul ke permukaan, bergerak di bawah sorotan media dan publik.
Sebagian Ormas tadi mempunyai kekuatan pendukung, sayap dan organisasi otonom (Ortom) atau badan otonom (Batom). Sebutlah Muhammadiyah mempunyai Aisyiah, Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiah, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Tapak Suci Putra Muhammadiyah dan Hizbul Watahan, dan Jaringan Saudagar Muhammadiyah.
NU mempunyai Muslimat, Pemuda Anshor, Fatayat, Pergerakan Mahasiswa Islam (PMII), dan Ikatan Pelajar. Perti-Tarbiyah mempunyai sayap wanita (Perwati) , Pemuda Perti-Tarbiyah dan mahasiswa (KMI). ICMI mempunyai MASIKA, Orbit, Alisa Khadijah dan seterusnya.
Semua Ormas induk dan afiliasi persyarikatan dan organisasi tadi baik ke atas, ke samping, dan ke bawah seperti Muhammadiyah dan NU, Perti dan lainnya tadi, mempunyai raksasa kekuatan dan peranan yang telah dibuktikan di dalam melawan penjajah, melawan komunisme, menggalang cita-cita nasional, merebut kemerdekaan, mempertahankan kemerdekaan, mengisi kemerdekaan dan membangun bangsa dan negara. Itu dilakukan tanpa henti, terus menerus sejak peralihan abad dan awal abad ke-20 sampai ke milinium ke-3 atau abad ke-21 ini.
Tidak pernah absen sedetikpun sepanjang abad sampai hari ini, Ormas Islam menggeluti perjuangan, pergerakan, dan mengisi segenap bidang pembangunan lahiriah, batiniah, fisik dan mental dalam kerangka negara kesatuan, dalam cara pandang atau wawasan ke-Indonesiaan dan ke-Islaman yang tidak pernah kendor. Mereka memiliki Organisasi Otonom dan Batom ke bawah. Semua Ormas Islam itu harus dilihat di dalam hubungan diskursus tentang jalinan yang mendalam antara ke-Indonesiaan dan ke-Islaman.
Di dalam rangka ini, bila dilihat dari apa yang menjadi visi dan misi rezim Jokowi sekarang ini, maka peranan Ormas Islam amatlah penting. Istimewa bila dikaitkan dengan misi revolusi mental dan pembangunan karakter yang hendak dilakukan Jokowi. Sayangnya Presiden di tingkat negara, dan Gubernur, Bupati dan walikota di tingkat bawah, belum memperlihatkan pertalian pemikiran strategis kecuali memberi pidato pada undangan muktamar atau kegiatan massa Ormas tadi. Padahal strategi peranan Ormas dalam kehidupan bangsa adalah suatu keniscayaan baik sebagai partner, berbagi peran atau bahkan membantu dengan memberikan stimulant sehingga ormas bergerak lebih signifikan dan revolusi mental benar-benar wujud .
Tentu ada pengecualian. Ketika rezim sekarang selalu mengaitkan dengan kebijakan terdahulu Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang pedoman pemberian hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari ABPD. Dengan alasan APBD yang terbatas, Pemda selalu menjawab belum sesuai dengan kemauan PP tersebut. Dengan begitu terkesan Ormas Islam dibiarkan bekerja sendiri di dalam menjalankan programnya.
Sesuatu yang seharusnya ada reorientasi kebijakan dan hendaknya ini dilihat oleh pemerintah sebagai salah satu dimensi pembangunan yang amat strategis. Pendalaman, wacana dan diskusi publik tentang hal ini amatlah terbuka lebar.***
https://www.facebook.com/shofwanbin.abdulkarim
Komentar