Miko Kamal.Industri Orang Baik

”Industri Otak” atau ”Industri Orang Baik”? (Menanggapi Shofwan Karim)
Rabu, 25 Juni 2008
Active ImageOleh : Miko Kamal, mahasiswa Macquarie University, Sydney
Dua hari berturut-turut (Rabu-Kamis/18-19 Juni 2008) cendikiawan Sumatera Barat Shofwan Karim (“SK”) menulis dua artikel di harian ini dengan judul ”Menyambut Gagasan Gubernur GF”. Dua tulisan itu merupakan dukungan penuh SK terhadap keinginan kuat Gubernur Gamawan Fauzi (SK menyingkatnya dengan “Gub GF”) mempercepat terealisirnya pembangunan ”industri otak” di Sumatera Barat.

Seperti yang dikatakan SK, Gub GF mengajak para rektor untuk merenungkan diskursus ”industri otak” yang sudah disuarakan oleh Emil Salim sekitar 25 tahun yang lalu. Sekarang, Gub GF sudah tak sabar lagi menunggu konsep kongkrit, terutama dari para rektor, tentang “industri otak” itu.

Saya kira kita semua, secara prinsip, bersetuju dengan gagasan ‘industri otak” yang dikemukakan oleh Gub GF. Betul, di tengah ketersediaan sumberdaya alam yang minus, Sumatera Barat mesti menemukan cara lain untuk bisa tetap kompetitif baik dalam lingkup nasional, regional maupun internasional.

Tapi, konsepsinya harus betul-betul didudukkan dengan baik. Kalau tidak, pepatah orang tua “minyaknya habis sambalnya tak enak”, akan menjadi kenyataan.

Bagi saya, ‘industri otak’ menjadi pointless manakala outcome dari pabrik itu adalah orang-orang pintar yang kelakukannya ‘mencingkahak’ (bahasa Pariaman, yang artinya buruak laku; punya orang dianggap milik pribadi, bahkan bini orang seringkali diperbininya tanpa merasa malu atau bersalah).

Karenanya, secara praktis, membangun “industri otak” itu tidak cukup dengan hanya mengirim dan atau membiayai anak-anak muda pintar (atau yang dianggap pintar) untuk bersekolah ke luar negeri atau ke perguruan tinggi dalam negeri ternama saja.

Melihat contoh ke yang sudah, betapa banyak orang-orang pintar negeri ini yang bersekolah atau disekolahkan di perguruan-perguruan tinggi ternama baik dalam maupun luar negeri, tapi setelah mereka pulang banyak pula diantara mereka yang menjelma menjadi tokoh-tokoh pintar yang kerjanya asyik memperkaya diri sendiri dan merusak negeri.

Ukuran Hebat

Dalam berbagai forum, seringkali pejabat-pejabat kita yang menyampaikan bahwa suku Minangkabau atau Sumatera Barat sudah kehilangan kehebatan mereka. Ranah Minang tidak lagi dianggap sebagai negeri bertuah karena tidak lagi ada tokoh-tokoh hebat yang lahir dari rahim bundo seperti masa lalu. Dan ukuran yang sering dipakai adalah, sedikitnya (atau bahkan tidak ada sama sekali) orang Minang yang duduk di kabinet ataupun menjadi pejabat tinggi negara lainnya.

Kerisauan itu seakan menyimpulkan bahwa kita menganggap (mainstream) ranah sudah gagal total karena tidak lagi mampu menempatkan orang-orangnya di posisi-posisi strategis di tingkat nasional. Artinya, kita berhiba hati karena kita tidak bersaham dalam hiruk-pikuk nasional.

Satu lagi, dalam bentuk yang berbeda, ukuran yang sering dipakai oleh para pejabat dalam menjustifikasi kegagalan kita adalah rangking nasional dalam bidang pendidikan. Para pejabat sangat galau kalau daerah yang dipimpinnya menempati nomor pincit pada rangking nasional. Sebaliknya, mereka akan menepuk dada apabila rangkinnya baik secara nasional, meskipun cara-cara aneh dan kampungan amat sering dilakukan demi mencapai “prestasi” itu.

Menurut saya, kalaulah ukuran-ukuran itu yang juga akan dijadikan titik berangkat dalam membangun “industri otak”, maka saya khawatir produk yang akan lahir dari pabrik itu adalah orang-orang hebat, pintar tapi tidak bermanfaat untuk masyarakatnya. Bahkan mereka sangat potensial menjadi malin kundang yang bukan hanya sekedar tidak mengakui dan menghardik-hardik ibunya tapi lebih hebat lagi si malin kundang itu akan tega mencabuli ibunya sendiri.

“Industri Orang Baik”

Pada sebuah konferensi sekitar dua bulan yang lalu di Melbourne, ketika ditanya seorang penanggap perihal definisi intelektual, Professor Arief Budiman menjawab bahwa yang disebut dengan intelektual itu adalah orang berilmu yang ilmunya itu dipergunakannya untuk kemaslahatan masyarakat banyak. Bagi Professor Arief, dengan kata lain, seratuspun banyaknya titel doktor melekat pada nama seseorang, dia tidak layak dianggap sebagai intelektual kalau yang bersangkutan tidak berkontribusi positif kepada masyarakatnya.

Secara ekstrim, malahan Professor Arief membuat komparasi bahwa tukang becakpun akan bisa dianggap intelektual apabila dengan ilmunya si tukang becak melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk masyarakatnya.

Bagi saya, membangun “industri orang baik” jauh lebih baik ketimbang sekedar membangun “industri otak”. Memberikan beasiswa kepada orang-orang pintar untuk bersekolah di luar negeri dan atau perguruan tinggi ternama dalam negeri adalah baik. Akan tetapi, mungkin jauh lebih baik kalau membangun “industri orang baik” dengan memulai melakukan pembenahan/penguatan pendidikan dasar.

Saya bukan pakar pendidikan. Oleh karena itu, sebagai orang awam, banyak pertanyaan yang menggayuti pikiran saya yang sebagian diantaranya: Tidakkah pendidikan kita yang sedang berjalan hari ini terlalu sarat beban yang menyebabkan anak-anak kita kurang kreatif, tidak punya kepekaan sosial, logikanya dangkal dan lain-lain sebagainya? Sudahkan pendidikan kita mengajarkan anak-anak membenci perilaku-perilaku memalukan seumpama korupsi? Sudahkan sudahkah pendidikan kita berorientasi menghasilkan “orang baik”?
Mari memikirkan, “industri otak” atau “industri orang baik’? ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan