KOKAM BERDIRI Menumpas PKI 1965

Muhammadiyah: Gerakan Islam Berkemadjoean





SEJARAH BERDIRINYA KOKAM 1965 UNTUK MENUMPAS PEMBERONTAKAN PKI
Dalam tahun-tahun menjelang Kup Gestapu PKI, kaum komunis mulai berusaha mematangkan kadernya dengan meningkatkan ofensif revolusionernya, dan mulai mengadakan percobaan-percobaan dengan melakukan aksi-aksi sepihak. Pada tanggal 15 November 1961, 3000-an orang anggota BTI (Barisan Tani Indonesia) mengadakan aksi sepihak menggarap tanah milik Perusahaan Perkebunan Negara secara liar.

Aksi-aksi sepihak kemudian dilancarkan oleh PKI, dibanyak daerah mereka meningkatkan “Situasi Revolusioner” sebagai persiapan merebut kekuasaan. Peristiwa Bandar Betsi di Sumatera Utara seorang letnan angkatan darat mati dicangkul oleh BTI dan peristiwa itu cukup menyakitkan hati Pimpinan Angkatan Darat.

Pancasila diperas menjadi Trisila, Trisila diperas menjadi Ekasila, Ekasila adalah Gotong Royong. Gotong Royong itu terwujud dalam NASAKOM. NASAKOM adalah singkatan dari NAS (Nasional), A (Agama), KOM (Komunis). Pemuda Muhammadiyah tidak mendapat tempat di Front Nasional karena ditolak menjadi anggota Front Pemuda. Yang menjadi anggota Front Pemuda hanyalah organisasi Pemuda yang berafiliasi dengan partai politik.

Untuk mengimbangi kegiatan Internasional yang sudah menjurus ke kiri, ummat Islam mengadakan Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA). Komferensi pendahuluan dilaksanakan pada tanggal 6 – 22 Juni 1964 di Jakarta, sedang Main Conference (Konferensi utamanya) diselenggarakan di Bandung dari tanggal 6 – 14 Maret 1965.

Baik pada konferensi pendahuluan maupun pada konferensi utama susunan delegasi Indonesia orangnya tetap yaitu: K. H. Dr. Idham Chalid, H. Anwar Tjokroaminoto, H. A. Sjarchu, K.H. Sirajuddin Abbas, K.H.A Badawi (Muhammadiyah), Wartomo Dwidjojuwono (GASBIINDO), H. Aminuddin Aziz (NU), H. Marzuki Yatim (Muhammadiyah), H. Sofyan Sirajd (PERTI), H.M. Subhan Z.E (NU), H. Dja’far Zaenuddin ( Al Washliyah), Let. Kol. Isa Idris (Pusrah AD), Syeh Marhaban (PSII), Hamid Widjaja (NU), Drs. Saidan Sohar. Sedangkan Drs. Lukman Harun duduk sebagai Wakil Sekretaris merangkap anggota “Pratical Working Comite” untuk delegasi Indonesia. Pak H.S. Prodjokusumo duduk di dalam sekretariat panitia penyelenggara dan ketua seksi pengerahan massa. Seksi pengerahan massa dibagi dua sub, untuk sub seksi pengerahan massa Jakarta dan sub seksi pengerahan massa Bandung.

Sub seksi pengerahan massa di Jakarta dipercayakan kepada Kuaseni Sabil (PERTI) sebagai ketua, dan wakil ketua Suhadi (NU) dan wakil ketua Muhammad Suwardi (Muhammadiyah). Kuaseni sebagai ketua tidak dapat berbuat banyak karena di PERTI sulit untuk mengerahkan massa, maka semua kegiatan dipercayakan kepada wakil ketua yaitu Suhadi (NU) dan Drs. H. Muhammad Suwardi.

Di sinilah, ummat Islam menunjukkan kekuatannya dalam pengerahan massa. Massa ummat Islam terdiri tua-muda, pria-wanita, baik pada waktu penyambutan di Jakarta maupun di Bandung. Penyambutan di Jakarta dapat dibagi dua bagian: pertama, pengerahan massa di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh para delegasi dan disitu ummat Islam sambil melambaikan bendera Merah Putih dan Bendera Negara peserta KIAA, mereka mengelu-elukan dengan takbir “Allahu Akbar”.

Atas usul ketua PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah ) Jakarta Raya mengambil inisiatif bersama-sama Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Jakarta di bawah asuhan: Letnan Kolonel S. Prodjokusumo, H. Ibrahim Nazar, Noerwidjojo Sardjono, Drs. Lukman Harun, Sutrisno Muhdam, BA, Drs. Haiban, dan Muhammad Suwardi, BA, merencanakan mengadakan kursus kader yang dinamakan Kader Takari. Pengkaderan ini tujuannya adalah untuk meningkatkan mental, daya juang keluarga besar Muhammadiyah dalam menghadapi segala kemungkinan.

Kursus Kader yang dibuka pada tanggal 1 September 1965 ini, diikuti oleh 250 orang untuk Angkatan Pertama terdiri dari orang tua yang bersemangat muda dan angkatan muda laki-laki dan perempuan dari utusan Cabang. Acara ini diselenggarakan di Aula UMJ Jl. Limau, dan penanggung jawab kursus ini adalah PDM DKI Jakarta.

Materi yang diberikan antara lain: Tauhid, Kemuhammadiyahan, Kepribadian Muhammadiyah, Fungsi Kader Muhammadiyah dalam Revolusi, tentang Front Nasional, tentang Gerakan Massa Revolusioner, tentang Keamanan dan Pertahanan, tentang Revolusioner yang sedang Berkembang dan lain-lain. Yang memberikan kursus kader disamping oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah sendiri, utamanya oleh: H. Mulyadi Djojomartono, Jendral A.H. Nasution, Jenderal Polisi Sutjipto Judodiharjo, Mayor Jenderal Soetjipto, SH dan Kolonel Djuhartono.
Kursus kader berjalan dengan lancar, pada malam tanggal 30 September 1965 yang memberikan ceramah adalah Jenderal Polisi Sutjipto Judodiharjo sampai jam 21.20, kemudian berikutnya diisi oleh Jendral A.H. Nasution. Dalam ceramahnya beliau dengan berani menentang ide Angkatan ke-5. Angkatan ke-5, tidak lain Angkatan Tambahan yang tidak termasuk dalam ke-4 angkatan yang sudah ada, yaitu barisan rakyat yang dipersenjatai. Semua yang disampaikan pada peserta kursus memberikan motivasi yang sangat bernilai dan menjadi pedoman bagi mereka. Jam 23.30 Jendral A.H. Nasution baru meninggalkan Universitas Muhammadiyah

Pada tanggal 1 Oktober 1965, hari Jum’at, pada waktu berita jam 7.15 pagi RRI Jakarta menyiarkan pengumuman “Gerakan 30 September”. Dari pengumuman itu ditujukan kepada Jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadakan coup kepada pemerintah. Kemudian siaran itu diulang kembali pada jam 8.15. Siang harinya pukul 13.00 kembali disiarkan sebuah dekrit tentang pembentukan Dewan Revolusi dengan mengumumkan sederetan nama orang-orang penting di bawah pimpinan Letnan Kolonel Untung dan wakil-wakilnya Brigadir Jenderal Supardjo, Letnan Kolonel Udara Heru, Kolonel Laut Sunardi dan Komisaris Besar Polisi Anwas.

Peserta kursus sudah berdatangan ke Universitas Muhammadiyah jl. Limau Kebayoran Baru, seolah-olah tidak terjadi apapa-apa, mereka memenuhi aula menunggu kedatangan pemateri yang mengisi malam itu adalah Mayor Jenderal Soetjipto, SH. Kemudian panitia mengumumkan kepada peserta kursus diskors, Pimpinan akan sidang sebentar. Pimpinan yang ada pada waktu itu H.S. Prodjokusumo, Drs. Lukman Harun, Sutrisno Muhdam, H. Soejitno, Drs. Haiban HS, Sumarsono, Imam Sam’ani, Jalal Sayuthi, dan penulis sendiri (Drs. H. Muhammad Suwardi), mengadakan sidang darurat dan kilat di ruang rektor UMJ yang hanya diterangi dengan lilin, karena pada hari itu semua aliran listrik putus.

Setelah semua kumpul di ruang Rektor, Drs. Lukman Harun memberikan informasi kepadsa yang hadir, yang isinya:
Apa yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September” yang telah membentuk Dewan Revolusi serta mendemisionerkan kabinet Dwikora sebenarnya adalah suatu perebutan kekuasaan.

Menurut informasi yang dapat dikumpulkan yang mendalangi perebutan kekuasaan tersebut adalah PKI / DN Aidit. Negara dalam keadaan bahaya. Presiden dan beberapa prang Perwira Tinggi hilang belum ada kabar beritanya.

Terjadi penculikan terhadap beberapa orang Jenderal Pimpinan Angkatan Darat
Perlu disampaikan kepada seluruh Pimpinan dan Anggota Pemuda Muhammadiyah untuk siap dan waspada menghadapi segala kemungkinan.

Pada waktu itu Letnan Kolonel S. Prodjokusumo sebagai Kepala Piket di HANKAM telah mendapat breefing pula di HANKAM seputar masalah G30S / PKI pada hari Jum’at tanggal 1 Oktober 1965. Berdasarkan informasi tersebut maka diambil keputusan atas usul Letnan Kolonel S. Prodjokusumo untuk perlunya dibentuk Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah dan kemudian forum mengangkat Letnan Kolonel S. Prodjokusumo menjadi komandannya dan UMJ jl. Limau sebagai markasnya.

Setelah kebijaksanaan tersebut diambil pimpinan kembali ke Aula dan peserta kursus diminta berkumpul ke Aula. Skors dicabut Letnan Kolonel S. Prodjokusumo yang telah diangkat sebagai komandan menyampaikan penjelasan kepada peserta kursus, bahwa pemateri malam ini Mayor Jenderal Soetjipto, SH tidak bisa hadir karena saat ini negara dalam keadaan darurat. Kemudian menyampaikan informasi-informasi dan atas usul pimpinan dan disambut dengan suara bulat oleh peserta kursus untuk membentuk “Kesatuan Perjuangan di dalam Muhammadiyah Jakarta Raya” dengan nama “Komando Kewaspadaan dan Kesiapsiagaan Muhammadiyah” yang disingkat KOKAM. Tepat jam 21.30 tanggal 01 Oktober 1965 diproklamirkan berdirinya KOKAM.

Kemudian Pak Prodjokusumo selaku Komandan KOKAM mengeluarkan instruksi sebagai berikut:
✓ Di setiap Cabang Muhammadiyah segera dibentuk KOKAM, Seluruh pimpinan cabang setiap hari harus memmberikan laporan ke Markas Besar KOKAM di Jl. Limau Kebayoran Baru.
✓Angkatan Muda Muhammadiyah disetiap cabang bertanggungjawab atas keselamatan semua keluarga Muhammadiyah di Cabangnya masing-masing Seluruh pimpinan Angkatan Muda Muhammadiyah siap dan waspada menghadapi segala yang terjadi guna membela Agama, negara dan bangsa.
✓Mengadakan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan kekuatan-kekuatan yang anti Gerakan 30 September. Setelah selesai mengeluarkan instruksi (Perintah Harian) maka peserta kursus dipersilahkan pulang ke tempat masing-masing dengan sikap waspada.

Tanggal 2 Oktober 1965, informasi-informasi sudah cukup banyak masuk dan telah dapat membaca situasi yang sebenarnya. Karena pada tanggal itu Komandan Gabungan V Koti Brigadir Jenderal Sutjipto, SH mengundang Pimpinan Partai Politik dan Organisasi massa untuk datang ke Kantor Gabungan V Koti di Merdeka Barat untuk mendengarkan breefing mengenai perkembangan yang terjadi di tanah air. Brigadir Jenderal Sutjipto, SH menerangkan segala sesuatu yang terjadi, bagaimana jalannya perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September. 

Dijelaskan oleh Beliau bahwa perwira tinggi Angkatan Darat telah diculik oleh G 30 S PKI, mereka itu adalah Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Haryono Mastirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan dan Brigadir Jenderal Soetojo Siswodimiharjo. Sedangkan Jenderal A.H. Nasution yang sampai jam 23.00 memberikan ceramah di kursus Kader Muhammadiyah, yang pada waktu itu jabatan beliau selaku Menteri Kopartemen Hankam atau Kepala Staf Angkatan Bersenjata yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari usaha penculikan tetapi putri beliau, Ade Irma Suryani Nasution tewas akibat tembakan penculik.

PERWIS (Perwakilan Istimewa) PP Muhammadiyah di Jakarta pada tanggal 2 Oktober 1965 mengeluarkan pernyataan mengutuk keras apa yang menamakan Gerakan 30 September dan apa yang disebut “Dewan Revolusi”.

Peristiwa demi peristiwa intimidasi dialami oleh organisasi-organisasi muda Islam seperti intimidasi yang dilakukan PKI antara lain peristiwa Kanigoro. Kanigoro adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kras, Kabupaten Kediri. Pada bulan Januari 1966, sekelompok pelajar Islam (PII) mengadakan Mental Training.

Saat itu ada sekitar 100 orang PII (Pelajar Islam Indonesia) dari seluruh daerah di Jawa Timur yang sedang mengikuti Mental Training di Masjid At Taqwa. Setelah selasai Sholat Shubuh tanggal 6 Januari 1965 tiba-tiba datang segerombolan orang berpakaian hitam-hitam menyerang mereka. Aktivis dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) berpakaian hitam-hitam dengan jumlah mencapai ribuan orang yang dipimpinan Suryadi itu kemudian langsung menyeruak ke dalam masjid membubarkan acara PII itu. Peserta Mental Training PII langsung digelandang ke kantor kecamatan dan kantor polisi yang ada di Kras. Beberapa anggota PII banyak yang mengalami penyiksaan.

Pada tanggal 6 Januari 1966 Letnan Kolonel S. Prodjokusumo selaku Komandan KOKAM mengadakan Apel KOKAM yang pertama diadakan di halaman Universitas Muhammadiyah Jl. Limau Kebayoran Baru. Seluruh Cabang dan Calon Cabang Muhammadiyah telah membentuk KOKAM di Cabangnya masing-masing. Yang hadir dalam apel itu tidak kurang dari 2500 orang dengan pakaian bebas karena apel pertama ini belum ada pakaian seragama KOKAM.
Tanggal 10 Oktober 1965 Perwis PP Muhammadiyah Jakarta mengadakan rapat di Menteng Raya 62 yang membahas situasi dewasa itu. Letnan Kolonel S. Prodjokusumo sebagai Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Jakarta Raya melaporkan telah terbentuknya KOKAM Jaya dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan. Rapat Perwis tersebut memutuskan mengesahkan KOKAM dan Pimpinan KOKAM dipercayakan kepada Letnan Kolonel S. Prodjokusumo. Kedudukan Letnan Kolonel S. Prodjokusumo sebagai komandan KOKAM Jaya makin kokoh dan mantap. 

Tanggal 9 sampai dengan 11 November 1965 PP Muhammadiyah mengadakan konferensi kilat yang dihadiri oleh perwakilan Muhammadiyah seluruh Indonesia. Dalam Konperensi kilat tersebut memutuskan pengesahan KOKAM. KOKAM menjadi salah satu aparatur dalam melaksanakan Komando Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bapak K.H.A. Badawi.

Berdirinya secara aklamasi sepenuhnya disahkan Bapak K.H.A. Badawi sebagai Ketua PP Muhammadiyah dan komando pertama dari beliau adalah “Mensirnakan Gerakan 30 September / PKI adalah ibadah”. Dengan komando ini seluruh jajaran KOKAM harus melaksanakannya. Selain dari itu konperensi memutuskan: Letnan Kolonel S. Prodjokusumo sebagai Ketua KOKAM seluruh Indonesia disebut sebagai Panglima KOKAM.

Setelah keputusan Konferensi Kilat Muhammadiyah, seluruh kekuatan keluarga besar Muhammadiyah menjelma menjadi KOKAM dan merupakan satu kesatuan organisasi dengan komando KOKAM Pusat bangkit menentang Gerakan 30 September / PKI bersama dengan unsur ABRI.

Laporan-laporan pembentukan dan kegiatan KOKAM mengalir dari seluruh Tanah Air. Di Yogyakarta,KOKAM juga terbentuk dan menjadi pengawal Muhammadiyah Wilayah dan PP Muhammadiyah yang berdomisili di Yogyakarta. KOKAM Yogyakarta dengan daya tangkal yang tinggi dapat melaksanakan tugasnya dengan baik bahkan anggota KOKAM dilatih oleh Pasukan Baret Merah (RPKAD) dan menjadi anak emasnya Sarwo Edhi. 

Menurut kisah anggota KOKAM tahun 1965-an yang sekarang masih aktif di Muhammadiyah Tempel, KOKAM dalam menjalankan tugasnya memang tidak bisa terlepas dari RPKAD bahkan sering dipinjami sejata, termasuk juga granat. Sebetulnya masih banyak kisah-kisah tentang eksistensi KOKAM di Wilayah Yogyakarta, termasuk di Turi dimana asal kelahiran Letnan Kolonel S. Prodjokusumo. Temasuk juga di Prambanan, anggota KOKAM digembleng oleh Subagiyo HS yang sekarang mantan KSAD.

Berdiri pula KOKAM Jawa Tengah, mereka mengadakan latihan dan pembinaan kader. Kekuatan KOKAM Jawa Tengah berpusat di Pekalongan yang mempunyai satu kompi “Pasukan Inti”, yang mendapat latihan dan pembinaan dari ABRI. 
Disamping Pekalongan, Surakarta juga mempunyai kesatuan-kesatuan KOKAM, diantaranya ada pasukan intinya yang diberi nama “Fighting Flower” (Bunga Penempa). KOKAM di Surakarta juga bahu membahu dengan ABRI khususnya RPKAD.

Pembentukan KOKAM Jawa Timur cukup unik, Fatchurrahman pada tanggal 1 Oktober 1965 kebetulan berada di jakarta. Letnan Kolonel S. Prodjokusumo mengangkat beliau langsung menjadi Komandan KOKAM Jawa Timur, setelah pulang ke Jawa Timur, barulah beliau menyusun pasukannya. Unsur-unsur perwira Angkatan Darat dan Angkatan Laut di Jawa Timur yang melatih dan membina bahkan ada yang langsung memimpin kesatuan KOKAM. Jawa Timur merupakan daerah yang paling rawan ke-2 setelah Jawa Tengah. Pernah dalam suatu upacara, barisan KOKAM terkena berondongan peluru.

Diluar Jawa tercatat yang secara teratur memberikan laporan, antara lain Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, Lampung, Riau, dan Jambi. Bahkan KOKAM Sulawesi Selatan diberi pinjaman senjata oleh ABRI dan mengadakan camping bersama ABRI. KOKAM Lampung bekerjasama dengan Pimpinan Perkebunan Negara dan mendapat pinjaman kendaraan Landrover dan sebagainya.
Ditulis Oleh: (Komandan Operasional KOKAM Markaz Daerah Sleman)
Sumber: Buku SESOSOK PENGABDI “SERBA-SERBI PRIBADI H.S.PRODJOKUSUMO” (Diterbitkan oleh Yayasan Amal Bakti Masyarakat Jakarta. Cetakan Pertama tahun 1990)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan