Agama untuk Perdamaian

Agama untuk Perdamaian

Jumat, 27 Juni 2008 http://www.padangekspres.co.id/content/view/10631/55/
Active ImageOleh : Shofwan Karim, Peserta World Peace Forum 2008
Manusia memerlukan rasa damai, jauh dari konflik dan kekerasan. Ketika hidup dalam kelompok atau ketika kelompoknya bersinggungan dengan kelompok lain, kerawanan mulai terjadi. Bahkan, tidak sekadar itu.

Ketika seseorang berhubungan dengan yang lain meskipun dalam keluarga sendiri, suku sendiri, agama sendiri, konflik bisa muncul tiba-tiba. Konflik bisa muncul secara eksternal maupun internal. Namun konflik biasanya tidak datang tiba-tiba. Konflik mempunyai akar atau urat tunggang.

Upaya menata resolusi konflik pada ribuan spot di planet bumi saat ini, secara ideal hendaknya simultan dilakukan dengan penanaman benih kedamaian. Perasaan damai dan tenteram diperlukan ketika ada kehidupan sosial yang berlatar belakang keanekaragaman sosial budaya, agama, suku, politik, ekonomi, pendidikan, ras, warna kulit, asal dan keturunan.

Konflik yang tidak terkendali pada tahapnya akan menjelma menjadi kekerasan. Lebih luas dari itu, konflik dapat menjelma menjadi trans-nasional-konflik atau konflik antarnegara. Konflik terakhir ini yang tidak ada resolusinya dan bisa menjelma menjadi peperangan. Itulah yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Muhammadiyah bekerja sama dengan Cheng Ho Multi Trust dan Centre for Dialogue and Cooperation Among Civilisation (CDCC), 24-26 Juni, menyelenggarakan The 2nd World Peace Forum (WPF). Untuk melanjutkan upaya memelihara perdamaian dan mencari akar serta resolusi konflik untuk menghindari kekerasan.

WPF itu sendiri mengambil landasan filosofis: satu kemanusiaan, satu nasib dan satu tanggungjawab. Antara damai dan kekerasaan, seperti dua tebing curam berjarak ruang hampa amat dalam. Tebing yang satu adalah damai, ia memiliki anatomi, biologi dan budayanya sendiri.

Begitu pula konflik dan kekerasan, ia memiliki anatomi, biologi dan budayanya sendiri. Mencari resolusi konflik untuk mengatasi kekerasaan dengan berbagai upaya sehingga tercipta jembatan perdamaian, tampaknya telah mendorong tokoh-tokoh dunia yang pro-damai berfikir dan bekerja keras.

Beberapa pandangan terhadap bentuk konflik telah dikaji baik yang bersifat lokal maupun global. Konflik lokal dalam suatu negara dapat berbentuk kerusuhan horizontal dan vertikal. Konflik horizontal berujung kerusuhan sesama warga masyarakat.

Ini dapat berpangkal karena prasangka psikologis, etnis, sosial, budaya, salah faham dan salah praktik tentang agama. Konflik vertikal, lazimnya berakar dari perebutan pengaruh politik, kebijakan yang salah dibidang ekonomi, dan penegakan hukum yang lemah. Lain halnya dengan konflik global antarnegara, kawasan, dan lintas-kontinen. Bila tidak ada resolusi yang tepat, akan menimbulkan invasi, peperangan dan pendudukan.

Konflik trans-nasional atau global, oleh P. Huntington ditengarai berakar dari konflik antarperadaban. Oleh peserta WPF ini ditolak. Yang benar adalah akibat pengaruh dan syahwat kekuasaan untuk menjadi polisi dunia dengan cara merebut sumber daya alam dan kandungan bumi. Artinya lebih kepada karena kepentingan enerji dan ekonomi.

Kenapa Presiden George W Bush memerintahkan bala tentaranya menginvasi Afghanistan dan Irak? Pihak Bush beralasan di antaranya untuk mengejar dan menghajar negara yang membantu dan melindungi Osama Bin Laden, sang teroris yang berada di belakang serangan ke WTC 11/9/2001. Padahal semua analis secara terang-terangan menyebutkan, motivasi Bush adalah untuk merebut sumber daya alam dalam hal ini minyak bumi di kedua negara itu.

Pada kasus lain ada juga konflik antarnegara yang dianggap bukan karena perebutan sumber daya, misalnya Israel dan Palestina. Ini konflik dan kekerasan serta perang yang murni karena mempertahankan atau sekaligus memperebutkan eksistensi kehidupan mereka sebagai bangsa.

Meskipun secara faktual hanya persoalan antara dua bangsa, Israel dan Palestina, konflik ini telah melibatkan dunia global. Negara-negara besar lainnya telah terseret dan menyeretkan diri ke kancah perang antarkedua bangsa itu. Negara-negara Arab dan beberapa negara berpenduduk mayoritas Islam lainnya berpihak kepada Palestina dan negara-negara Barat terutama Amerika dan Inggris serta beberapa sekutunya berpihak ke Israel.

Maka ada analisis yang mengemuka, Irak diserang, bukan hanya karena dianggap faktor Saddam, atau Iran diobok-obok bukan semata-mata karena soal reaktor Nuklir, tetapi juga untuk melindungai Israel dari ancaman kekuatan Irak waktu –dulu— dan Iran —dulu dan sekarang— sebagai dua “singa” di Timur Tengah yang ditakuti.

Terhadap kedua bentuk konflik lokal dan global di atas tadi, tampaknya faktor agama tidak bisa disebut sebagai faktor pemicu “in-toto”. Mungkin pada kasus-kasus tertentu, agama hanya sebagai imbasan atau “in-partio” saja. Misalnya minoritas Islam di Filipina, atau konflik pemeluk Hindu-Budha di Srilangka dan untuk beberapa kasus lain di beberapa belahan dunia. Untuk itu, pertanyaan lain muncul, apakah sebenarnya urat tunggang atau akar utama konflik, kekerasan dan peperangan itu?. Jawaban datangnya seragam: yaitu injustice (ketidakadilan) dan ideology of fundamentalism and radicalism (ideologi paham fundamentalisme dan radikalisme).

Deretan ketidakadilan politik dan hak-hak warga, kelompok masyarakat, ketidakadilan pendapatan dan ekonomi, ketimpangan dan ketidakadilan pemahaman dan tuduhan yang salah. Sekadar contoh kecil, mengapa konflik Iran dan Barat terjadi? Bagi Iran, nuklir untuk energi dan maksud damai. Adalah hak mereka juga sama dengan hak Barat yang sampai sekarang mengklaim memiliki reaktor nuklir untuk keperluan damai.

Selain itu, ideologi kaum fundamentalis-radikal, seperti dikutip seorang peserta WPF, contohnya adalah Bush dan Osama. Yang satu fundamentalis-radikal Nasrani dan yang satu lagi fundamentalis-radikal Islam. Mereka menganggap lawan-lawannya harus mengikuti kemauannya, bila tidak harus dilawan bahkan dimusnahkan.

Padahal mayoritas tokoh dan pemeluk agama-agama di dunia berpaham moderat atau paling tidak sebagian kecil ada yang fundamentalis-moderat. Artinya, berpegang teguh terhadap ajaran agamanya, tetapi tidak ingin memaksakan pemikiran, kehendak, dan pandangan normatifnya kepada pihak lain.

Disitulah relevansinya dengan inti pokok doktrin Islam tentang perdamaian. Bagi mayoritas kaum muslimin perdamaian dan penegakkan keadilan adalah satu nafas. Kata Islam yang berakar dari kata “aslama”, semantik maupun terminologis mengacu sepenuhnya kepada rasa aman, sejahtera, sentosa, tenteram dan damai. Oleh karena itu firman Allah yang menggesa kita untuk bertaqwa dan mati dalam keadaan berislam dan masuklah kita semua kepada Islam secara total dan sempurna, dapat dipahami dalam pemahaman yang lahiriah-syariah, maupun yang dipahamai secara teologis, aqidah dan filosofis. Allah a’lam bi al-sawab. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan