Tiga Pendekar di Balik Kongres 19

Tiga Tokoh Muhammadiyah Minangkabau Dibelakang Suksesnya Congres Muhammadiyah ke-19
01/11/2018
   


Tiga Tokoh Muhammadiyah Minangkabau Dibelakang Suksesnya Congres Muhammadiyah ke-19


Oleh: Arief Budiman Ch

Penyelenggaraan Congres Muhammadiyah ke-19 di Minangkabau, tepatnya di Bukittinggi, telah usai sukses dilaksanakan, pada tanggal 14-21 Maret 1930. Congres ini merupakan pertemuan tahunan (Congres) Muhammadiyah yang pertama kali diselenggarakan di luar pulau Jawa. Artinya, berjarak 18 tahun setelah Muhammadiyah resmi berdiri tahun 1912 di Kauman Kota Yogyakarta.

Sebenarnya, secara resmi Muhammadiyah berdiri di pulau Sumatera belum terlalu lama dari waktu penyelenggaraan Congres 1930, yakni pada 1926 bulan Juni baru berdiri Muhammadiyah Daerah Minangkabau di Padang Panjang, Sumatera Barat. Artinya, hanya berjarak 4 tahun setelah berdiri resmi, Muhammadiyah Daerah Minangkabau sudah “berani” menjadi tuan rumah dan menyelenggarakan Congres dengan mengambil tempat di Bukittinggi. Kota ini berjarak sekitar 25 km, naik ke atas dari kota Padangpanjang. Sekitar jarak antara kota Yogyakarta menuju lokasi wisata Kaliurang di lereng gunung Merapi, Kabupaten Sleman.

Bagaimana mungkin hanya dalam tempo empat tahun dari berdirinya Muhammadiyah Daerah Minangkabau sudah sanggup menyelenggarakan sebuah perhelatan Congres tingkat nasional? Jika tidak berkembang pesat dan didukung oleh sumber daya (manusia) yang memadai, tentu tidak akan mampu menyelenggarakan Congres. Hal ini menjadi pertanyaan besar. Apalagi, dipandang bahwa Congres Muhammadiyah ke-19 tahun 1930 di Bukittinggi itu adalah Congres terbesar yang pernah diselenggarakan sejak Muhammadiyah berdiri. Menurut Sejarahwan Taufik Abdullah yang kelahiran Bukittinggi, ribuan orang hadir dalam Congres tersebut. Dan ternyata, ada penjelasan yang bisa dipahami mengapa Muhammadiyah cepat berkembang pesat di Sumatera.

Sebenarnya, persinggungan antara ulama Islam di Sumatera Barat dengan Muhammadiyah sudah terjadi sejak jaman Kiyahi Dahlan masih hidup (wafat 23 Februari 1923). Alkisah, adalah Haji Abdul Karim Amrullah (1879-1945), ayahnya HAMKA, atau dikenal juga sebagai Haji Rasul, beliau belajar agama Islam ke Mekkah tahun 1894-1901, setelah 8 tahun, pulang ke ranah Minang dengan membawa pembaharuan pemahaman ajaran Islam. Hal ini sebagaimana juga yang terjadi dengan KHA Dahlan setelah berangkat haji dan belajar Agama Islam di Makkah.

Sepulang dari belajar di Makkah, di kampung halamannya Haji Rasul kemudian menjadi perwakilan (agen dan koresponden) majalah Al-Imam. Majalah ini diterbitkan oleh Syekh Thaher Jalaluddin di Singapura. Al-Imam merupakan kepanjangan tangan bagi penyebarluasan pemikiran pembaharuan Islam dari majalah Al-Urwatul-Wustha, yang diterbitkan oleh tokoh pembaharuan Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh di Timur Tengah. Diketahui, majalah Al-Urwatul-Wustha ini juga menjadi salah satu sumber inspirasi pembaharuan Islam yang dilakukan oleh KHA Dahlan.

Pada tahun 1911, Haji Rasul menetap di Padang Panjang, mengasuh pengajian Surau Jembatan Besi. Pengajian semakin hari semakin berkembang dan semakin banyak muridnya. Selain dari Padang Panjang, muridnya berasal dari berbagai daerah di seluruh pelosok Minangkabau, bahkan ada yang dari Aceh, Medan, Riau, Palembang, dan Bengkulu. Pengajian berkembang menjadi lembaga pendidikan modern bernama Sumatera Thawalib, pada tahun 1918. Seterusnya berdiri Sumatera Thawalib di Parabek, Padang Japang, Sungayang Batusangkar, dan Maninjau. Kader-kader didikan Sumatera Thawalib ini bergerak dalam berbagai aspek kehidupan, menjadi guru, muballigh, wartawan, pedagang, yang menyebar ke seluruh Minangkabau dan negeri rantau seluruh Sumatera sampai ke Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi.

Selain itu, pada tahun 1911 itu pula, bersama Haji Abdullah Ahmad, Haji Rasul menerbitkan majalah Al-Munir, majalah ini menyebar di wilayah Sumatera sampai ke Sulawesi, Kalimantan, Malaysia dan Jawa. Di Yogyakarta, KHA Dahlan adalah salah satu pelanggan tetap majalah ini. Sayangnya, majalah ini kemudian berhenti terbit pada 1915. Tujuan penerbitan Al-Munir adalah sebagai ”pemimpin dan memajukan anak-anak bangsa kita pada agama yang lurus dan beriktikad baik dan menambah pengetahuan yang berguna dan mencari nafkah kesenangan hidup supaya sentosa pula mengerjakan seluruh agama. Juga, untuk mempertahankan Islam terhadap segala tuduhan dan salah sangka”.

Dalam sebuah lawatan ke Jawa tahun 1917, Haji Rasul menemui KHA Dahlan di Yogyakarta, bertemu juga dengan HOS Cokroaminoto di Surabaya. Pada tahun 1925 Haji Rasul pergi ke Jawa lagi bertemu dengan Haji Fachrodin (1890-1929), yang memimpin Bahagian Tabligh dan merintis serta mengelola Majalah Suara Muhammadiyah di Yogyakarta. Haji Rasul tertarik dengan organisasi Muhammadiyah yang ideologinya merujuk langsung kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, juga amal usaha yang dikembangkan Muhammadiyah sebagai pengamalan ajaran Islam berupa amal sosial pendirian rumah pemeliharaan anak yatim dan fakir miskin, pendirian rumah sakit, sekolah moderen, dan sebagainya. Maka, sepulang dari Yogya, Haji Rasul mendirikan organisasi bernama Sendi Aman (tahun 1925) yang menjalankan misi mirip dengan Muhammadiyah di Jawa.

Selain Haji Rasul, adalah Ahmad Rasyid Sutan Mansur (1895-1985), seorang murid dari Haji Rasul yang kemudian diambil menjadi menantu, dinikahkan dengan putrinya bernama Fatimah, kakak HAMKA. Maka kemudian ia berstatus sebagai kakak ipar dari HAMKA. Setelah gagal menggapai impian untuk belajar ke Universitas Al-Azhar Kairo, karena dihambat oleh pemerintah kolonial Belanda, AR Sutan Mansur kemudian merantau ke Pekalongan Jawa Tengah, tahun 1921, untuk berdagang kain batik dan menjadi guru agama khususnya bagi para perantau Minang di Pekalongan tersebut.

Di Pekalongan ini AR Sutan Mansur kemudian sering bertemu dengan KHA Dahlan yang melaksanakan tabligh di Pekalongan. Ketertarikannya pertama kali dengan pemikiran keislaman KHA Dahlan, sampai-sampai membuat AR Sutan Mansur datang ke Jogja untuk melakukan penelusuran lebih mendalam, siapa itu KHA Dahlan sebenarnya. Berkembang cerita di kalangan warga Muhammadiyah, untuk membuktikan bahwa KHA Dahlan adalah benar-benar sorang tokoh umat Islam yang patut diteladani, AR Sutan Mansur sampai rela untuk mendatangi masjid terdekat tempat tinggal KHA Dahlan, yaitu Masjid Gedhe Kauman. Pada keyakinannya, jika KHA Dahlan adalah benar-benar seorang ulama panutan ummat, maka sudah pasti dia akan sudah berada di masjid sebelum shalat shubuh. Dan, pada kenyataannya, AR Sutan Mansur mendapati KHA Dahlan sudah berada di Masjid Gedhe Kauman, sebelum shalat shubuh dilaksanakan.

Tahun 1922 AR Sutan Mansur bergabung ke dalam persyarikatan Muhammadiyah, membentuk perkumpulan pengajian Nurul Islam di Pekalongan yang anggotanya utamanya para pedagang perantauan dari Sumatera Barat. Tahun 1923 AR Sutan Mansur diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan.

Pada tahun 1925, AR Sutan Mansur dikirim ke Sumatera Barat oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah. Kedatangan AR Sutan Mansur kambali ke kampung halamannya ini meningkatkan pengaruh Muhammadiyah di Sumatera Barat yang sudah ditanamkan oleh Haji Rasul, ayah HAMKA dan sekaligus mertuanya. Kepulangan AR Sutan Mansur ke Minangkabau ini memberi energi baru bagi pengembangan Muhammadiyah di Minangkabau. Pengalaman dan ilmu pengetahuan yang telah didapatkannya selama di Jawa menjadi bekal yang sangat berharga bagi tumbuh berkembangnya Muhammadiyah di ranah Minang. Hingga akhirnya terbentuk Muhammadiyah Daerah Minangkabau pada tahun 1926, dan empat tahun kemudian, 1930, terselenggaralah sebuah perhelatan akbar bernama Congres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi.

Ada juga tokoh lain yang bisa dikatakan “turut mempersiapkan” sehingga terselenggaranya Congres Muhammadiyah pertama di luar Jawa sekaligus terbesar yang pernah terselenggara saat itu. Ialah Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah (1908-1981). HAMKA, atau Buya HAMKA, nama tenarnya kemudian setelah pulang haji dan belajar agama ke Mekkah, dan menjadi seorang ulama besar Nusantara, bergelar Profesor Doktor.

Sebagaimana biografi yang dikisahkan sendiri, di masa mudanya HAMKA termasuk anak yang agak preman, sekolah dasar tidak tamat, hanya sampai kelas 3. Dilanjutkan belajar di Madrasah Thawalib yang didirikan ayahnya di Padang Panjang dan Parabek, selama 3 tahun. Namun, karena kecerdasannya, HAMKA mampu dan lebih banyak belajar secara otodidak. Menguasai bahasa Arab, sejarah, syair dan sastra di sebuah perpustakaan milik Angku Dt. Sinaro. Juga menghabiskan waktu di bibliotek milik gurunya Zainuddin Labay El Yunusy, membaca karya sastra terbitan Balai Pustaka, cerita China, dan karya terjemahan Arab. Juga, senang sekali HAMKA muda itu menonton film. Film tanpa suara, alias film bisu, yang mampu diproduksi saat itu.

Tahun 1924, dalam usia 16 tahun HAMKA merantau ke Jawa, tujuannya menemui kakak iparnya AR Sutan Mansur di Pekalongan. Kakak iparnya itu diakuinya sebagai gurunya. Namun, ia tidak langsung menuju Pekalongan, justru ia menuju Yogyakarta, ke tempat pamannya bernama Ja’far Amrullah yang tinggal di Ngampilan Yogyakarta, sebuah kampung yang sangat dekat dengan Kauman pusat aktivitas Muhammadiyah di ibu tempat. Di Yogya, HAMKA belajar tafsir Al-Qur’an kepada Ki Bagus Hadikusumo. Baru pada tahun 1925 ia menuju Pekalongan, tinggal bersama kakak ipar merangkap gurunya, AR Sutan Mansur, selama enam bulan.

Sebagaimana sudah diceritakan diatas, di tahun 1925 itu, AR Sutan Mansur ditugaskan oleh Hofdbestuur Muhammadiyah untuk kembali ke tanah Minangkabau. Dan HAMKa pun pulang ke Padang Panjang pada bulan Juli 1925. Belum diperoleh keterangan apakah mereka berdua pulang bersamaan atau tidak. Di Padang Panjang HAMKA bergabung ke dalam perkumpulan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang. Tahun 1926, Muhammadiyah mulai berkembang ke berbagai tempat di Minangkabau, seperti ke Simabur, Batu Sangkar, Bukit Tinggi, Payakumbuh, Kubang Suliki, Solok dan sebagainya. Tahun 1927 Hamka diberi gelar Datuk Indomo setelah kembali dari Mekkah. Sebagai seorang mubaligh dan pemimpin Muhammadiyah, nama Hamka mulai terkenal. Tahun 1928 HAMKA menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang. Akhir tahun 1928, HAMKA diutus untuk menghadiri Congres Muhammadiyah ke-18 di Solo.

Pada 2 Januari 1930 berdiri rintisan Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah dengan nama Tabligh School di Kauman Padang Panjang. Dirintis dan dikelola oleh DR. H. Abdul Karim Amarullah (Haji Rasul) , AR Sutan Mansur, S.Y. Sutan Mangkuto, dan tokoh Muhammadiyah lainnya. Tabligh School yang kemudian hingga ssat ini berkembang menjadi Kulliyatul Muballighin Muhammadiyah ini adalah lembaga pendidikan yang mirip dengan Madrasah Muallimin/Muallimat Muhammadiyah di Yogyakarta. Yang unik, tempat berdirinya sekolah ini diberi nama Kauman, seperti nama kampung Kauman di Yogyakarta tempat berdirinya Muhammadiyah.

Dua setengah bulan setelah berdirinya Tabligh School, tepatnya 14-21 Maret 1930 diselenggarakanlah Congres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi. Sebuah Congres yang dinilai sukses diselenggarakan pertama kali di luar pulau Jawa yang dihadiri oleh ribuan orang warga Muhammadiyah dan simpatisan.

Data di Suara Muhammadiyah, di Minangkabau saat itu Muhammadiyah sudah memiliki tujuh cabang, yaitu Sungai Batang, Padang Panjang, Simabur, Bukittinggi, Payakumbuh, Kuraitaji Pariaman dan Simpang Haru Padang Luar Kota. Menjelang pelaksanaan Congres, hampir setiap bulan berdiri ranting baru di sekitar danau Maninjau mulai dari Tanjung Sani, Pandan, Galapung, Batu Nanggai, Muko Jalan, Sigiran, terus naik ke Airikir Koto Panjang dan nagari-nagari di Bukittinggi. Menurut catatan HAMKA, Muhammadiyah di Minangkabau saat itu sudah berdiri di 27 tempat, tingkat cabang dan groep (ranting). Data Suara Muhammadiyah, secara nasional jumlah Cabang Muhammadiyah telah mencapai 112 dengan 24.000 orang anggota.

Syiar penyelenggaraan Congres gencar dilakukan oleh panitia, baik yang berada di ranah Minangkabau sendiri maupun yang berada di perantauan untuk menyukseskan Congres. Dalam rangka Congres, para perantau Minang yang tersebar di berbagai penjuru Nusantara melakukan tradisi pulang basamo (pulang bersama) untuk menggembirakan penyelenggaraan Congres Muhammadiyah ke-19. Pelaksanaan Congres pertama kali di luar Jawa ini merupakan apresiasi dari Hofdbestuur Muhammadiyah atas perkembangan Muhammadiyah yang tumbuh secara pesat di Ranah Minang.

Penulis: Arief Budiman Ch.
Komunitas Peminat Studi Muhammadiyah (KomPaSMu)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Irman Gusman dan Anjadi Gusman Bersama Ibu Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah Sumbar

Senang, Gembira dan Bahagia: Wakaf Prof. Dr. H. Sidi Ibrahim Buchari, M.Sc.