Janganlah Pilkada Jadi Pilpahit

 Sumber: https://khazminang.id/janganlah-pilkada-jadi-pilpahit





Janganlah

Janganlah Pilkada Jadi Pilpahit

Oleh: Dr. Gamawan Fauzi Dt. Rajo Nan Sati


Tanggal 9 Desember besok, akan berlangsung Pilkada serentak untuk 270 daerah di Indonesia. Baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten dan Kota. Kini memasuki masa tenang setelah badai hiruk-pikuk berlalu.Para calon mungkin ada yang khusu' berzikir, ada yang masih melakukan operasi senyap, ada yang masih bisik-bisik melalui pendekatan personal, yang tentu juga dibantu masing-masing pendukung dan tim suksesnya. Mudah-mudahan tak ada yang melakukan ‘serangan fajar’ menebar uang.

Model pemilihan seperti ini oleh sebagian ulama dianggap tak cocok dengan ajaran Islam. “Jabatan kok di minta-minta,” katanya sambil mengutip sebuah hadis, yang intinya bahwa orang yang meminta-minta  jabatan, kelak akan menyesal di akhirat.

Tapi sistem Pemilu Indonesia saat ini menghendaki model seperti itu. Kita sepertinya bangga dengan apa yang ditiru dari Amerika atau Eropa dan banyak negara maju lainnya soal berdemokrasi. Apalagi dengan direct democracy nya, yang di anggap paling mewakili suara rakyat sambil mengutip istilah vox populi, vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan.

Kredo vox populi, vox Dei yang berasal dari bahasa latin itu, konon pertama kali oleh Alcuin yang membuat surat kepada Maha Raja Charlemagne di penghujung abad 19, yang kemudian dipopulerkan oleh Uskup Agung Walter Reynolds , dan kemudian dikutip dalam Traktat Partai Whig. Itulah yang kemudian menjadi kutipan standar masyarakat dunia ketika membahas sistem demokrasi elektoral.

Paham yang mengagungkan kredo vox populi, vox Dei ini meyakini, bahwa siapa yang memperoleh suara mayoritas, maka dia memperoleh legitimasi spritual, karena semuanya terjadi atas kehendak Tuhan yang menggerakkan hati umat manusia.

Namun sebagian meragukan kebenaran pendapat itu, bahkan senagian mencurigai bahwa ini adalah bentuk politisasi agama oleh kaum sekuler. Mereka berdalih, bila suara terbanyak adalah suara Tuhan, maka Tuhan akan menjaga suara itu hingga sang pimpinan terpilih menjalankan kekuasaannya.

Tapi ternyata pemimpin yang terpilih dengan suara terbanyak tak selalu menjadi pemimpin yang adil, yang menjalankan perintah perintah Tuhan dengan benar, bahkan sebagian kemudian menjadi pemimpin yang zalim, bengis, menindas atas nama rakyat juga atau demokrasi, mekipun tak dipungkiri bahwa terdapat juga pemimpin yang adil, yang amanah dan shaleh dari hasil pilihan mayoritas rakyat itu.

Untuk menguji tesis kebenaran kredo itu, seyogyanya para ilmuan perguruan tinggi mengujinya, dengan meneliti semua Kepala Daerah dalam menjalankan kepercayaannya itu sejak adanya pemilihan langsung di Indonesia yang dimulai sejak tahun 2005 lalu.

Terlepas dari itu, 2 hari lagi masyarakat pemilih di 270 Provinsi, Kabupaten dan Kota, tak terkecuali beberapa daerah di Sumatera Barat, akan menentukan pilihannya.

Ada yang menganggap itu tak penting, dan tak datang ke TPS. Mereka berkesimpulan, toh siapapun yang dipilih, tak juga banyak mengubah kondisi hidupnya pribadi dan keluarganya.

Tujuah kali Sawah tagadai, nan koncek, tetap di pematang. Istilah milenial kini, gak ngaruh.

Tapi ada juga yang memilih dengan sikap pragmatis. Artinya, dapat uang Rp50 ribu atau Rp100 ribu dari tim sukses, itu saja yang di pilih. Kata orang Minang, nan jaleh sajolah dulu, kok isuak apo nan tajadi, tasarahlah. Untuak apo manunggu janji, toh banyak juo nan baduto.

Namun ada juga yang serius, sungguh sunggu, sampai tak tidur dia malam sebelum hari pencoblosan karena galau kalau calon unggulannya kalah. Pagi-pagi dia sudah mandi bersih-bersih, mengenakan baju baru yang paling keren, pakai sedikit wewangian. Yang lelaki memotong kuku, yang perempuan bergincu baru. Melangkah dari rumah membaca doa yang dihadiahkan untuk pasangan calon idolanya, yaitu calon yang diyakini akan mengubah tatanan kehidupannya pribadi, keluarganya dan masyarakat luas. Dia yakin se yakin yakinnya dengan itu. Pendek kata, hanya pilihan dialah sosok yang akan mampu mengubah segala sendi-sendi kehidupan masyarakat di daerahnya menjadi baldathun thayibathun warabun ghafur. Hanya dia. Titik.

Dsamping itu, ada juga yang bersikap biasa-biasa saja. Menurutnya, yang penting ikhtiar, memilih calon yang mudah-mudahan terpilih yang baik, setelah dia menelisik track record calon satu persatu. Dia tau mana calon yang angkuh atau sombong, seperti mau dibeli saja semuanya, dia tau pula siapa calon yang rendah hati dan punya pengalaman yang cukup baik, dia juga kenal calon yang berprestasi, cerdas dan tak sombong dan punya rencana program baik dan masuk akal. Dia akan memilih diantara itu. Lalu bismillah dan nyoblos. Berharap pilihannya tak salah. Lalu dipulang.

Saya tak termasuk mazhab yang mengagungkan pemilihan langsung. Banyak alasan saya tak menganut paham itu. Saya setuju dengan paham Demokrasi Pancasila, yaitu Kerakyatan yang dipimpin hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, tapi dengan catatan, bahwa perwakilan itu adalah perwakilan yang amanah, yang takut dengan Allah, bukan dengan manusia yang setiap diri punya pendapat dan pendapatnya itu punya dalil atau alasan pembenaran, walaupun bukan merujuk kepada nilai ilahiyah yang mempunyai nilai kebenaran mutlak.

Lalu seperti apa nanti hasil Pilkada Indonesia atau lebih khususnya Sumatera Barat? Yaitu negeri yang konon tempat orang orang cerdik pandai dan arif bijaksana dilahirkan. Kita tunggu setelah semua suara kelak dihitung.

Tapi menurut saya, wajah pemimpin terpilih dari direct democracy itu, adalah juga wajah orang dan masyarakat yang memilihnya. Apakah akan lamak dek santan dan kuniang dek kunyik, atau dari ketakahan dan ketokohannya selama ini yang dinilai memadai?

Bila akhirnya yang terpilih adalah pemimpin yang karena lamak dek santan dan kuniang dek kunyik, maka Pilkada telah menjadi Pilpahit untuk demokrasi.

Namun apapunlah hasilnya, satu hal yang menurut saya, semuanya sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Apakah itu pemimpin yang amanah atau zalim. Izinkan saya mengakhiri tulisan ini dengan mengutip Al quran, surat Ali Imran ayat 26.

Allah berfirman Katakanlah (Muhammad), "Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan