Surat (2) dari Kairo, 2004: Hidup dari Wisata Sejarah
Surat Shofwan Karim dari Kario
(2):
Hidup dari Wisata Sejarah
Sahabatku
H Darlis, Hasril, Zaili dan Eko di Singgalang, Mimbar Minang, Padek dan Haluan.
Kemarin agenda yang dibuat oleh KMM cukup padat. Disela-sela acara itulah
Sayang rasanya
cerita soal poerjalanan saya sesudah menulis
Mobil KBRI
yang disopiri Abdul Rahman, anggota KMM membawa kami ke
Di situlah, menurut adik-adik KMM, negara Mesir
meraup salah satu dari sekian devisa masuk Mesir. Dasar utama ekonomi Mesir di
antarnyta memang dari sektor pariwisata. Dari sekor lain, misalnya minyak bumi,
memang ada, tetapi jauh di bawah Libya , Aljazair, dan lebih jauh lagi di bawah
bawah Saudi, Irak, Quwait.
Pertanian juga memasok pendapatan warga dengan adanya bendungan raksasa Aswan yang membendung sungai Nil untuk irigasi dan oembangkit listrik. Dengan begitu Mesir dianggap negeri pemnghasil produk tani seperti sayuran dan buah yang lumayan. Tetapi sektor wiisata dinggap lebih utama.
Objek
wisata dari bekas negeri Nabi Musa, Nabi Yusuf dan sekaligus raja-raja Fir’aun ini, di antara yang paling utama adalah Ahram atau Piramid dan Abul Haul atau
Spinx. Di dalam catatan tujuh
keajaiban Dunia, ciptaan manusia di samping Tembok Raksasa
Cina, Borobudur, Menara Pisa dan lain-lain, maka Piramid dan Spinx adalah yang
paling tertua di antaranya.
Di musim panas yang berkabut dan kering ini,
bangunan segi tiga lancip menjulang itu, dikunjungi ramai sekali wisatawan
manca negara. Dari wilayah Panorama yang telah ditimbun sedemikian rupa
oleh Pemerintah Mesir, kami memandang kepada ketiga Piramid itu.
Tak jauh di belakangnya,
di situ bediri pula bangunan batu terjal patung raksasa Kepala Manusia berbadan
singa yang disebut Abul Haul atau Spinx itu berada. Hidung Spinx sudah copot.
Kata gosip sejarah, hidung yang tercampak itu dibawa Napoleon setelah
meinggalkan Mesir pada lebih dua abad lalu. Menuju ke Piramid yang berdiri tiga
sejajar dengan ukuran besar menengah dan agak kecil, itu kami tempuh sekitar 1
jam dari Wisma Nusantara, distrik
Nampaknya
pengelolaan tidak terlalu rapih. Namun, seperti kata sebagian pengunjung, Mesir
tetap mendapatkan keuntungan dari peradaban Fir’aun kuno yang sudah ribuan
tahun ini. Untung ada Benteng Shalahuddin al-Ayubi, yang berdiri setelah
kemenangan Panglima Perang Salib pada abad ke 10 Miladiyah itu. Maka benteng ini
yang tetap berdiri kokoh menjadi pula sasaran kunjungan wisata Mesir yang tak
kalah dengan Piramid dan Spinx itu.
Ini menjadi
perimbangan kebanggaan orang Mesir terhadap dua peradaban: Fir’aun dan Islam. Berturut-turut sesudah kedua tempat tadi, kami berkunjung ke
Masjid Imam Syafii. Masjid tempat mengajar ilmu keeslaman Imam Besar Syafii
terletak di daerah yan disebut Hayun Safii wilayah Fusthat.
Muhammad bin
Idris Al-Syafii lahir di Ghaza,
Palestina pada 150 H. Beliau hidup dan
belajar serta mengajar ilmu keislaman berpindah-pindah. Dari kampungnya, ulama
besar sumber Mazhab Syafii ini hidup dan belajar berturut-turut di Mekkah,
Madinah, Yaman, Irak dan Parsi atau
Di
Masjid ini, menurut ornamen yang tertulis di dindingnya, Imam Syafii
sehari-hari hidup dengan mengajar murid-murid dan jama’ahnya. Pagi-pag sesudah
shalat subuh mengajar Tafsir. Kemudian matahari mulai muncul beliau mengajar
hadist dan ketika waktu dhuha baru beliau membuka lebar pintu untuk masyarakat
umum berdiskusi dan berdialog soal-soal
praktis bagi kalangan awam.
Sayang,
tempat wisata sejarah ini terletak di daerah yang agak sempit dan terkesan kurang
mendapat perhatian . Menurut sebagian orang, ada kemungkinan pemerintah memang
kekurangan dana untuk pemeliharaan atau ada faktor lain. Misalnya, mazhab
Syafii kurang populer di Mesir yang mayoritas mengikuti Mazhab Maliki.
Antisipasi
terhadap kemungkinan masyarakat hanya terfokus pada salah satu mazhab,
nampaknya ada pula masjid-masjid yang terbuka untuk jama’ah semua mazhab. Setiap warga dan umat baik pengikut
mazhab Syafii, Hanbali, Hanafi dan Maliki
dapat melakukan ibadahnya di Masjid ini menurut caranya masing-masing.
Inilah Masjid Hasan Bin Thalun yang terletak lebih terbuka dan tempatnya lebih
strategis tak jauh dari wilayah benteng Shalahudiin yang sudah disinggung di
atas tadi. Masjid ini dibangun, menurutu shahibul hikayat sebagai peringatan
untuk Saidah Aiisyah Radhiallahu’anha, istri Rasulullah. SWA.
Membangun
proyek-proyek yang bersifat monumental untuk memperingati peritiswa dan tokoh
samapi sekarang diteruskan oleh Mesir. Misalnya jalan layang toll bebas
hambatan melintas
Begitu
pula dibangun monumen dengan pilar segitiga dan taman yang terpelihara rapi di
hadapan stadion seberang jalan raya yang membelah
Pernah dimuat di Harian Singgalang Juli 2004.
Komentar