Gaji Pimpinan Muhammadiyah

Melihat Gaji Pimpinan Muhammadiyah, Sebuah Renungan

Eramuslim.com – Tulisan ini amat inspiratif…. sedikit waktu saja yg coba kita sisihkan utk membaca dg cermat mungkin akan merubah persepsi bahkan tindakan dan kualitas hidup kita.

SELAMAT MEMBACA DAN MERENUNGKAN

———

Melihat Gaji Pimpinan Muhammadiyah

BERAPA GAJI SEORANG PIMPINAN MUHAMMADIYAH ?

Seorang pengurus yayasan bertanya: “Berapa gaji pengurus Muhammadiyah yang tertinggi dan terendah?”

“Pimpinan tidak ada yang digaji, hanya karyawan yang digaji” jawab saya.

“Apa benar? Kalau begitu dari mana sumber ekonomi mereka?”

”Semua pimpinan Muhammadiyah punya pekerjaan, tidak menganggur”.

” Bagaimana kalau tugas Muhammadiyah bersamaan dengan tugas pekerjaan?”

” Jika waktu berbenturan, tugas pekerjaan didahulukan, baru Muhammadiyah.”

”Kalau begitu tidak profesional karena menomorduakan Muhammadiyah”.

”Mungkin menurut orang lain tidak profesional. Tetapi itu lebih baik karena semua pimpinan Muhammadiyah tidak ada yang berfikir mengurusi Muhammaidyah sebagai profesi. Semua berniat sebagai pengabdian. Yang penting dilakukan penuh kesungguhan dan sepenuh kemampuan”.

Saya teringat Alm. Pak Lukman Harun. Beliau pernah punya gagasan memberi gaji kepada pimpinan Muhammadiyah supaya waktu dan perhatiannya bisa penuh ke persyarikatan. Tanggapan Pak AR ketika ditanya: ”Itu niat yang baik, tapi ketua PP mau digaji berapa? Ketua ranting berapa? Apalagi kalau dihitung masa kerja, semua pimpinan rata-rata sudah aktif sejak masa muda. Lalu siapa yang mau membayar gaji itu?” kata Pak AR tersenyum.

Karena begitu banyaknya amal usaha yang dimiliki muhammadiyah, membuat banyak peneliti luar berfokus dan menulis tentang muhammadiyah, Salah satunya kita kenal dengan Prof. Dr. Mitsuo Nakamura dan James L. Peacock. Mitsuo nakamura peneliti jepang yang selalu hadir tiap muktamar muhammadiyah itu suatu ketika penasaran dan berkunjung ke kantor pimpinan pusat muhammadiyah jakarta tutur Prof. Dr. Munir Mulkhan, S.U. Ditemui Prof. Syafi’i Ma’arif, Ph.D. ia terheran-heran karena muhammadiyah yang ia tahu besar dan kaya, kok kantor presidennya kecil dan sederhana. Lalu ia bertanya “berapa gaji ketua / presiden muhammadiyah ? Syafi’i Ma’arif tersenyum dan menjawab “saya tidak digaji”. Nakamura sontak berkata “gila….”.

Pengurus tidak digaji, itulah kekuatan Muhammadiyah, bukan kelemahan.
Seorang dosen perguruan swasta bukan orang Muhammadiyah bertanya ”Apakah benar semua amal usaha menjadi milik pimpinan pusat?” ”Benar!” jawab saya.

”Berapa bantuan dari pusat sampai bisa menguasai semua aset itu?”

”Sama sekali tidak membantu. Hanya meresmikan, itupun kalau ada waktu. Pimpinan Pusat tidak menguasai, walaupun secara hukum semua atas nama pusat”.

”Tidak menguasai tapi memiliki, itu sama saja. Kalau tidak dibantu, lalu dari mana sumber dana membangun amal usaha yang demikian banyak?”
”Dari anggota dan simpatisan. Anggota ranting di desa misalnya, mereka urunan membangun madrasah, SD, mesjid dan sebagainya. Demikian juga aset lain seperti rumah sakit sampai universitas. Mereka paham kalau diberi nama Muhammadiyah itu artinya diberikan kepada Muhammadiyah”.

”Rela ya, apa kuncinya kerelaan memberi itu?”

Saya katakan bahwa Muhammadiyah itu organisasi kerja, bukan organisasi papan nama. Sebuah ranting berdiri bukan karena banyaknya orang tetapi karena ada kegiatan. Syarat berdirinya sebuah ranting harus punya amal usaha misalnya punya sekolah, atau mesjid atau punya aktivitas seperti pengajian.
Berikutnya, Orang Muhammadiyah itu melakukan kegiatan karena dorongan iman, dorongan keyakinan, bukan karena mencari untung. Karena itu sering dalam kegiatan mereka bukan saja tidak dapat honor, malah sering mengeluarkan uang dari kantongnya. Lain dengan kepanitiaan di instansi. Asal namanya tercantum berhak dapat honor walaupun tidak bekerja. Karena itu sering rebutan agar namanya bisa dicantumkan dalam panitia kegiatan.

Muhammadiyah tidak demikian. Mereka bekerja karena didorong iman bukan keuntungan, itulah juga kekuatan dalam Muhammadiyah.
Bahkan tidak sedikit guru yang mengajar di sekolah-sekolah muhammadiyah gajinya tidak diambil, namun diserahkan kembali pada muhammadiyah untuk kepentingan gerak dakwah muhammadiyah. Ada juga sekolah-sekolah muhammadiyah yg mungkin belum maju, belum mentereng… guru yg jiwanya tercelup sibghoh muhammadiyah sering tidak menerima gaji, atau mendapat gaji rapelan (3 atau 5 bulan sekali meskipun nominalnya tidak banyak). Jika saat menerima wajah mereka amat ceria meski sedikit. Jika pas tidak ada mereka tidak gajian wajahnya tetap ceria dan semangat kerjanya konstan. Mengapa ? Mereka tersenyum dan menjawab “alhamdulilah waktunya puasa” hal yang sangat lumrah dan biasa.
Dr. Sa’ad Ibrahim, M.A. (ketua umum PWM JATIM) pernah meneteskan air mata saat menceritakan salah satu kepala sekolah muhammadiyah yang digaji Rp. 300 ribu / bulan dan selalu datang paling awal dan pulang paling akhir, di hadapan peserta RAKERPIM muhammadiyah se-JATIM yang ditempatkan di gedung Ahmad Zainuri UM Jember.

Pertanyaannya… hari ini masih adakah guru atau dosen yang bekerja di amal usaha muhammadiyah yang seperti itu ?

Lantas bagaimana kehidupan mereka ? Cukupkah untuk nafkah dan kebutuhan sehari-hari ? Dari muhammadiyah boleh jadi ia hanya mendapat nominal sedikit, tapi dari usaha lain atau pekerjaan lain yg mereka tekuni justru rizkinya tak terhitung banyaknya. Mungkin itulah berkah yang melimpah dari mengurusi muhammadiyah. “Siapa yg menolong agama Allah, maka Allah yang menolong dan mencukupkan semua mereka”. Bahkan Prof. Dr. Thobroni menyatakan “orang-orang yang istiqomah mengurusi muhammadiyah secara materi kehidupannya lebih berkelimpahan dari pada yg hanya sekedar mengejar duniawi. Mereka rata-rata di masyarakat secara ekonomi masuk kategori kelas menengah ke atas”.

Kekuatan berikutnya, orang Muhammadiyah itu relatif terdidik dan rasional. Jadi mudah faham dengan aturan.

”Orang rasional yang irrasional”, katanya sambil tertawa, karena bersusah payah membuat sekolah dan rumah sakit, lalu diberikan sukarela ke pusat tanpa kompensasi.

Seorang walikota yang bukan orang Muhammadiyah tertarik dengan istilah ”amal usaha” yang digunakan dalam lembaga Muhammadiyah. ”Ini mengandung makna yang mulia” katanya. Menurut walikota, orang bekerja di rumah sakit, sekolah dan di semua amal usaha Muhammadiyah harus dimulai dengan nawaitu amal, baru usaha atau nawaitu cari nafkah. Jangan dibalik, yang menonjol cari nafkahnya atau usaha, nanti bisa lupa amalnya. Karena itu dinamakan amal usaha. Artinya, niat beramal di depan, baru usaha cari nafkah”, katanya.

Kita tidak tahu apakah para karyawan di amal usaha Muhammadiyah sudah menghayati dengan baik makna amal usaha seperti yang diuraikan walikota itu. Atau bersemangat sebaliknya. Bekerja murni mencari nafkah tanpa ada semangat mengabdi.
Setelah Muhammadiyah berkembang besar, setelah jumlah amal usaha terus bertambah, boleh jadi nawaitu orang masuk Muhammadiyah bermacam-macam. Ada yang ingin mengabdi untuk agama tetapi ada pula untuk kepentingan lain. Selama pimpinan persyarikatan dan pimpinan amal usaha tetap istiqamah pada tujuan memberi sesuatu, bukan meminta sesuatu kepada Muhammadiyah, kita percaya daya saring pada orang-orang yang masuk Muhammadiyah tetap akan berjalan baik.

Namun berikut ini mungkin kejadian kecil yang penting untuk direnungkan.

Seorang pengurus Aisyiyah bercerita, suatu hari ibu penjual nasi goreng dekat sebuah pasar tradisional agak tergopoh-gopoh mendatanginya. ”Apakah betul Bu Haji orang Muhammadiyah?” tanya penjual nasi goreng itu.

”Betul! kenapa?”

”Tidak ada apa-apa, Ooh, ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik, ya”, kata penjual itu dengan suara rendah seperti kepada dirinya sendiri.

Ibu Aisyiyah tertegun dan merasa nelongso mendengar ucapan kawannya itu. Kalimat ”ternyata orang Muhammadiyah ada juga yang baik” terngiang terus.

Kasus kedua dialami oleh kami sendiri (penyadur dan penulis ulang tulisan ini ) : setiap sedekah maupun zakat kami kita alokasikan ke tetangga sekitar dalam bentuk sembako maupun uang secara rutin. Ada tetangga yang bercerita “sebelumnya tidak ada yang menebar pemberian, baru kali ini ada bagi-bagi dari orang muhammadiyah”. Sementara tetangga satunya isterinya bercerita ke isteri penulis ” suami saya bilang, semua tetangga kita tidak pernah peduli dg kita, bahkan seringkali kita tidak masak juga tidak ada yang tahu. Saat ada orang muhammadiyah yg pindah dan bertetangga dengan kita, kita jadi sering dibantu dan diberi. Ternyata orang muhammadiyah itu lebih baik ya bu. Sang istri yang sudah rutin “ngaji” di tempat kami menjawab “kok baru sadar panjenengan mas”.

Sementara isteri lain bercerita sambil menangis jika disuruh berhenti ngaji di tempat kami karena ada “omongan” bahwa kami muhammadiyah, bahkan diancam dicerai jika tetap “ngaji”. Akhirnya berhenti, namun justru anaknya datang sendiri belajar di tempat kami dan mulai menyadarkan bapaknya. Suatu ketika keluarga tersebut, terlilit hutang… sang isteri yang pernah “ngaji” datang menceritakan dan menyatakan maksudnya. Kami beri pinjaman untuk melunasi hutangnya yang jatuh tempo dan diceritakan pada suaminya bahwa yang menghutangi tetangga muhammadiyah nya tempat ia “ngaji”. Ia terdiam dan tertegun.

Kisah ke-3, Prof. Dr. Thobroni bercerita saat workshop dosen AIK di kantor PDM Jember… “di suatu tempat ada makam yg terkenal dengan ki ageng gribik (asalnya bernama syeh akbar al-maghribi), namun masyarakat menyebut dan mengenalnya dengan ki ageng gribik. Banyak orang yang menziarahi makamnya. Saat berkesempatan memberi materi di daerah tersebut, saya mengunjungi makam tersebut dan melihat-lihat dan berdialog dg juru kuncinya. Juru kunci bercerita “sebenarnya ada makam yang tidak kalah keramat dan hebatnya, karena saya tahu persis kebaikan-kebaikan penghuni makam tersebut selama hidupnya”. Saya penasaran ” yang mana?” Ia menunjukkan makam sebelah ki ageng gribik yang sepi, tidak ada yang menziarahi. Saya heran dan bertanya “kok tidak ada yang berziarah ke makam itu ?” Juru kunci menjawab “karena dulunya orang itu muhammadiyah”

Apa orang Muhammdiyah itu demikian buruk sehingga dianggap aneh kalau berbuat baik?

Ibu Aisyiah itu memang sering menolong penjual nasi goreng itu, meminjami uang (tanpa bunga), memberi nasehat, mencari solusi masalah keluarga, menjadi tempat curhat dan konsultasi gratis. Aneh, Bu Haji ternyata orang Muhammadiyah.

Muhammadiyah memang sudah berusia satu abad. Tetapi ternyata masih banyak masyarakat mengenal Muhammadiyah baru sebatas kulitnya. Belum dalamnya. Pengurus yayasan yang bertanya berapa gaji pimpinan Muhammadiyah, dia belum kenal Muhammadiyah dengan baik. Juga dosen perguruan swasta itu. Apalagi penjual nasi goreng itu.

Sudah banyak yang kita lakukan, tetapi ternyata lebih banyak lagi yang belum sempat kita kerjakan. Memasuki usia abad ke dua, kita harus membuktikan bahwa Muhammadiyah kebalikan dari sangkaan penjual nasi goreng itu. Jika orang mengatakan ”dia orang Muhammadiyah”, maka dalam kata itu harus terkandung jaminan sebagai orang baik, amanah, jujur, menepati janji, keja keras, pecinta damai, tidak mbulet dan tidak aji mumpung.
Ternyata banyak orang yang belum kenal betul pada Muhamamdiyah.

(Sumber Anonim Viral di WAG)
Dikutip dari tulisan Pak Nurcholis Huda (Waket PWM Jatim), ada di buku Anekdot Tokoh-tokoh Muhammadiyah, terbitan Hikmah Press

Lalu dicopy dan dilakukan penambahan kisah dan literasi oleh Idris Mahmudi, Amd.Kep; M.Pd.I. (dosen dan Sekretaris LP-AIK UM Jember).

Sumber: WA Group

https://m.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/melihat-gaji-pimpinan-muhammadiyah.htm

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan