Malam Kadar, Mitos atau Realitas ?

 




Singgalang Ramadhan (5), 2011:

Mitos dan Realitas

Oleh Shofwan Karim

 

Para  ulama ulum al-Quran berpendapat bahwa turunnya surat al-Qadar jauh di belakang surat Al-Alaq.   Wahyu pertama al-Alaq turun di Mekkah sementara surat al-Qadar turun di Madinah. Mengapa di dalam susunan mushhaf al-Quran surat al-Alaq (96) langsung diiringi  surat al-Qadar (97)?.

 

Quraish Syihab menjawab, keadaan itu terjadi karena susunan itu langsung menurut ketetapan Allah. Bukan oleh Rasulullah Muhammad saw atau oleh sahabat dan ulama salaf ahli ulum alquran. 

 

Meskipun begitu, pikiran bebas merdeka tentu dapat memberi interpretasi mengkajinya secara filosofis. Tentu saja tetap merujuk kepada  asbab al-nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) sehingga interpretasi bebas itu masih tetap dibatasi kaidah baku penafsiran.

 

Di dalam  surat al-Alaq, Allah mengintruksi Nabi (dan begitu pula kaum Muslimin) untuk membaca di antaranya membaca al-Quran. Maka logikanya dapat dipahami kalau sesudahnya, surat al-Qadar berwacana tentang turunnya al-Quran. Berikut tentang kemuliaan malam nuzul  (turunnya) al-Quran itu.

 

Diantara banyak keistimewaan bulan Ramadhan (QS, 2:185), salah satunya adalah peristiwa nuzul Quran tadi. Mayoritas, jumhur ulama sependapat dengan perkiraan malam itu terjadi pada 17 Ramadhan, atau malam-malam ganjil lainnya pada sepertiga Ramadhan. Malam itu disebut lailat al-qadar (QS, 97:1).

 

Lebih dari  itu, seperti yang sudah diinformasikan secara tegas (QS, 97 : 3) bahwa kualifikasi atau mutu kemuliaan malam itu lebih baik dari seribu bulan atau lebiih kurang 83 th. Malam itu penuh dengan keberkahan, dijelaskan semua urusan yang penuh hikmah, dan ditetapkan semua urusan besar dengan penuh bijaksana (QS, 44:3-6).

 

Akan tetapi ada pertanyaan mengganjal,  apa dan bagaimana malam itu?.  Apakah kejadiannya hanya sekali pada 15 abad lalu? Ataukah terjadi sepanjang sejarah pada setiap tahun sekali sejak dulu sampai sekarang pada setiap bulan Ramadhan secara rutin?

 

Lagi, bagaimana kedatangannya? Apakah setiap orang yang menanti  pasti akan mendapatkannya?

 

Selanjutnya, apakah benar ada tanda-tanda fisik-material yang menyertai kedatangan malam lailatul qadar itu?. Benarkah ada mitos bahwa pada detik-detik malam qadar itu air membeku.

 

Malam hening sepi. Tumbuh-tumbuhan, kayu-kayuan dan pepohonan merunduk ke bumi ?. Masih banyak lagi pertanyaan yang mengiringinya.

 

Sampai sekarang, belum ditemukan jawabannya yang paling akurat. Yang pasti, malam itu adalah malam yang penuh keagungan dan kemuliaannya. Soalnya lagi, menurut Quraish Shihab, tidak mudah mengetahui betapa besar kemuliaan dan keagungan yang dimaksud.

 

Kecuali isyarat adanya pertanyaan dalam bentuk pengagungan " wama adraka ma laylat al-Qadr?". Pertanyaan semacam itu, berulang-ulang ditemui di dalam al-Quran.  Di dalam konteks yang berbeda-beda tentang kehebatan berbagai hal.

 

Kembali ke soal apakah malam qadar itu akan berulang?.  Maka logika dan hujjah ulama terbelah kepada dua pendapat.

 

Pertama, peristiwa itu hanya terjadi di masa turunnya wahyu. Oleh karena setelah wafat Rasulullah tidak ada lagi wahyu yang diturunkan, maka logikanya tidak ada lagi malam qadar.

 

Kedua, mayoritas ulama, kata Quraish Shihab (1992) tetap berpendapat, dengan memegang teks ayat dan hadis bahwa malam qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan sepanjang sejarah.

 

Bahkan Rasulullah menganjurkan ummatnya bersiap menerima malam qadar yang mulia itu secara khusus pada malam-malam ganjil setelah berlalu dua puluh hari Ramadhan.

 

Maka itu, apakah malam qadr setelah 15 abad lalu, terjadi lagi?. Mithos ataukah realitas?. Wa Allah al-a'lam bi al-shawab. ***

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan