ASA POLITIK 2021


 





Harian Kompas

Analisis Politik


 ASA POLITIK 2021

Oleh Azyumardi Azra


Asa apa yang bisa kita nyalakan di dalam hati dan pikiran menyongsong tahun 2021? Perkembangan, perubahan dan perbaikan apa dalam bidang politik yang dapat atau mesti dilakukan agar kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita pada 2021 lebih baik daripada 2020.

Jika sejarah adalah kontinuitas dan perubahan, perjalanan ke depan kali ini dengan sedikit pahit harus dikatakan, tidak menjanjikan banyak perbaikan. Banyak  indikator sepanjang 2020 mengisyaratkan lebih banyak terjadi kontinuitas, sehingga 2021 boleh jadi tidak banyak perubahan besar dan substantif.

Sejarah bukan hanya sekedar pengungkapan kejadian dan dinamika di masa silam, tetapi juga panduan menuju masa depan lebih baik. Untuk itu banyak agenda yang bisa dan harus dilakukan. Pemerintah bisa gagal belajar dari sejarah jika tak dapat atau tidak mampu melaksanakan berbagai agenda yang perlu dilakukan.

Dalam banyak segi 2020 adalah ‘annus horribilis’, tahun mengerikan, sejak dari tingkat internasional, regional, nasional dan lokal. Apakah tahun 2021 dapat menjadi annus mirabilis, tahun cerah yang membawa kebahagiaan?

Tahun 2020 bisa disebut annus horribilis, tahun mengerikan karena wabah Covid-19 yang memporakporandakan kehidupan sejak dari kesehatan, ekonomi, sosial-budaya, agama dan politik. Bulan demi bulan sepanjang 2020 pandemi korona bukan surut, tetapi terus meningkat; sekarang dunia menuju 80 juta kasus terinfeksi dan 2 juta korban tewas.

Indonesia kini dengan hampir 700.000 kasus infeksi dan lebih 20.000 korban meninggal menjadi negara keempat terbanyak terdampak pandemi korona di Asia setelah India, Turki dan Iran. Kekacauan akibat wabah korona di Indonesia dalam berbagai bidang cukup ekstensif dan parah.

Apakah 2021 dapat menjadi annus mirabilis, tahun cerah membawa kebahagiaan, bagi Indonesia di tengah masih merajalelanya wabah korona?

 Jelas sangat sulit, meski tak mustahil. Walau 2021 belum bisa menjadi tahun membahagiakan, perjalanan ke arah itu patut dilakukan. Untuk itu, pejabat publik (eksekutif, legislatif dan yudikatif) beserta elit politik sejak dari tingkat nasional sampai tingkat lokal perlu melakukan berbagai langkah serius.

Pertama-tama Presiden Jokowi mesti mengkonsolidasikan pemerintahannya.  Tanpa peningkatan kinerja kabinetnya asa publik bisa bertambah layu. Memasuki tahun kedua masa bakti kedua, kian kuat keraguan publik apakah Presiden Jokowi bisa meninggalkan legacy optimal jika kinerja kabinet tidak maksimal.

Jauh sebelum dua anggota kabinet (Menteri KKP Edhy Prabowo dan Mensos Juliari P. Batubara) dicokok KPK, telah banyak himbauan berbagai pihak agar Presiden Jokowi reshuffle kabinet. Presiden Jokowi lama sekali bergeming.

Setelah berbulan-bulan, perombakan kabinet akhirnya dilakukan Presiden Jokowi; enam tokoh diangkat menjadi menteri baru (23/6/2020). Rejuvenasi kabinet ini perlu dihargai, walau masih parsial. Seharusnya reshuffle dilakukan secara komprehensif. 

Menteri-menteri baru cukup menjanjikan. Tetapi masih ada sejumlah menteri (lama) yang semestinya direshuflle karena kinerja tidak memuaskan. Sebab itu, masih menjadi tanda tanya apakah kabinet yang telah direjuvenasi ini dapat menciptakan momentum konsolidasi pemerintahan Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf Amin untuk meningkatkan kinerjanya. 

Selain rejuvenasi kabinet, pemerintah perlu mengambil langkah bersama DPR  kembali mengkonsolidasikan demokrasi. Langkah ini perlu dan mendesak karena demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mengalami kemerosotan dari ‘full democracy’ menjadi ‘flawed democracy’.

Pemerintah perlu memulihkan kembali kebebasan sipil yang berkurang signifikan. Pembatasan kebebasan sipil mesti dihilangkan; jika ada warga yang menyalahgunakan kekebasan sipil, bisa ditempuh langkah hukum tanpa mengebiri kebebasan sipil dengan menggunakan berbagai UU dan ketentuan ‘karet’.

Selaras dengan itu, pemerintah perlu memulihkan kembali masyarakat sipil sebagai salah satu pilar pokok demokrasi. Pemerintah mesti menghentikan praksis politik yang mengabaikan atau memarginalisasi masyarakat sipil.

Jika asa Indonesia 2021 adalah annus mirabilis, pemerintah patut meninggalkan praksis politik persengkongkolan dengan DPR. Pemerintah dan DPR perlu tidak lagi mengesahkan RUU tanpa mendengar aspirasi publik dan masyarakat sipil seperti terjadi dalam perubahan UU KPK, UU Minerba dan UU Cipta Kerja

Indonesia 2021 memerlukan tidak hanya konsolidasi dan revitalisasi, tetapi juga rejuvenasi dan penguatan kembali kohesi sosial. Inilah aspek vital kehidupan kebangsaan-kenegaraan yang terlihat terabaikan.

Kohesi sosial Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memperlihatkan perkembangan dan dinamika kontradiktif. Baik secara terbuka maupun di bawah permukaan friksi dan konflik antar-warga cenderung meningkat. Keadaan ini tidak kondusif untuk pemeliharaan kohesi sosial-politik dan integrasi bangsa. 

Pada satu segi kohesi sosial terlihat cukup di antara warga menghadapi pandemi Covid-19. Banyak warga masyarakat dan ormas memperlihatkan kepedulian tinggi. Mereka mengumpulkan dana filantropi untuk membantu warga terdampak sejak dari peralatan rumahsakit, alat pelindung diri, obat-obatan dan herbal, sembako, gawai sampai pulsa untuk PJJ. Inilah aktualisasi kohesi sosial yang tetap kuat dalam masyarakat kita.

Tetapi kohesi sosial-politik sangat terganggu dengan peningkatan kegaduhan dalam masyarakat akibat penyebaran hoaks, fitnah, provokasi, pencemaran nama baik dan adu domba. Meski masyarakat terlihat tenang-tenang saja, sebenarnya banyak gejolak di bawah permukaan yang sungguh mengancam kohesi sosial.

Gejolak laten itu sewaktu-sewaktu bisa muncul. Ini terlihat dalam kasus kerumunan massa berlanjut kegaduhan dan kekerasan di antara massa ormas Islam tertentu dengan aparat kepolisian. Letupan pembelaan pimpinannya yang ditahan polisi terjadi di wilayah Jabodetabek dan sempat  meluas ke beberapa kota kecil.

Peristiwa terakhir ini juga meningkatkan sentimen tentang ‘ketidakadilan’ politik dan hukum yang mengendap dalam psike sebagian warga. Isu atau persepsi tentang ‘pisau keadilan’ atau ‘pisau hukum’ yang tajam pada pihak tertentu dan tumpul pada pihak lain terus mewabah merusak kohesi sosial-politik.

Oleh karena itu, asa Indonesia 2021 dan tahun-tahun seterusnya juga adalah penegakan keadilan. Masyarakat, warga dan pakar, jika bicara tentang keadilan, biasanya menyangkut keadilan hukum dan keadilan ekonomi. Jika keadilan dalam kedua bidang tidak diusahakan sungguh-sungguh oleh pemerintah, dampaknya adalah kerapuhan kohesi sosial-politik yang laten mengoyak integrasi nasional.

 Asa Indonesia 2021 sebagai annus mirabilis walau menghadapi banyak tantangan bukan tidak mungkin Jika berbagai tantangan tadi dapat dijawab dengan kemauan politik tulus dan kerja keras ikhlas, asa itu sedikit banyak bisa terwujud.

  

*Azyumardi Azra, Profesor UIN Jakarta; Advisor Internasional CIS, HKBU Qatar dan ISTAC IIUM Kuala Lumpur

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan