Dino Patti Djalal
Sabtu, 28 Juni 2008 | |
Jakarta, Padek-- Buku berjudul “Harus Bisa! Seni Memimpin ala SBY” yang ditulis Dino Patti Djalal, Staf Khusus Presiden bidang Hubungan Internasional/Juru Bicara Kepresidenan di-launching, di Museum Nasional, tadi malam. Terlepas dari penilaian, bahwa buku ini merupakan pencitraan bentuk lain dari figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tapi yang pasti sejumlah tokoh yang didaulat menyampaikan testimoni (sambutan mengomentari buku, red) mengapresiasi positif. Buku setebal 430 halaman ini, dinggap sebagai salah satu karya anak bangsa terbaik, di tengah berjibunnya buku-buku tentang kepemimpinan yang berasal dari Eropa dan Amerika. Memang, sejauh ini kebanyakan buku-buku yang mengupas soal seni kepemimpinan jarang sekali ditulis oleh orang Indonesia. “Saya telah membaca buku ini sampai tuntas. Jarang sekali ini saya lakukan bila membaca sebuah buku. Menurut saya buku ini ditulis apa adanya,” kata Nazarudin Umar, Dirjen Bimas Islam Depag. Ia menilai, dengan terbitnya buku ini, berarti negara Indonesia dapat dikatakan sebagai yang paling demokratis. Sebab, katanya, buku ini ditulis oleh orang masih dalam lingkaran kekuasaan. “Biasanya buku-buku seperti ini ditulis, setelah penulisnya tak lagi menjabat. Seperti sering dilakukan di Amerika. Jarang sekali ada pejabat yang menulis buku tentang hal sensitif, saat ia sedang di kursi jabatan,” jelasnya. Meski begitu, Nazarudin mengaku buku ini merupakan penggambaran figur SBY dalam memimpin. Selain Nazarudin, turut memberi komentar, Ketua HIPMI Sandiaga Uno, Analis Ekonomi Lin Che Wei, Dubes Filipina untuk Indonesia, dan Kikan dari Grup Musik Cokelat. Peluncuran buku bergambar cover Presiden SBY sedang berjalan ini dihadiri pejabat negara, khususnya dari Sekretariat Negara, Departemen Luar Negeri, para Duta Besar negara sahabat, dan rekan-rekan serta keluarga Dino. Selain Menlu Hasan Wirayudha, tampak mantan Menlu Ali Alatas, Andi Malarangeng, dan Ketua Komisi I DPR Theo Sambuaga. Pemimpin Perusahaan/Wakil Penanggung Jawab Padang Ekspres Wiztian Yoetri, dan tokoh Muhammadiyah Sumbar Shofwan Karim, juga hadir memenuhi undangan putra Prof Dr Hasyim Djalal ini. Tak Suka Politik Dino mengaku sebagai orang yang tidak suka politik. Sebab, di mata Dino politik seringkali hanya digunakan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. “Tapi hidup saya langsung berubah total pada tahun 2004 (ketika ia diangkat menjadi juru bicara kepresidenan). Saya masuk lingkaran istana,” ujar Dino. Dino menyinggung banyak hal soal kepemimpinan, dan masalah bangsa. Ia tak menampik, di dalam bukunya ia menulis banyak soal figur SBY. “Tapi yang saya tulis adalah pengalaman nyata. Sehingga kadang menyangkut hal positif dan rahasia negara. Karena itu, beberapa bagian buku ini tak bisa dicetak, karena sangat sensitif, dan rahasia negara.” Bagi Dino, seperti yang ditulisnya dalam tulisan berjudul “Pemimpin Harus Mencari Solusi” (hal141), seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang memiliki policy capable: menyelesaikan masalah secara efektif, dengan elegan dan bermartabat. “Berpikir solusi, lebih baik dari seribu retorika,” ungkap Dino. Soal pemimpin ini, ia menekankan tentang lima kondisi paradoks yang mesti dihindari. Pertama, ketika dunia semakin terbuka, kita malah menutup diri. Kedua, banyak peluang dan kesempatan terbuka, kita malah dikekang rasa cemas, takut dan gamang. Ketiga, ketika nasionalis, dan internasionalis menguat, kita malah kehilangan arah, menjadi sinis terhadap bangsa lain. Keempat, ketika kita mulai menjadi panutan, kita malah ketakutan terhadap negara lain. “Terakhir ketika demokrasi makin mekar, kita malah terjebak dalam pemahaman yang dangkal, saling sikut.” Sandingkan ’45 dan 21 Dalam pandangan Dino agar bangsa ini maju, perlu penyatupaduan antara semangat ’45 dengan perkembangan abad 21. “Bila jiwa empat lima kental dengan semangat dan keberanian dan perjuangan, maka pada abad 21 kita harus paham dan mengerti dengan perkembangan,” kata Dino. Bangsa yang besar menurut Dini, bukan saja bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya, tapi bangsa yang besar juga harus mampu menciptakan pemimpin. Ia sangat tidak setuju dengan yang mengatakan benci dengan globalisasi dan perkembangan. “Banyak orang bicara ‘saya nasionalis’. Kecenderungannya, siapa yang sering mengatakan paling nasionalis, maka dia sebetulnya bukan nasionalis. Itu kecenderungannya,” tandasnya. Di akhir sambutannya, ia mengharapkan munculnya para pemimpin muda, yang bisa melakukan perubahan terhadap bangsa ini. “Cuma yang perlu diingat, perubahan yang terberat adalah mengubah mindset.” (MONTOSORI & FASLI) |
Komentar