Haji Arnis di Mata Sahabat








Haji Arnis di Mata Sahabat

 

Oleh Shofwan Karim

 

H. Arnis Saleh Dt Malano Basa Nan Jabang, tokoh rendah hati, tinggi budi, setia dan pemurah. Sebagai salah seorang di antara beberapa tokoh masyarakat di Padang Panjang khususnya dan Sumbar umumnya,  beliau dekat dengan berbagai warga lain,  golongan, kelompok dan organisasi masyarakat. 

 

Di kalangan Muhammadiyah Padang Panjang Batipuh X Koto selalu menyebutnya sebagai Angku Nan Jabang. Di Padang, saya selalu memanggilnya Pak Haji. Ini merujuk kepada panggilan yang saya dengar dari keluarga Pak Irman Gusman . Wakil Ketua 2004-2009, kemudian Ketua DPD RI 2009- 20014-2016 dan adik-adiknya. Mereka  menyebutnya Uda Haji.

 

Persentuhan kalbu dan batin saya dengan Pak Haji Dt Malano Basa tak dapat saya lepaskan dari keluarga Pak Irman. Bermula ketika  terpilih sebagai Ketua Muhammadiyah Sumbar 2000-2005.  Melalui Pak Irman saya merasa lebih dekat dengan Pak Haji. 

 

Suasana itu berlanjut ketika saya terpilih menjadi  Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar (UMSB), 2005-2013. Dan kemudian kembali diamanahkan menjadi Ketua PW Muhammadiyah Sumbar, 2005-2020.

 

Meski dikenalkan  melalui Pak Irman, tetapi saya tidak merasakan bahwa  tali persahabatan dengan Pak Haji karena bayang-bayang Pak Irman. Dan tidak selalu pula saya sempat berkomunikasi dengan Pak Irman tentang bagaimana persahabatan saya dengan Pak Haji. 

 

Suatu kali menghadapi Pemilu 2004, Pak Amin Rais ke Sumbar. Pak Haji mengatakan kepada saya untuk menawarkan kenderaan Jaguar miliknya kepada Panitia sebagai kenderaan tokoh nasional itu selama di Sumbar. Beliau mungkin tahu bahwa waktu itu saya dan Pak Irman di pihak SBY-JK. Tetapi karena akrab, kami mendiskusikan apa saja. 

 

Menanggapi kemauan itu,  saya bilang ke beliau untuk coba memberi tahu panitia. Rupanya panitia menyarankan lebih baik cara lain membantu panitia. Saya menafsirkan keinginan beliau sebagai kecintaan kepada mantan Ketua PP Muhammadyah dan Mantan Ketua MPR RI itu. Kebetulan waktu itu Pak Amin Rais salah satu calon Presiden RI pada Pilpres langsung yang pertama dalam sejarah Indonesia . 

 

Pada Pilpres 2019 kemarin saya pikir Pak Haji diam-diam sama seperti saya dan Pak Irman, di pihak nomor satu. Keberpihakan saya dan Pak Irman di nomor 1 (Jokowi-Ma’ruf), dapat dipahami setelah berdiksusi dengan berbagai pihak, termasuk Pak Haji Guspardi Gaus (sekarang anggota DPR RI Dapil Sumbar 2 dari PAN) yang berada di pihak nomor 2 (Prabowo-Sandi).  



 

Dari beberapa sumber dan kasat mata yang saya saksikan, Pak Haji tidak pilih orang dalam persahabatan. Begitu pula beliau tidak pilih tokoh untuk bersilaturahim. Kalau pun ada suasana politik yang kadang beliau diminta partisipasi, asal tidak membawa namanya terbuka di publik, sepengetahuan saya selalu beliau bantu. Bahwa itu dilakukannya secara selektif, boleh saja. Apalagi dia menekankan supaya bersifat tertutup.  Tetapi tidak mengurangi persahabatan kepada semua. 

 

Boleh jadi banyak orang yang mengadu kepada beliau dalam berbagai kesulitan telah mendapatkan kelapangan. Untuk yang satu ini, saya merasa salah satu di antaranya. Hampir setiap akhir Ramadhan menyambut hari raya Idul Fitri,  sebagai pimpinan kolektif Muhammadiyah, kami bertanggungjawab mencari sumber dana untuk membantu warga Muhammadiyah yang belum beruntung. Kami berbagi tugas. Masing-masing mempunyai kedekatan dengan berbagai tokoh lokal, nasional, para usahawan, pebisnis, pedagang dan orang-orang berpunya lainnya. 

 

Ada ratusan guru, karyawan, dosen honorer, puluhan panti asuhan,  badan, lembaga serta pengurus dan pimpinan Muhammmadiyah  dengan organisasi otonom yang perlu disantuni. Dari internal persyarikatan belum memadai kemampunan mensejahterakan mereka. Maka kepada pihak warga Muhammadiyah dan lainnya yang dianggap lapang dan agak berpunya selalu kami mohonkan. Kira-kira,  semacam fund rising.

 

Ada yang disebut  infak, sadakah, hadiah, zakat, fitrah, bahkan hibah dan wakaf. Baik  untuk dibagikan kepada yang dianggap membutuhkan. Atau dikelola oleh persyarikatan kalau berbentuk hibah dan wakaf. Tidak saja berbentuk uang tetapi ada yang marerial. Seperti sarung, baju teluk belanga atau yang sekarang dikenal sebagai baju koko, sembako dan lainnya. 




 

Pak Haji di antara mereka sebagai sumber santunan tadi. Lebih dari itu bahkan sepanjang tahun. Beliau ringan hati untuk berbagi kalau kami mohonkan untuk mendanai beberapa program yang siginifikan untuk persyarikatan. Pendidikan kader dan SDM, peningkatan penguasaan al-Islam Kemuhammadiyahan, kegiatan majelis, lembaga dan badan di persyarikatan. 

 

Begitu pula untuk beasiswa, pengadaan sarana belajar. Pak Haji ringan saja memberikan dalam jumlah yang memadai. Hal yang sama juga  untuk sarana ibadah. Permadani, karpet Masjid yang  paling tinggi kualitasnya serta menyudahkan semua hutang pembangunan tempat ibadah itu, selalu jumlahnya dari beliau di antara beberapa dermawan dan donatur yang paling banyak. Paling baru adalah beasiswa untuk mahasiswa UMSB, untuk Masjid Taqwa Muhammdiyah Padang Panjang dan perangkat komputer untuk SMK Pariwisata Aisyiyah, PW Aisyiyah di Padang.



 

Semua itu selalu diminta untuk tidak digembar-gemborkan kepada publik. Kadang-kadang pengurus lupa atau tidak tahan untuk mengumumkan sebagai persuasi untuk yang lain. Sebagai  syi’ar,  bukan ria. 

 

“dan adapun terhadap nikmat  dari Tuhanmu, maka hendaklah kamu ceritakan” (QS, Ad-Duha, 93:11). 

 

Saya selalu diingatkan beliau untuk menghindari, kalau hal itu terjadi. Saya hanya menjawab, mohon maaf atas kekeliruan. Dan saya bilang kepada pengurus bahwa hal semacam itu cukup sekali  saja. Kepada pengurus saya ajak bahwa ayat tadi dipahami sebagai cukup diceritakan dalam pembukuan dan pertanggungjawaban keuangan, bukan di depan mikropon. 

 

Kadang-kadang bergejolak di dalam hati dan terasa kepada saya, bahwa apa saja yang disumbangkan, tidak ada yang dapat kami balas. Bila bantuan itu dianggap hutang, maka itu adalah hutang  yang tak terbayar. Muhammadiyah juga tidak punya wibawa untuk memperlancar dunia  usaha dan bisnis yang dimiliki Pak Haji. 

 

Artinya, tidak ada untungnya secara balas jasa dan bersifat materi yang akan diperoleh Pak Haji. Mungkin bagi kalangan awam, dianggap Pak Haji mencari nama. Padahal namanya itu benar yang tidak diperlukan beliau. Itukah yang dapat kami sebut sebagai keikhlasan ?.

 

Itu pula yang menurut kaca mata saya yang selalu mendasari perahabatan Pak Haji. Kesetiannya dalam bersahabat tanpa embel-embel. Pada pertemuan terbatas dengan pihak lain, saya sekali-sekali diajak Pak Haji bersamanya. Ternyata apa yang dilakukannya kepada Muhammadiyah begitu pula kepada pihak lain. Asal untuk keperluan agama, untuk masyarakat dan keperluan sosial, kelihatan selalu dia mengulurkan tangan dan merajut  hati sebagai simpatinya. 

 

Saya tidak berani membandingkan  Pak Haji dengan tayangan youtube yang viral tentang kisah keberhasilan Insinyur Shalah bersama sindikatnya di Mesir yang menyebut berbisnis dengan Allah. Di tayangan itu dikisahkan bahwa sekelompok anak muda memulai usaha dengan mengumpulkan dana awal patungan sebagai modal bisnis. 

 

Hasil bisnis itu dimulai dari lima persen keuntungan untuk filantropi sosial dan agama. Akhirnya sampai seratus persen, keuntungan itu adalah untuk kepentingan sosial dan agama tadi.

 

Pak Haji sepertinya berbisnis dengan Allah dengan caranya sendiri. Saya tidak tahu dan tidak pernah pula bertanya apa saja bisnis beliau. Yang saya tahu hanya Toko Emas Murni di Pasar Raya dan satu Restoran atau RM Minang di Jakarta. 

 

Itupun  saya ketahui tidak dari mulut beliau tetapi dari pengamatan langsung saja. Di dalam relung hati tersimpan sesuatu.  Tidak perlu saya ketahui apa-apa tentang beliau.  Hanya satu rangkaian kata saja yang saya dapat tahu tentang Pak Haji. Beliau  akrab bersahabat, rendah hati, tinggi budi, setia dan pemurah.***

Ciputat, 5 Januari 2020.      

 

 

 

  

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan