Transformasi Islam

Transformasi Islam, Budaya dan Peradaban, (Kerisauan Bersama Cucu Magek Dirih)
Kamis, 12 Juni 2008
Oleh : Shofwan Karim, Cendekiawan Muslim
Kerisauan Cucu Magek Dirih (Cucu Magek/CM), harus diakui telah menjadi kerisauan kita bersama. Termasuk Cucu Bandaro Saga Jantan (Cucu Saga/CS). Maka berikut ini diskusi lanjutan dalam rangkaian menyambut esai CM, Selasa 3 Juni lalu: “ Transformasi Islam yang Membina Perilaku Umat (Shofwan Tidak Risau/Sudah Puas?)”.

Sebelumnya, CM (Sutan Zaili Asril) menulis kegagalan subyek pembina perilaku umat. (Lihat, Padang Eskpres, “Kenapa Umara/Ulama dan Dai/Mubaligh Gagal Membina Perilaku Masyarakat?”, Minggu, 25/5. Terhadap esai itulah CS (Shofwan Karim) menulis, “Tanggung Jawab Membina Perilaku Masyarakat—Mempertimbangkan Esai Cucu Magek Dirih”, Sabtu, 31/5.

Kalau tidak salah, kali ini CM menggeser pokok pembahasan dari yang semula subyek (umara/ulama, dai/muballigh) yang gagal melakukan pembinaan ummat kepada hal bawaan subyek itu, yaitu transformasi Islam. Paling tidak, gagasan itu yang ditangkap oleh CS dalam membaca diskusi 3/6 yang baru lalu. Oleh karena itu, sebaiknya ke mana irama gendang CM, ke situ pula langkah SC berayun. Singkatnya, CM menghendaki cendekiawan muslim memiliki konsep transformasi Islam yang membina perilaku umat.

Mungkin yang diinginkan CM adalah konsep baru. Kalau konsep lama, rasanya seperti menuangkan garam ke laut. Khazanah “garam” intelektual CM sudah penuh dengan konsep lama itu. Katakanlah, setiap cendekiawan yang tergabung di dalam berbagai organisasi ummat di Indonesia telah memiliki konsep transformasi Islam yang sudah lama tersebut. Muhammadiyah (dulu) memiliki konsep 9 komponen matan-keyakinan hidup dan cita-cita.

Sejak Muktamar 2000, konsep itu dilengkapi dengan pedoman hidup Islami warga Muhammadiyah. Nahdhatul Ulama dengan konsep ahlu sunnah wal jamaah-nya; persaudaraan (ukhuwah) imaniah, wathaniyah dan basyariah-nya. Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) dengan konsep 5 K-nya. Tidak perlu pula CS menguraikan satu persatu karena nanti CM akan menganggap menggurui. Itu hanya untuk menyebut secuil konsep yang menurut CS perlu dipertimbangkan terus-menerus dikaji, diaplikasikan dan dievaluasi.

Kalau kita mau singgung Persatuan Islam (Persis), al-Jamiah-alkhairiah, al-Irsyad, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia dan seterusnya, maka deretan konsep itu semakin panjang. Lebih dari itu, sejak dari wafatnya Rasulullah, masa sahabat dan masa kekhalifahan Bani Abbasiyah, Bani Umaiyah, Shafawi, Mughal, Ustmani, sampai berakhirnya kekhalifahan Islam dengan merdekanya negara-negara Islam di dunia sejak pertengahan abad lalu, secara global transformasi Islam tidak pernah selesai dan tidak pernah tuntas.

Ketidakselesaian transformasi Islam itu, menurut hemat CS adalah sesuatu yang harus direnungkan secara dalam. Apakah Islam sudah selesai menjadi agama kebudayaan dan peradaban? Islam mungkin sudah selesai menjadi agama wahyu, menjadi agama theologi atau dimensi akidah. Tetapi ketika Islam menjadi perilaku budaya dan peradaban, maka menurut CS, transformasi Islam tidak akan pernah berhenti dan berakhir.

Hal itu menjadi relevan karena kebudayaan dan peradaban manusia termasuk ummat Islam terus berkembang. Secara kasat mata, terjadi transformasi yang terus-menerus dan tidak pernah berhenti. Dimensi syariah, ambil misalnya fikih munakahat (pernikahan). Kitab fikih kita oleh beberapa kalangan diminta untuk ditinjau secara komprehensif akibat perkembangan budaya dan peradaban baru yang disebut dunia maya (virtual world/cyberworld). Masalah ijab kabul, misalnya.

Kalau dulu ada pendapat pro kontra ijab-kabul via telepon, maka sekarang bagaimana dengan sistem chatting internet atau via video-call 3 G. Contoh-contoh itu akan bisa diperpanjang dengan bidang dan dimensi lainnya dalam perkembangan budaya dan peradaban mutakhir lainnya.

Bagaimanapun, transformasi Islam ada yang berjalan secara terencana atau sebaliknya alamiah (untuk tidak menyebut tanpa konsep). Tergantung pemahaman dan praktik Islam oleh siapa, di mana, serta pada tingkat komunitas inetelektual, akal dan budaya pendukungnya. Misalnya soal perilaku ummat.

Kalau yang kita maksud perilaku aqidah dan ibadah yang semestinya bersesuaian dengan perilaku budaya (praktik hidup), maka Al-Qur’an sudah menyebutkan secara lugas dan tegas bahwa orang yang bertaqwa itu mesti dekat kepada Allah dan selalu merasakan kehadiran Allah SWT dalam setiap tarikan nafasnya, karena Allah lebih dekat dari pada urat leher mereka sendiri.

Shalat, selanjutnya, bukankah ibadah wajib ini tidak hanya gerakan fisik tetapi lebih-lebih lagi mengubah perilaku untuk tidak melakukan yang terlarang dan yang mungkar? Sebutlah Aqidah dan ibadah mahdhah dan rukun Islam yang lain, semuanya sudah tercantum di dalam kitab-kitab putih atau kuning mengenai Ushuluddin (Tauhid), Syari’ah, Fikih, Tasawuf dan seterusnya.

Tiap-tiapnya ada pemikiran terdalam yang disebut dengan filsafat (hikmah) aqidah dan syari’ah-nya. Semuanya mengacu kepada konsep transformasi perubahan perilaku dari yang tercela kepada yang terpuji untuk setiap individu, kolegial dan komunal. Soalnya, siapa yang menatalaksanakan konsep itu dalam pentadbiran (manajemen) kehidupan?

Di sini barangkali ada sedikit perbedaan cara pandang antara CM dan CS. Kalau CM memandang beban itu terletak pada pundak umara dan ulama. Pada pikiran CS, beban itu harus dipikul bersama oleh setiap orang dan komponen serta unsur, alias tanggung jawab kolektif, sejak dari rumah tangga sampai ke ruangan publik. Tentu ulama dan zu’ama (cendekiawan) berada dan mengemban posisi dan fungsi strategis.

Keduanya sudah (relatif) dan diharapkan menjadi lokomotif, penggerak utama. CS sependapat dengan CM, sebagai transformator, umara dan ulama berada pada garis depan. Kalau umara’ menjadi mesin penggerak, maka ulama selayaknya menjadi dinamo atau aki yang merangsang mesin itu terus menerus. Tetapi perlu direnungkan bahwa kedua komponen itu tidak berarti apa-apa tanpa komponen-komponen lainnya.

Di dalam transformasi Islam ini, bisa jadi kita harus mengkaji ulang tentang Islam ini. Sebelumnya kita kita sudah terlanjur mempunyai Islam “yang masing-masing”. Betapa, kadang-kadang kita berharap orang lain berbudaya dan berperadaban Islam seperti apa yang kita pikirkan, sementara pikiran dan akal itu merupakan anugerah paling berharga dari Allah SWT.

Termasuk dalam manifestasinya pada kehidupan masing-masing diri, keluarga, komunitas dan seterusnya. Soalnya sekarang, ada di antara kita yang bekerja terus menerus di segmen praktis seperti guru, dosen, pedagang, wartawan, pemerintah, dan kelompok profesional yang terlanjur tidak menoleh ke kanan dan kiri. Ada di antara kita yang menganggap Islam yang kita pikirkan kita praktikkan, itulah yang paling benar. Sementara yang orang lain pikirkan dan praktikkan adalah salah. Artinya, masing-masing kita harus mentranformasi Islam dalam dirinya, budayanya dan peradabannya, termasuk CS. Islam yang rahmatan lil alamin. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan