KH. Mas Mansoer, Ketua PP Muhammadiyah yang Syahid di Penjara

KH. Mas Mansoer, Ketua PP Muhammadiyah yang Syahid di Penjara

Tembok tebal berwarna putih mengelilingi lahan seluas 3,5 hektare di Jalan Kasuari, Krembangan, Kota Surabaya. Sebagian besar temboknya sudah kusam, catnya mengelupas dan dihiasi akar pohon beringin yang menjuntai di sana-sini. Tiap-tiap sudut tembok terpampang gardu berkarat seakan menjadi mata yang siaga mengawasi.

Siapa sangka di penjara Kalisosok. Di balik terali besi penjara ini ada cerita yang luar biasa tentang seorang yang mempertahankan akidah dan semangat kebangsaannya. Bahkan ketua organisasi Islam terbesar saat itu yaitu Muhammadiyah,  sel-sel tahanan itu menjadi saksi betapa Mas Mansoer menyatakan keteguhannya mempertahankan kemerdekaan dan  keimananannya dari balik jeruji ini. Sel-sel ini juga menjadi saksi bagaimana persahabatan beliau dengan WR Soepratman dan Doel Arnowo. Ruslan Abdulgani menyampaikan bahwa Indonesia ini kuat karena dibangun dari ulama-ulama yang teguh pada prinsip keIslam-an dan keIndonesiaan,

“KH Mas Mansoer itu pejuang yang luar biasa, tidak goyah oleh imperialisme dan kolonialisme, ulama yang tidak bisa dibeli dengan tawaran jabatan bahkan kekayaan, sekutu menawarinya menggantikan Soekarno, apa jawaban Mas Mansur pada sekutu, ‘Islam mengajarkan kepada kami untuk mempertahankan hak-hak kami sebagai bangsa, dan Muhammadiyah telah memutuskan Ir Soekarno dan Hatta memimpin  Bangsa ini, hanya orang munafik yang mau menggadaikan bangsanya pada penjajah’ itu kata-kata yang menggetarkan” ujar Ruslan Abdul Gani sebelum wafat.

Pintu utama penjara rupanya terletak di sisi timur bangunan. Fasadnya hampir sama dengan tembok-tembok lain di sekitar kawasan. Kusam dan tak terawat. Sekilas tidak ada spesial di pintu utama. Dari kejauhan terlihat coretan “No.7” berwarna biru menandakan bangunan itu berdiri di urutan ketujuh dari bangunan lainnya.

Tapi jika dilihat lebih dekat, ternyata ada plakat berwarna kuning emas bertuliskan “Bangunan Cagar Budaya”. Tetenger itu dikeluarkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya sejak 2009 lalu. Di pintu ini saksi sejarah wafatnya ketua Muhammadiyah akibat siksaan dan kelaliman kolonialis NICA, Tepat pada 25 April 1946, K.H. Mas Mansoer mengembuskan napas penghabisan.

 

Ketua Muhammadiyah Yang Sederhana

KH Mas Mansoer Kedudukannya di masyarakat sangat tinggi. Dia sahabat dekat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta. Dia adalah pemimpin organisasi Islam besar  muhammadiyah. Meskipun memiliki kedudukan tinggi, KH Mas Mansur tetap lekat dengan kesederhanaan yang mengagumkan.

 

Gaya berpakaian Mas Mansoer memang berbeda dengan pemimpin lain. Jika pemimpin lainnya mengenakan jas mewah, Mas Mansur lebih suka pakaian sederhana dan sarung. Sabuknya juga memiliki kantong. Suatu ketika, wartawan Jepang Kanzo Tsutsumi bertanya kepada Mas Mansoer mengapa suka berpakaian gaya ndeso, meskipun kedudukannya sudah tinggi.

Mas Mansoer tertawa dan menjawab: “Memang pakaian saya ini selalu menjadi soal hingga kawan-kawan saya akan memberi uang 180 rupiah dan disuruhnya saya membuat jas dan celana yang bagus-bagus. Mungkin kiranya saya mau berpakaian jas dan celana jika terus menerus saya didesak-desak. Cuma saja saya yakin, kalau saya beli celana modern, niscaya saya tak sanggup menjelaskan hitungan 5 dan 5 karena tentu otak dan pikiran saya tidak tenang lagi. Biarpun saya disebut kepala batu atau berbau desa, sudahlah biarkan.”

 

Begitu sederhananya, orang tak mengenal Mas Mansoer sebagai sosok penting. Pernah ada kejadian menarik soal ini seperti diceritakan Soebagijo IN dalam bukunya Mas Mansoer, Pembaharu Islam di Indonesia. Suatu kali dalam Kongres Muhammadiyah di Medan, ada orang gemuk hitam berdiri di luar arena kongres. Seorang anggota komite menghampiri orang tersebut dan menanyakan identitasnya. Jika belum punya, diminta mengurus ke kepanitiaan. Anggota komite menunjuk suatu tempat untuk mengurusnya. Orang itu diam saja dan menurut pernyataan dari anggota komite tanpa membantah.

Dia menuju tempat yang ditunjuk dengan tenang. Belakangan diketahui, orang yang ditegur itu adalah Mas Mansoer. Anggota komite itu mukanya biru hitam lantaran malu. Bagaimana tak malu, Mas Mansoer adalah salah satu pimpinan Muhammadiyah yang sangat diperhitungkan.

 

Di Muhammadiyah, Mansoer menapaki jenjang karier dengan mulus. Dari Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya, Konsul Muhammadiyah Wilayah Jawa Timur, hingga terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah dalam kongres di Yogyakarta pada 1937, seperti dikutip dari buku Wajah dan Perjuangan Pahlawan Nasional (2008) terbitan Departemen Sosial RI (hlm. 156).

Amanah itu lebih sebagai sintesis dari pertentangan yang sempat terjadi antara golongan tua dan golongan muda di dalam tubuh Muhammadiyah. Dalam kongres tersebut, golongan muda Muhammadiyah merasa organisasi itu terlampau didominasi kepentingan golongan tua, yang diwakili tiga tokoh senior yakni KH Hisyam selaku ketua pengurus pusat, KH Mukhtar selaku wakil ketua, dan KH Syuja’ sebagai ketua bagian Penolong Kesengsaraan Umum (PKU) Muhammadiyah.

Untuk meredam kekecewaan golongan muda, dalam muktamar ke-26 Muhammadiyah, ketiga sosok sepuh ini dengan ikhlas bersedia mengundurkan diri dari pencalonan ketua umum.

Selanjutnya, nama Ki Bagus Hadikusumo diusulkan menjadi ketua umum tetapi yang bersangkutan menolaknya. Demikian pula dengan KH Hadjid. Akhirnya, tawaran diajukan kepada KH Mas Mansoer dari Surabaya yang pada mulanya menolak.

 

Namun, setelah berdialog dengan intens dan melihat situasi dalam organisasi itu sendiri, KH Mas Mansoer pun bersedia mengemban amanah itu. Dalam kepemimpinannya, pengurus pusat Muhammadiyah lebih memberi ruang pada kiprah golongan muda yang mumpuni dan berkemajuan.

 

Kala Memimpin Muhammadiyah

KH Mas Mansoer merancang 12 kebijakan yang dirangkumnya dalam Langkah Muhammadiyah 1938-1949. Salah satunya adalah mengimbau para pengurus Muhammadiyah supaya lebih memanfaatkan kantor Muhammadiyah untuk membahas urusan-urusan terkait organisasi ini.

 

Sebelum era KH Mas Mansoer, para pimpinan kerap melakukan hal itu di rumah masing-masing, meskipun Muhammadiyah telah memiliki kantor dan jajarannya. Namun, kebijakan KH Mas Mansur ini tidak lantas membatasi silaturahim biasa antara tokoh-tokoh yang ingin mengunjungi kediaman pimpinan Muhammadiyah.

 

Kebijakan lainnya dari KH Mas Mansoer terkait dengan ekonomi. Dalam kepemimpinan dialah Muhammadiyah memfatwakan bahwa hukum bank adalah haram,  tetapi diperkenankan atau dimaafkan sejauh dalam keadaan yang memaksa.

 

Alasan di balik ini, KH Mas Mansoer melihat umat Islam dalam situasi yang memprihatinkan, dengan tetap memerhatikan bahwa bank dengan sistem bunganya berpeluang pada riba.

Mansoer beserta Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh muda lainnya menjadi bagian dari gerbong pembaharu dalam kepengurusan Muhammadiyah masa itu yang didominasi generasi tua sepeninggal Ahmad Dahlan yang wafat pada 1923.

Tak lama setelah terpilih sebagai Ketua Umum Muhammadiyah pada 1937, Mansoer turut membidani terbentuknya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) bersama para pimpinan organisasi Islam lainnya, termasuk Hasyim Asyari dan Wahab Hasboellah dari Nahdlatul Ulama (NU).

Pada periode yang sama pula, Sarekat Islam—yang sejak 1923 menjelma menjadi partai politik—mengalami perpecahan setelah wafatnya Tjokroaminoto pada 1934. Menurut Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional, dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan (2008), lantaran berbeda pandangan dengan orang-orang pusat, Mansoer terpaksa hengkang. Ia kemudian mendukung Soekiman Wirjosandjojo membentuk Partai Islam Indonesia (hlm. 160).

Memasuki masa pendudukan Jepang seiring menyerahnya Belanda pada 1942, pamor K.H. Mas Mansoer semakin melambung. Ia termasuk tokoh nasional yang diperhitungkan pemerintah militer Jepang selain Soekarno, Mohammad Hatta, dan Ki Hadjar Dewantara. Mereka inilah yang kemudian dijuluki Empat Serangkai.

Menjelang kekalahan Jepang dari Sekutu dalam Perang Asia Timur Raya, K.H. Mas Mansoer terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hingga akhirnya, Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945.

Namun, tak lama berselang, Belanda datang lagi dengan membonceng Sekutu dan ingin berkuasa kembali. Mansoer pulang ke Surabaya untuk turut berjuang mempertahankan kemerdekaan di tanah kelahirannya, Tanggal 10 November 1945, pecah pertempuran di Surabaya. Bung Tomo berperan sebagai pengobar semangat arek-arek Surabaya di medan perang, sementara K.H. Mas Mansoer bergerak dari balik layar dan kerap dikunjungi para pejuang yang hendak meminta nasihat.

Hingga suatu hari, pasukan Sekutu dan Belanda menyerang Surabaya bagian utara, tempat di mana Mansoer tinggal. Di tengah desingan peluru, Mansoer pun ditangkap dan dibui di penjara Kalisosok. Di balik terali besi, kesehatannya semakin menurun. Tepat pada 25 April 1946 itulah ,Ketua PP Muhammadiyah K.H. Mas Mansoer mengembuskan napas penghabisan, syahid di dalam penjara Kalisosok Surabaya.

Penulis : Haraka

Editor : Baba Barry

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan