Islam Berkemajuan Berwawasan Kebangsaan


 

Islam Berkemajuan Berwawasan Kebangsaan[1]

Oleh Shofwan Karim[2]

 

I. PENDAHULUAN

Tema seminar ini sebagai yang ditentukan panitia adalah wacana Islam nusantara dan Islam berkemajuan dalam membangun Islam berwawasan kebangsaan. Paling tidak ada tiga bagian pokok, yaitu Islam nusantara, Islam berkemajuan dan wawasan kebangsaan.

 

Saya menyederhanakan pilihan dan sesuai dengan pesan panitia dengan mengemukakan wacana yang kedua sekaligus berhubungan dengan yang ketiga. Oleh karena itu saya membatasi ruang lingkup kepada Islam berkemajuan berwawasan kebangsaan.

 

II. ISLAM   BERKEMAJUAN

 

Pada awal abad ke-20 kata berkemajuan merupakan kosa kata yang mulai populer di Nusantara. Saya belum menyebut Indonesia, karena kata Indonesia baru menjadi isu sentral pada 20 Oktober 1928 di dalam Sumpah Pemuda, satu nusa, satu bangsa dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Ayahanda YTC HbdlKarimBerhaji1976-1.jpg
Kenangan masuk IAIN Imam Bonjol Padang 1972. Masih botok setelah plonco, SK, berkaca hitam di tengah (Foto: Dok. SK)

Pada dekade pertama dan kedua abad ke-20 lalu itu, kata kemajuan merupakan aksi dan menimbulkan reaksi. Secara internal aksi ini muncul dari kesadaran sendiri, karena ingin lebih baik. Secara eksternal boleh juga akibat pengaruh luar. Di antaranya reentri intelektual yang menuntut Ilmu di Timur Tengah dan di Eropa kembalinya ke Tanah Air.

 

Mereka melihat Islam di Nusantara sebagai sesuatu yang perlu dimajukan dari pada hanya diam, statis, beku dan jumud. Pengaruh berpikir umat Islam harus bebas dari penjajah dan harus bangkit seperti pemikiran Jamaluddin Al-Afghani dan berfikir rasional serta pentingnya umat Islam menata dunia pendidikan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang mungkin terinspirasi  dari Muhammad Abduh. Boleh jadi pula lanjutan pengaruh pemurnian Islam di Saudi Arabia, pembaharuan di Mesir dan Turki serta Indo-Pakistan sepanjang abad ke 19 dan peralihan abad ke 20.

 

Reaksinya tentu berbagai rupa. Baik yang menerima dan bergerak bersama. Ada pula yang menolak secara total dan menolak secara selektif serta ada yang netral tidak bersikap dan menyesuaikan saja dengan lingkungannya. Oleh kalangan tertentu muncul sebutan untuk yang pro-kemajuan itu sebagai kelompok pembaharu, kaum muda, kaum modernis, kaum inetelektual baru. Belakangan penghujung abad lalu ada kelompok Islam rasional, kaum yang pro-ilmu pengetahuan dan teknologi, masyarakat madani serta masyarakat hadhari. [3]

 

Lebih ekstrim lagi dalam makna pejorative bahkan menyebut Islam liberal, sekuler dan pluralis. Tentu saja di pihak lain sterio-tipe dikhotomis, muncul istilah kaum tradisional, kaum tarekat, kaum sarungan, penyuka klenik, kaum mistisis, kaum salafi, fundamentalis, Islam transnasional dan seterusnya. Hal itu, bahkan sampai sekarang masuk dekade awal milinium ke-2 ini tak pernah padam bahkan ada kalanya mencuat menjadi isu bagai api yang menyala dan membara atau hanya bagai api di dalam sekam, yang tampak asapnya saja.

1972.Plonco.AwalKuliahIAINIB.jpg
Calgary, Fall 1980, Indonesia-Canada World Youth Exchange Program, with Lawrence T Siburian (Foto: SK)

Kembali ke awal abad 20, munculnya dinamika berfikir yang disebut pembaharuan pemikiran Islam, boleh saja dikaitkan dengan keadaan internal umat Islam Indonesia yang menghadapi masalah kenyataan sosial-budaya, ekonomi, pendidikan apalagi politik yang terbelakang di bawah penjajahan Belanda

 

Seperti disinggung Deliar Noer (1996:86) salah satu unsur umat Islam Indonesia yang mengorganisir dan melembagakan kemajuan itu, di antaranya adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah didirikan (1912) dengan maksud, “menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk Bumiputra” dan “ memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya”. Untuk itu Muhammadiyah bermaksud mendirikan lembaga-lembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh di mana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan “wakaf” dan masjid-masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, surat-surat kabar dan majalah-majalah.[4]

 

Jadi, bila ditafsirkan secara sederhana, Islam yang diinginkan Muhammadiyah pada awal kelahirannya adalah Islam yang maju atau berkemajuan. Pada dasarnya Islam itu selalu baik dan berkemajuan. Aka tetapi ummatnya belum tentu memahami secara sempurna Islam yang baik yang cocok untuk setiap zaman dan tempat (“shalih li kulli zaman wal makan”). Hal itu harus diperjuangkan. Tidak terjadi begitu saja.

London_Wisma_Purwo_Santoso_Kel.jpg
London, UK, Nov 1994 with Purwosantoso, family adn friends (Foto: Dok. SK)

Tentu saja tidak semua harus dimajukan. Masalah akidah, akhlak, dan ibadah tidak mungkin ada yang disebut kemajuan. Kemajuan itu adalah pada ranah muamalah duniawiyah. Begitu pula dalam hukum syariat tidak selalu dapat dilakukan sesuai dengan keinginan untuk kemajuan. Kemajuan itu lebih ditekankan kepada kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, mengelola amal usaha, berbisnis, mengembangkan profesi, kehidupan dalam berbangsa dan bernegara, melestarikan lingkungan, kehidupan di dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan dalam seni dan budaya. [5] Inti pokok kemajuan di sini adalah usaha sungguh-sungguh untuk lapangan muamalah, sosial, politik, budaya, pendidikan dan ekonomi untuk kesejahteraan.

 

Kata maju di sini adalah juga berarti dinamis, dan begerak ke depan. Kontradiktif dengan kemajuan pada masa lalu itu maka tentu saja adalah perilaku beragama yang beku, jumud dan disebut Islam kolot mengikuti saja tradisi lama tanpa berfikir dan mengkritisi dengan mencari dan menemukan dalil-dalil baru atau analisis baru terhadap pemahaman lama. Kemajuan masih dalam makna sempit pada waktu itu. Baru berhubungan dengan masalah pendidikan dan sosial serta menggairahkan amaliah kehidupan umat yang dianggap belum maju. Muhammadiyah memulai dari yang paling sederhana tadi.

 

Belakangan hal itu yang menjadi fokus Amal Usaha Muhmmadiyah (AUM) yang dengan bersungguh-sungguh mendirikan lembaga pendidikan yang berkemajuan dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, panti asuhan, poliklinik, apotik, rumah sakit, santunan sosial, panti asuhan, rumah jumpo, penangggulangan bencana, usaha ekonomi produktif BMT, sistem wakaf harta dan wakaf uang, Lazis Muh dan lain-lainnya.

 

Itu semua sebagai upaya untuk menjadikan umat Islam berkemajuan. Muhammadiyah sangat konsisten dengan Islam berkemajuan itu karena senantiasa merujuk dan mempertahankan status testimoni khair ummah implementasi dari seruan al-Quran surat Al-Imran (3:110).

 

Situasi sudah berubah. Di akhir abad ke-20 apa lagi memasuki abad ke-21, bukan hanya Muhammadiyah, tetapi semua warga bangsa dan semua organisasi umat Islam adalah pro-kemajuan. Berkemajuan dalam makna awal Muhammadiyah tadi sudah menjadi kenyataan tidak ada lagi pertentangan. Bila sebelumnya ada dikhotomi sekarang semua sudah menerima dan melaksanakan kemajuan itu.

 

Kalau dulu dalam pendidikan dan sosio-kultural pro-kemajuan itu baru Jamiah Khairiyah (1905), Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah (1912) Al-Irsyad (1914), Persis (1923), tetapi setelah Perang Dunia II (1942-1945) semua sudah menerima dan berkiprah dalam kemajuan termasuk Nahdhatul Ulama (1926), Perti (1930), Al-Washliyah (1930) Nahdhatul Wathan (1953). Semua persyarikatan umat ini menggarap pendidikan, sosial, budaya, ekonomi bahkan dalam masa-masa tertentu ikut dalam politik.

 

Selain kemajuan di bidang pendidikan dan sosio-kultural itu, umat Islam Indonesia terobsesi untuk berkemajuan di bidang ekonomi dan politik. Di mulai dari lahirnya Syarikat Dagang Islam (1905) di Solo kemudian menjadi Syarikat Islam 1912 di Bogor, menjadi Partai Syarikat Islam 1917. Lahir Penyadar 1936 dengan tokoh utama Agus Salim yang keluar dari Syarikat Islam. Berdiri pula Partai Islam Indonesia 1937 dan Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) 1937 dan Majelis Syura Muslimin Indonesia 1943 yang kemudian menjadi Partai Masyumi November 1945. Masyumi awal kemerdekaan ini pada mulanya menjadi wadah kumpulan semua golongan politik Islam. Tetapi tak lama Syarikat Islam, NU dan Perti keluar dari Masyumi pada 1947, 1952 dan 1953. Masyumi bubar 1960. Pada Pemilu 1971 ikut PSII, Parmusi, NU dan Perti. Dan pada 1973 terjadi fusi 4 partai menjadi satu di dalam PPP. Sekarang, semua sudah dalam bentuk baru kemajuan politik Islam di Indonesia dengan adanya PPP, PKS, PAN, PKB dan PBB.

 

Bedanya, dulu organisasi massa umat Islam banyak yang bergabung secara organisatoris kepada Parpol, sekarang hampir semuanya menyatakan netral secara organisastoris . Akan tetapi tokoh elit organisasi itu belakangan setelah tidak menjabat atau keluar dari kepengurusan organisasi kemasyarakatan Islam tadi, secara perorangan menjadi aktifis politik dan ikut Pemilu. Mereka banyak yang menjadi anggota parlemen atau legislative.

 

Sementara itu, di tengah hiruk pikuk isu Islam dan kebangsaan, muncul kembali wacana Islam Nusantara. Azyumardi Azra mengatakan, kosa kata ini bukan baru:[6]

 

           “Istilah ‘Islam Nusantara’ pada dasarnya tidaklah baru. Istilah ini mengacu pada Islam di gugusan kepulauan atau benua maritim (nusantara) yang mencakup tidak hanya kawasan yang sekarang menjadi negara Indonesia, tetapi juga wilayah Muslim Malaysia, Thailand Selatan (Patani), Singapura, Filipina Selatan (Moro), dan juga Champa (Kampuchea).

 

             Dengan cakupan seperti itu, ‘Islam Nusantara’ sama sebangun dengan ‘Islam Asia Tenggara’ (Southeast Asian Islam). Secara akademik, istilah terakhir ini sering digunakan secara bergantian dengan ‘Islam Melayu-Indonesia’ (Malay-Indonesian Islam). Masalahnya kemudian, apakah abash berbicara tentang ‘Islam Nusantara’ atau ‘Islam Asia Tenggara’ atau ‘Islam Melayu-Indonesia’? Apakah ‘Islam Nusantara’ memiliki distingsi, baik pada tingkat doktrin normatif maupun kehidupan sosial, budaya, dan politik?”

 

‘Islam Nusantara’ menganut Rukun Iman dan Rukun Islam yang sama dengan kaum Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Sunnah atau Sunni) lain di bagian dunia Islam manapun seperti disepakati jumhur (mayoritas) ulama otoritatif. Meski demikian, dalam batas tertentu ‘Islam Nusantara’ memiliki distingsi sendiri. Kenyataan ini bisa terlihat dari, misalnya ortodoksi Islam Nusantara yang terbentuk mapan khususnya sejak abad ke-17 ketika murid-murid Jawi seperti Nuruddin ar-Raniri, ‘Abdurrauf al-Singkili, dan Muhammad Yusuf al-Maqassari kembali ke Nusantara setelah belajar selama hampir dua dasawarsa dan terlibat dalam ‘jaringan ulama’ yang berpusat di Makkah dan Madinah.”

 

Islam Nusantara di artikan sebagai penyesuain Islam dengan tradisi lokal. Abdul Moqsith Ghazali mengatakan bahwa ide Islam Nusantara datang bukan untuk mengubah doktrin Islam. Ia hanya ingin mencari cara bagaimana melabuhkan Islam dalam konteks budaya masyarakat yang beragam. Upaya itu dalam ushul fikih disebut tahqiq al-manath yang dalam praktiknya bisa berbentuk mashlahah mursalah, istihsan dan `urf[7]

 

Bagi NU lebih jelas lagi apa itu Islam Nusantara: [8]

 

Saat ini istilah Islam Nusantara telah menimbulkan polemik pro dan kontra. Bagi NU sebagai ormas Islam terbesar, Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku dan keras. Bahwa Islam di Nusantara didakwahkan dengan cara merangkul budaya, menyelaraskan budaya, menghormati budaya, dan tidak memberangus budaya. Dari pijakan sejarah itulah, NU akan bertekad mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu Islam yang ramah, damai, terbuka dan toleran. Presiden Jokowi juga telah menyatakan dukungannya secara terbuka atas model Islam Nusantara, yaitu Islam yang penuh sopan santun, Islam yang penuh tata krama dan penuh toleransi.”

 

Di kalangan Muhammadiyah, apa yang disebut Abdul Moqsith Ghazali itu, sudah dirumuskan sejak 13 tahun lalu disebut dengan dakwah kultural, yang intinya dakwah dengan penyesuaian dengan keadaan setempat. Metoda dakwah yang toleran, jalan tengah, moderat dan memulai dari amal usaha bukan kata-kata tetapi dengan uswah, contoh nyata.

 

Dalam rumusan hasil Sidang Tanwir yang telah dibukukan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dijelaskan bahwa:

“Dakwah kultural merupakan upya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” [9]

 

Selain dakwah kultural itu, Muhammadiyah pada Muktamar Makassar, 1-7 Agustus 2015 lalu, menawarkan suatu pemikiran yang disebut, “Indonesia berkemajuan, rekonstruksi kehidupan kebangsaan yang bermakna”. Di dalam konsepsi yang terdiri atas VII Bab itu dikemukakan tafsir Indonesia berkemajuan dan paradigmanya. Selain Bab pendahuluan dan penutup, di dalam Bab II sampai V dikemukakan hal-hal sebagai berikut.

 

Tafsir Indonesia berkemajuan yang menguraikan akar sejarah Indonesia berkemajuan dan paradigma Indonesia berkemajuan. Lalu, realitas kehidupan kebangsaan meliputi sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Berikutnya rekonstruksi kehidupan kebangsaan terhadap sosial-politik, sosial-ekonomi dan sosial budaya tersebut. Kemudian, nilai dan lingkungan strategis yang mengemukakan agama sebagai sumber nilai kemajuan; pendidikan yang mencerahkan; kepemimpinan profetik; institusi yang progresif dan keadaban publik.[10]

 

Untuk menghadapi masa depan melengkapi rekonstruksi di atas, Muhammadiyah menawarkan pula revitalisasi visi dan karakter bangsa. Baik revitalisasi politik, ekonomi maupun sosial-budaya. Dalam kaitan dengan revitalisasi karakter bangsa, Muhammadiyah memandang kemajuan dan kemunduran suatu bangsa atau negara tergantung pada faktor manusianya. Manusia Indonesia yang berkarakter kuat dan melekat dengan kepribadian bangsa diharapkan memiliki sifat relijius, moderat, cerdas dan mandiri. [11]

 

Di antara nilai-nilai keutamaan atau karakter yang perlu dimiliki bangsa Indonesia secara individual dan kolektif adalah nilai-nilai spiritualitas; nilai-nilai solidaritas; nilai-nilai kedisiplinan; nilai-nilai kemandirian ; dan nilai-nilai kemajuan dan keunggulan. [12] Maka dengan demikian Islam berkemajuan dapat ditransformasikan menjadi Indonesia berkemajuan berwawasan kebangsaan.

 

III. INDONESIA BERKEMAJUAN BERWAWASAN KEBANGSAAN

 

Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945, menyatakan bahwa cita-cita Proklamasi adalah terbentuknya negara Indonesia yang merdeka bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan tujuan dbentuknya Pemerintahan Negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

 

Maka Indonesia berkemajuan, sudah menjadi asa (kehendak) semua bangsa Indonesia seperti yang dikokohkan di dalam pedoman dasar berdirinya Republik Indonesia oleh para peletak dasar (founding fathers) negara ini. Jadi tidak ada klaim bahwa Indonesia berkemajuan hanya milik golongan tertentu.

 

Negara berkemajuan adalah negara yang mendorong teciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung sumber daya manusia yang cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia. Oleh karena itu negara berkemajuan harus mampu menegakkan kedaulatan baik wilayah, politik, hukum, ekonomi dan budaya.

 

Secara demografis menurut sensus penduduk 2010, umat Islam adalah mayoritas dalam jumlah 88.17 % di Indonesia.[13] Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa wawasan kebangsaan Indonesia, merupakan wajah lain dari wawasan ke-Islaman mayoritas warganya. Membicarakan dinamika dan wawasan atau cara pandang umat Islam Indonesia selalu setali dengan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan. Maka wawasan ke-Islaman dan ke-Indonesiaan itulah yang pada bagian berikut disebut sebagai wawasan kebangsaan.

 

Secara historis, ini di mulai dari Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Isi Piagam itu kecuali tujuh kata, “….dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemuknya”, selebihnya menjadi Pancasila seperti yang termuat di dalam Pembukaan UUD 1945.

 

Piagam Jakarta itu ditandatangani oleh 9 orang tokoh nasional dan agama. Mereka adalah Soekarno, Achmad Soebardjo, Hatta, H. Agus Salim, Mohammad Yamin, KH A. Wahid Hasyim, KH A. Kahar Muzakir, Abikoesno Tjokrosoejo, AA Maramis. Kesembilannya itu bila dikaitkan dengan keberagamaan mereka, maka 8 orang tokoh yang beragama Islam dan 1 Kristen.

 

Bila dikaitkan dengan organsasi besar umat Islam Indonesia maka KH A Wahid Hasyim adalah tokoh Nahdhatul Ulama serta KH A Kahar Muzakir adalah tokoh Muhammadiyah. Abikoesno Tjokrosoejoso adalah tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia. Sementara H. Agus Salim adalah pemikir Islam bebas-mandiri, meskipun pada masa sebelumnya pada dekade pertama sampai ke-empat sebelum kemerdekaan adalah pemimpin Syarikat Islam dan Partai Penyadar. Keempat tokoh ini dapat ditafsirkan sebagai mewakili aspirasi umat Islam Indonesia.

 

Sampai masa Sidang Konstituante, wawasan kebangsaan masih belum menemukan formatnya bila dikaitkan dekan perdebatan perumusan ideologi dan konstitusi antara Pancasila, Islam dan sosial-ekonomi. Baru setelah masa orde baru, meski menimbulkan dinamika yang cukup tinggi, setelah Parpol 1975 dan Ormas 1985 merumuskan Pancasila sebagai dasarnya, wawasan kebangsaan seperti sekarang menjadi final.

 

Formulasi wawasan kebangsaan yang demikian menjadi keinginan umat Islam Indonesia berkemajuan dengan memandang bahwa Indonesia yang dicita-citakan itu adalah negara utama (al-madinat al-fadhilah). [14] Umat Islam Indonesia mempunyai wawasan bahwa NKRI berdasarkan Pacasila serta UUD 1945 adalah negara perjanjian (komitmen) dan penyaksian atau Darul Ahdi wa Syahadah. Merupakan konkretisasi pejanjian luhur tokoh bangsa yang merupakan representasi umat dan bangsa. Tujuan utamanya adalah menjadi negara berkemakmuran dan berkeadaban serta negara yang sejahtera.

 

Apabila dirujuk kepada dua organisasi besar umat Islam, Muhammadiyah[15] dan Nahdhatul Ulama (NU),[16] keduanya menyatakan bahwa NKRI, Pancasila, UUD 1945 serta kehidupan yang beragam dan majemuk tetapi tetap satu (Bhinneka Tunggal Ika ) telah diterima sepenuhnya.

 

Sekarang oleh keduanya apa yang disebut 4 pilar bangsa itu, adalah final. Dengan begitu antara Muhammadiyah dan NU secara harmonis dan sinkron dapat dirajut pemikiran Islam berwawasan kebangsaan dalam konsepsi Islam berkemajuan di nusantara atau boleh juga disebut Islam nusantara yang berkemajuan. Ini merupakan wawasan kebangsaan yang dapat ditawarkan dan hendaknya mencerahkan dan mencerdaskan serta disosialisasikan terus menerus kepada generasi berikutnya.***

 

 

[1] Seminar Nasional HMJ TH Program Khusus Fakultas Ushuluddin IAIN IB Padang, Kamis, 22 Oktober 2015.

[2] http://www.shofwankarim.com/berita-riwayat-hidup-singkat–h-shofwan-karim-elha-ba-drs-ma-dr.html

[3] Masyarakat Madani dipopulerkan oleh Anwar Ibrahim, BJ Habibi, Nurcholish Madjid pada tahun 1990-an. Islam Hadhari dipopulerkan oleh PM Malaysia (2003-2009) Tan Sri Abdullah Badawi. Semuanya mengacu kepada Islam berkemajuan.

[4] Javasche Courant, No. 71, 4 September 1914, sebagaimana dikutip Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia, 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996. Hal. 86.

[5] Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Keputusan Muktamar ke-44 tahun 2000, Jakarta. Suara Muhammadiyah, 2013. Hal.63-94.

[6] http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/06/17/nq3f9n-islam-nusan.tara-1. Akses, 22.10.15

[7] http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,60834-lang,id-c,kolom-t,Metodologi+Islam+Nusantara-.phpx. Akses, 21 Oktober 2015 pk. 09.24.

[8] http://muktamar.nu.or.id/meneguhkan-islam-nusantara/. Akses, 22.10.15. Pk.06.15

[9] Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, hlm. 26 sebagai hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar Bali, 24-27 Januari 2002.

[10] PP Muhammadiyah. Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi kehidupan Kebangsaan yang Bermakna. Yogyakarta, 2015. Hal V.

[11] PP Muhammadiyah. 2015. Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa. Hal. 41-44.

[12] Ibid. Hal. 46-48.

[13] Dari hasil terakhir sensus BPS pada 2010 menunjukkan persentase agama di Indonesia. Persentase umat Islam 87,18 persen; Kristen 6,96 persen; Katolik 2,91 persen; Hindu 1,69 persen; Budha 0,72 persen; Konghucu 0,05 persen; dan lainnya 0,13 persen. Selain itu ada kelompok yang tidak terjawab 0,06 persen dan tidak ditanyakan 0,32 persen. Lihat Agus Indiyanto, Agama di Indonesia dalam Angka, seperti dikutip http://grepublishing.com/agama-di-indonesia-dalam-angka/. Akses, 21 Oktober 2015, pk. 14.32

[14] Din Syamsuddin, “Visi Kebangsaan Indonesia Berkemajuan”. Suara Muhammadiyah 18/100. 16-30 September 2015. Hal. 27

[15] Muhammadiyah memandang bahwa NKRI yang diproklamasikan 17 Agusutus 1945 adalah Negara Pancasila yang ditegakkan di atas falsafah kebangsaan yang luhur dan sejalan dengan ajaran Islam. Lihat, Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa syahadah. PP Muhammadiyah, 2015. Hal. 12.

[16] Pancasila Sudah Final, NKRI Harga Mati. http://nujateng.com/2015/01/pancasila-sudah-final-nkri-harga-mati/. Akses, 21/10.15. Pk. 20.56


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan