Hoax Jangan Dilawan Hoax: Aisyah RA yang Bersih dan Turunnya Ayat 11 dan 22 QS An-Nur
Tafsir Surah An-Nuur
Ayat 11
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.” (QS. An-Nuur: 11)
Maksud Ayat
Sepuluh ayat dari ayat sebelas semuanya membicarakan tentang ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha ketika orang-orang munafik memberikan tuduhan padanya bahwa Aisyah telah berselingkuh. Ayat ini diturunkan untuk menunjukkan tidak benarnya tuduhan tersebut. Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 5:500.
Kisah Turunnya Ayat
Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, “Biasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak keluar untuk melakukan suatu perjalanan, maka beliau mengundi di antara istri-istrinya. Maka, siapa saja di antara mereka yang keluar undiannya, maka dialah yang keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan undian di antara kami di dalam suatu peperangan yang beliau ikuti. Ternyata namaku-lah yang keluar. Aku pun berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian ini sesudah ayat tentang hijab diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu di atas punggung unta) lalu berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kembali dari perang tersebut.
Ketika telah dekat dengan Madinah, maka pada suatu malam beliau memberi aba-aba agar berangkat. Saat itu aku keluar dari tandu melewati para tentara untuk menunaikan keperluanku. Ketika telah usai, aku kembali ke rombongan. Saat aku meraba dadaku, ternyata kalungku dari merjan zhifar terputus. Lalu aku kembali lagi untuk mencari kalungku, sementara rombongan yang tadi membawaku telah siap berangkat. Mereka pun membawa sekedupku dan memberangkatkannya di atas untaku yang tadinya aku tunggangi. Mereka beranggapan bahwa aku berada di dalamnya.
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Pada masa itu perempuan-perempuan rata-rata ringan, tidak berat, dan tidak banyak daging. Mereka hanya sedikit makan. Makanya, mereka tidak curiga dengan sekedup yang ringan ketika mereka mengangkat dan membawanya. Di samping itu, usiaku masih sangat belia. Mereka membawa unta dan berjalan. Aku pun menemukan kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas aku datang ke tempat mereka. Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan menjawab. Lalu aku bermaksud ke tempatku tadi di waktu berhenti. Aku beranggapan bahwa mereka akan merasa kehilangan diriku lalu kembali lagi untuk mencariku.”
“Ketika sedang duduk, kedua mataku merasakan kantuk yang tak tertahan. Aku pun tertidur. Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani tertinggal di belakang para tentara. Ia berjalan semalam suntuk sehingga ia sampai ke tempatku, lalu ia melihat hitam-hitam sosok seseorang, lantas ia menghampiriku. Ia pun mengenaliku ketika melihatku. Sungguh, ia pernah melihatku sebelum ayat hijab turun, Aku terbangun mendengar bacaan istirja’-nya (bacaan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika ia melihatku. Kututupi wajahku dengan jilbab. Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar sepatah kata pun dari mulutnya selain ucapan istirja sehingga ia menderumkan kendaraannya, lalu ia memijak kaki depan unta, kemudian aku menungganginya. Selanjutnya ia berkata dengan menuntun kendaraan sehingga kami dapat menyusul para tentara setelah mereka berhenti sejenak seraya kepanasan di tengah hari. Maka, binasalah orang yang memanfaatkan kejadian ini (menuduh berzina). Orang yang memperbesar masalah ini ialah Abdullah bin Ubay bin Salul.”
“Kemudian kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak tahu mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya aku lihat dari beliau ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Itulah yang membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum aku keluar rumah.” [Masih berlanjut kisah ini] (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)
Pelajaran dari Awal Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh
- Kewajiban mengundi di antara beberapa istri ketika hendak mengajak pergi sebagian di antara mereka. Ini jadi dalil dari Imam Maik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, juga jumhur ulama tentang bolehnya mengundi untuk pembagian giliran dari istri-istri yang ada. Bahkan tidak boleh suami yang beristri lebih dari satu cuma sekedar memilih saja pasangannya tanpa melalui pengundian, inilah pendapat madzhab Syafi’i.
- Bolehnya seorang suami bepergian dengan istrinya, mengajak istri safar berperang, kaum perempuan menaiki sekedup (tempat duduk dari kayu yang dipasang di punggung unta), dan laki-laki melayani perempuan ketika dalam perjalanan.
- Pasukan harus mengikuti perintah pemimpin jika ingin berhenti dalam perjalanan.
- Boleh bagi kaum perempuan keluar untuk memenuhi kebutuhannya tanpa izin suami. Ini termasuk hal-hal pengecualian.
- Boleh seorang wanita memakai perhiasan melingkar ketika safar, sama seperti ketika berada di rumah (selama tidak menampakkan perhiasannya keluar dan terlihat orang banyak, pen.).
- Seseorang yang menaikkan perempuan ke atas unta dan kendaraan lainnya tidak boleh mengajak bicara perempuan tersebut jika bukan mahramnya kecuali karena suatu kebutuhan. Sebab, para sahabat hanya membawa sekedup. Mereka tidak mengajak bicara orang yang mereka duga ada di dalam sekedup.
- Keutamaan wanita untuk sedikit makan dan itulah yang dicontohkan oleh wanita-wanita di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaik yang patut dicontoh.
- Boleh sebagian pasukan telat beberapa saat dari lainnya ketika ada kepentingan.
- Menolong orang yang butuh pertolongan, membantu orang yang terpisah dari rombongannya, menyelamatkan orang hilang, dan memuliakan orang yang mempunyai kedudukan sebagaimana yang dilakukan oleh Shafwan radhiyallahu ‘anhu.
- Menjaga tatakrama yang baik bersama perempuan bukan mahram, terutama ketika di tempat sepi bersamanya dalam kondisi darurat, baik di tanah lapang atau di tempat lain sebagaimana yang dilakukan oleh Shafwan radhiyallahu ‘anhu, yaitu menderumkan unta tanpa berbicara dan tanpa bertanya. Di samping itu, seyogyanya ia berjalan di depan perempuan tersebut, tidak di sampingnya, dan tidak pula di belakangnya.
- Mendahulukan orang lain daripada diri sendiri padahal kita sendiri butuh. Ini yang disebut itsar, sebagaimana dilakukan oleh Shafwan pada ‘Aisyah dalam hal menunggangi unta.
- Disunnahkan membaca istirja’, yaitu bacaan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika tertimpa musibah, baik dalam bidang agama atau dunia, baik menimpa pada diri sendiri maupun orang lain.
- Kisah di atas menunjukkan bahwa ada anjutan menutupi wajah wanita dari pandangan lelaku walaupun yang memandanginya adalah shalih atau selainnya.
- Disunnahkan menutupi desas-desus mengenai seseorang dari orang yang bersangkutan jika tidak ada gunanya menuturkan isu tersebut, sebagaimana mereka menyembunyikan isu tersebut dari Aisyah radhiyallahu ‘anha selama sebulan. Setelah itu, Aisyah radhiyallahu ‘anha baru mendengarnya lantaran ada suatu kejadian, yaitu pernyataan Ummi Misthah yang mencela Misthah.
- Sunnah bagi seorang suami bersikap lemah lembut dan berinteraksi dengan baik terhadap istrinya. Dan apabila ada sesuatu yang dapat menghalangi hubungannya dengan istri dan lain sebagainya, maka suami mengurangi sikap lemah lembutnya dan sebagainya agar istrinya paham bahwa ada sesuatu yang terjadi, sehingga si istri menanyakan penyebabnya, lalu ia dapat melenyapkannya. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 17:105-106.)
Tunggu kelanjutan bahasan ini. Semoga jadi pelajaran yang bermanfaat.
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/16643-faedah-surat-an-nuur-05-awal-kisah-aisyah-dituduh-selingkuh.html
Kisah Lanjutan Turunnya Ayat
Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
“Kemudian kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak tahu mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa sesungguhnya aku tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya aku lihat dari beliau ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana keadaanmu?’ Itulah yang membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang buruk sebelum aku keluar rumah.”
“Lalu aku dan Ummu Mis-thah berangkat. Dia adalah putri Abi Ruhm bin Abdul Muththalib bin Abdi Manaf. Ibunya adalah puteri Shakhr bin Amr, bibi Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anha. Anaknya bernama Mis-thah bin Utsa-tsah bin Ubbad bin Abdul Muththalib bin Abdu Manaf. Lantas aku dan putri Abu Ruhm, Ummu Mis-thah terpeleset dengan pakaian wol yang dikenakannya. Kontan ia berujar, ‘Celakalah Mis-thah.’ Lantas aku berkata kepadanya, ‘Alangkah buruknya ucapanmu. Kamu mencela seorang lelaki yang ikut serta dalam perang Badr.’ Ia berkata, ‘Apakah engkau belum mendengar apa yang telah ia katakan?’ Aku bertanya, ‘Memang apa yang ia katakan?’ Ia pun menceritakan kepadaku mengenai ucapan para pembuat berita bohong (bahwa Aisyah telah berzina). Aku pun akhirnya bertambah sakit.”
“Ketika aku pulang ke rumah, aku berkata, ‘Bawalah aku kepada kedua orang tuaku!”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,
“Ketika itu aku ingin mengetahui secara pasti berita tersebut dari kedua orang tuaku. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkanku datang kepada kedua orang tuaku. Lantas aku bertanya kepada ibuku, ‘Wahai Ibu! Apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang?’ Ibuku menjawab, ‘Wahai putriku! Tidak ada apa-apa. Demi Allah, jarang sekali seorang perempuan cantik yang dicintai oleh suaminya sementara ia mempunyai banyak madu melainkan para madu tersebut sering menyebut-nyebut aibnya.’ Lantas aku berkata, ‘Subhanallah (Mahasuci Allah)! Berarti orang-orang telah memperbincangkan hal ini.’ Maka, aku menangis pada malam tersebut sampai pagi. Air mataku tiada henti dan aku tidak tidur sama sekali. Kemudian di pagi hari pun aku masih menangis.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,
“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu ketika wahyu tidak segera turun. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya dan meminta pendapat kepada keduanya perihal menceraikan istrinya.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,
“Sedangkan Usamah radhiyallahu ‘anhu memberi pendapat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan apa yang ia ketahui akan jauhnya istri beliau dari perbuatan tersebut dan dengan apa yang ia ketahui tentang kecintaannya kepada beliau. Usamah mengatakan, ‘Wahai Rasulullah! Mereka adalah istri-istrimu, menurut pengetahuan kami mereka hanyalah orang-orang yang baik.”
“Sedangkan Ali bin Abi Thalib berpendapat, ‘Wahai Rasulullah! Allah tidak akan memberikan kesempitan kepadamu. Perempuan selain Aisyah masih banyak. Jika engkau bertanya kepada seorang budak perempuan, pasti ia akan berkata jujur kepadamu.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,
“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah radhiyallahu ‘anhu. Beliau bertanya, ‘Hai Barirah! Apakah kamu melihat ada sesuatu yang mengutusmu dengan kebenaran. Aku tidak melihat sesuatu pun pada dirinya yang dianggap cela lebih dari bahwa dia adalah perempuan yang masih belia yang terkadang tertidur membiarkan adonan roti keluarganya, sehingga binatang piarannya datang, lalu memakan adonan rotinya.”
“Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda, ‘Wahai kaum muslimin! Siapakah yang sudi membelaku dari tuduhan laki-laki yang telah menyakiti keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang keluargaku kecuali kebaikan. Dan mereka juga menuduh seorang laki-laki yang sepanjang pengetahuanku adalah orang baik-baik, ia tidaklah datang menemui keluargaku kecuali bersamaku.”
“Selanjutnya Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berdiri lalu berkata, ‘Aku akan membelamu wahai Rasulullah! Jika ia dari kabilah Aus, maka akan kami tebas batang lehernya. Jika ia dari kalangan saudara-saudara kami kalangan Khazraj, maka apa yang engkau perintahkan kepada kami, pastilah kami melaksanakan perintahmu.” [Masih berlanjut kisah ini] (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)
Pelajaran dari Lanjutan Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh
- Dianjurkan menjenguk orang sakit.
- Dianjurkan menanyakan keadaan orang sakit ketika menjenguknya.
- Tidak boleh mencela orang dengan doa celaka, apalagi orang yang dicela asalnya adalah orang-orang yang mulia.
- Orang-orang baik disikapi dengan berhusnuzhan dulu padanya, tidak boleh menyakitinya.
- Hadits ini menunjukkan keutamaan orang-orang yang mengikuti perang Badar (Ahlu Badr) dan mereka harus dibela sebagaimana pembelaan Aisyah pada mereka.
- Bisa jadi kita difitnah dan karena fitnahan tersebut membuat kita jatuh sakit seperti yang dialami Aisyah. Tugas kita, sabar dalam menghadapi fitnahan ini.
- Apabila seorang perempuan hendak keluar untuk memenuhi kebutuhannya, maka disunnahkan baginya ditemani oleh perempuan lain yang dapat membuatnya nyaman dan tidak diganggu oleh orang lain.
- Seorang istri boleh pergi ke rumah orang tuanya asalkan dengan izin suaminya.
- Di antara para istri (yang dipoligami) pasti ada rasa cemburu serta kebencian satu dan lainnya.
- Di rumah tangga yang penuh keshalihan seperti pada keluarga Rasulullah ditemukan ada masalah, maka perlu menghadapinya dengan tenang dan pasti selalu ada jalan keluar untuk menyelesaikan masalah.
- Aisyah itu cantik dan dicintai oleh suaminya (Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam).
- Boleh mengucapkan SUBHANALLAH (Mahasuci Allah) sebagai ungkapan takjub.
- Dianjurkan bagi seorang suami untuk meminta pendapat kepada orang terdekatnya, keluarganya, dan teman-temannya mengenai persoalan yang dihadapinya.
- Istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang-orang yang baik.
- Istri dianjurkan mengabdi kepada suami dengan mengurus rumah, seperti memasak, menyiapkan segala keperluan suami dan kebutuhan suami lainnya.
- Istri yang masih muda kadang lalai dalam mengurus rumah, mungkin karena usianya yang belum matang dan belum sangat dewasa.
- Boleh mencari tahu kebenaran berita yang didengar yang terkait dengan kita. Adapun selain itu terlarang dan termasuk tajassus (mencari-cari kesalahan orang) dan termasuk sikap berlebihan.
- Boleh seorang imam berkhutbah dan membicarakan masalah yang terjadi di tengah-tengah rakyatnya.
- Para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum begitu semangat dalam membela nabinya dan menjalankan perintahnya.
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/16735-faedah-surat-an-nuur-06-lanjutan-kisah-aisyah-dituduh-selingkuh.html
Akhir Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,
“Kemudian Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anha berdiri. Ia adalah pemimpin kabilah Khazraj. Ia adalah lelaki yang shalih tetapi ia tersulut emosi. Lalu ia berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, ‘Kamu bohong! Demi Allah! Kamu tidak akan membunuhnya dan tidak akan mampu membunuhnya. Jika ia berasal dari kabilahmu pasti kamu tidak ingin membunuhnya.”
“Lalu Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu berdiri. Ia adalah sepupu Sa’ad bin Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata kepada Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu, ‘Kamu bohong! Demi Allah. Sungguh kami akan membunuhnya. Kamu ini munafik dan berdebat untuk membela orang-orang munafik. Lantas terjadi keributan antara kedua kabilah, yakni Aus dan Khazraj sehingga hampir saja mereka saling membunuh padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih di atas mimbar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan mereka sampai mereka diam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga terdiam.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,
“Pada hari itu aku menangis. Air mataku terus menetes tiada henti dan aku tidak tidur sama sekali. Kedua orang tuaku beranggapan bahwa tangisan dapat membelah hatiku.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,
“Ketika keduanya sedang duduk di sampingku sedangkan aku sedang menangis, tiba-tiba seorang perempuan dari kalangan Anshar meminta izin kepadaku, lalu aku pun memberi izin kepadanya sehingga ia duduk seraya menangis di sampingku. Ketika kami masih dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kemudian duduk. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah duduk di sampingku sejak beredarnya isu tersebut. Dan telah sebulan penuh tidak ada wahyu turun mengenai perkaraku ini. Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kesaksian pada saat beliau duduk seraya berkata, ‘Amma ba’du, wahai Aisyah! Sungguh, telah sampai kepadaku isu demikian dan demikian mengenai dirimu. Jika engkau memang bersih dari tuduhan tersebut, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membebaskanmu. Dan jika engkau melakukan dosa, maka memohonlah ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya seorang hamba yang mau mengakui dosanya dan bertaubat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima taubat-Nya.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,
“Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai menyampaikan sabdanya ini, maka derai air mataku mulai menyusut, sehingga aku tidak merasakan satu tetes pun. Lalu aku berkata kepada ayahku, ‘Tolong sampaikan jawaban kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas namaku!’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku sampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Selanjutnya aku berkata kepada ibuku, ‘Tolong sampaikan jawaban kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas namaku!’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku juga tidak tahu apa yang harus aku sampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Lalu aku berkata, ‘Aku adalah seorang perempuan yang masih belia. Demi Allah, aku tahu bahwa kalian telah mendengar berita ini sehingga kalian simpan di dalam hati dan kalian membenarkannya. Makanya, jika kukatakan kepada kalian bahwa aku bersih dari tuduhan tersebut Allah Maha Mengetahui bahwa aku bersih dari tuduhan tersebut, maka kalian tidak mempercayaiku. Dan jika aku mengakui sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui bahwa aku terbebas darinya, malah kalian sungguh-sungguh mempercayaiku. Demi Allah, aku tidak menjumpai pada diriku dan diri kalian suatu perumpamaan selain sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Yusuf ‘alaihis salam,
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ عَلَى مَا تَصِفُونَ
“Maka hanya sabar yang baik itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)
“Kemudian aku berpaling, aku berbaring di atas tempat tidurku.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,
“Aku–wallahu a’lam–ketika itu terbebas dan Allah-lah yang melepaskanku dari isu tersebut. Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah menyangka akan diturunkan suatu wahyu yang akan selalu dibaca perihal persoalanku ini. Sungguh persoalanku ini terlalu remeh untuk difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi sesuatu yang akan selalu dibaca. Sebenarnya yang aku harapkan ialah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bermimpi di dalam tidurnya yang di dalam mimpi tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskanku dari tuduhan tersebut.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,
“Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempat beranjak dari tempat duduknya dan belum ada seorang pun dari anggota keluargaku yang keluar sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merasa berat ketika menerima wahyu. Sampai-sampai beliau bercucuran keringat bagaikan mutiara padahal ketika itu sedang musim penghujan. Hal ini lantaran beratnya wahyu yang diturunkan kepada beliau.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,
“Kontan, kesusahan telah lenyap dari hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tersenyum bahagia. Kalimat yang kali pertama beliau katakan ialah, ‘Bergembiralah Aisyah! Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskanmu.’ Lalu ibuku berkata kepadaku, ‘Berdirilah kepada Nabi.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan berdiri kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tidak akan memuji kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah yang menurunkan wahyu yang membebaskan diriku. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat berikut,
إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar (pula).” (QS. An-Nur: 11)
Sampai sepuluh ayat secara keseluruhan.”
“Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan ayat ini yang menjelaskan tentang kebebasanku, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anha–beliau adalah orang yang memberikan nafkah kepada Misthah bin Utsatsah radhiyallahu ‘anha karena masih ada hubungan kerabat dan karena ia orang fakir–berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.’ Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat berikut (yang artinya), “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nur: 22)
“Lantas Abu Bakar radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Baiklah. Demi Allah, sungguh aku suka bila Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.’ Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai persoalanku. Beliau berkata, ‘Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui atau yang kamu lihat?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia hanyalah baik.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, ‘Dialah di antara istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaingiku dalam hal kecantikan, tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala melindunginya dengan sifat wara’. Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti Jahsy radhiyallahu ‘anha bertentangan dengannya. Maka, binasalah orang-orang yang binasa.” (HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)
Pelajaran dari Akhir Kisah Aisyah Dituduh Selingkuh
- Diperintahkan untuk segera menghentikan pertikaian dan menenangkan yang sedang marah.
- Orang muslim tentu marah kalau ada yang menjatuhkan kehormatan pemimpinnya sendiri.
- Kita didorong untuk bertaubat dan keutamaan taubat itu luar biasa.
- Menghormati yang tua (kibar) dengan mempersilakan mereka yang berbicara terlebih dahulu daripada yang muda (shighar) karena mereka lebih punya pemahaman yang sempurna.
- Disunnahkan untuk memberikan kabar gembira dengan segera ketika mendapat nikmat besar atau terangkat dari musibah besar.
- Kisah ini menunjukkan keistimewaan Aisyah radhiyallahu ‘anha. Siapa yang ragu dan masih menuduh Aisyah berselingkuh, maka ia kafir dan murtad dengan sepakat para ulama.
- Hendaklah kita terus memperbarui syukur ketika mendapatkan nikmat baru.
- Keutamaan memberi makan kepada orang fakir (miskin) apalagi masih punya hubungan kerabat.
- Siapa yang bersumpah, lalu melihat ada yang lebih baik di balik itu, maka hendaklah ia membatalkan sumpahnya dengan menunaikan kafarah (tebusan). Lihat surah Al-Maidah ayat 89.
- Di balik kesulitan ketika mencapai puncaknya akan datang kemudahan. “Sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya di balik kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 5-6)
- Solusi ketika menghadapi fitnahan dari orang lain adalah sabar. Sabar itu awalnya pahit, namun akhirnya lebih manis daripada madu.
- Allah yang nanti akan membalas setiap orang yang memfitnah (menuduh orang lain tanpa bukti) dan Allah-lah yang nanti akan menampakkan manakah yang benar.
- Kejelekan tak perlu dibalas dengan kejelekan, balaslah kejelekan dengan kebaikan. Berikanlah maaf pada orang yang berbuat jelek kepada kita. “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)
Berakhir kisah Aisyah dituduh selingkuh, moga jadi pelajaran berharga bagi semua.
Referensi:
Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm. 17:107-108.
Baca Selengkapnya : https://rumaysho.com/16823-faedah-surat-an-nuur-07-berakhir-kisah-aisyah-dituduh-selingkuh.html
Komentar