Menyemangati Muhammadiyah Sumbar

Menyemangati Muhammadiyah di Sumatera Barat
(kejayaan yang telah runtuh di era Milineal)
Oleh : Riyan Betra Delza (Ketua DPP IMM)

Setelah  Achmad Rasyid (AR) Sutan Mansyur (1953-1959) Prof. Dr. Ahmad Syafiii Ma’arif adalah putra  Minangkabau kedua yang menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah. Ini memberikan makna yang khusus bagi kita di Ranah Minang (Sumatera Barat). Sebab Muhammadiyah memang dilahirkan oleh K H Ahmad Dahlan di kauman, Jogyakarta, tapi berkembang dan besar di Miangkabau, serta disebarkan ke seluruh Nusantara antara laiin oleh pentolan Muhammadiyah putra Minangkabau. “Muhammadiyah memang tidak lahir di Sumatera barat, tetapi tidak dapat dipungkiri  persyarikatan ini  menjadi besar dan berkembang dengan pesat dari bumi Minangkabau.

Gerakan sosial dan dakwahnya , yang dikenal dengan tajdid dan dokrin amar ma’ruf nahi munkar, mampu menyatu secara utuh sesuai dengan watak dan karakter masyarakat  Minangkabau. Dengan sendirinya , banyak ,banyak tokoh besar yang terlahir dan tidak sedikit pula lembaran sejarah perjalananan Muhammadiyah telah terukir dari negeri tercinta ini”.

Pencapaian- pencapaian tempo dulu tentulah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipungkiri oleh siapapun tentang kemajuan  muhammadiyah di Sumatera Barat. Waktu berganti, musimpun berlalu, semua pencapaian itu satu persatupun gugur dalam dimensi nostalgia saja. Rasanya tidak ada yang mencolok tentang Muhammadiyah di Sumatera Barat di era milenial ini. Bisa dikatakan Muhammadiyah Sumatera Barat hanya sebuah nama besar yang ditumpangi follower-follower pasif saja.
Bagaimana tidak, beberapa point penting yang membesarkan muhammadiyah diminangkabau semua bisa dikatakan rapuh dan runtuh. Sebut saja, bidang dakwah melalui mubalig, bidang ekonomi dengan wirasuahawannya , bidang pendidikan dan kesehatan yang menjadi tiang penyangga kejayaan Muhammadiyah di ranah minang

Kerapuhan ini disadari betul oleh tokoh muhammadiyah di Sumatera Barat, namun hanya sebatas kesadaran saya, dan enggan untuk berbuat aktif memperbaki kutukan zaman tersebut. Kalau kita mau berjujur-jujur, mubalig sangatlah banyak diminangkabau tetapi yang ikhlas, cakap dan tokoh seperti Hamka, buya syafii, AR Sutan Mansyur tidak ada lagi. Mubalig hari ini saya kira, tidak mampu memberikan porsi dakwah yang menyentuh seluruh kalangan terutama generasi muda.
Jika dulu Muhammadiyah di penuhi oleh saudagar yang mapan secara ekonomi, dengan sadaqah yang sangat banyak untuk muhammadiyah, sehingga bisa membantu persyarikatan bergerak, sekarang ini justru keberadaan saudagar sangatlah kurang di muhammadiyah, sehingga kebanyakan gerakan hari ini tidak terlihat menghidupi muhammadiyah sama sekali. Lebih banyak menghabisakan sisa-sisa hidupnya dengan mencari hidup dimuhammadiyah.

Dunia pendidikan apalagi, kita ingat perguruan tinggi muhammadiyah pertama itu didirikan di Sumatera barat yaitunya fakultas falsafah dan  hukum di Padang Panjang pada 18 November 1955. Namun tertua bukan berarti terdepan, lihat saja kampus UMSB di Sumatera Barat “seakan hidup segan mati tak mau”, persoalan internal yang masih tidak berkesudahan, sehingga kemajuan suatu hal yang masih tersandera di dunia khayal saja. Tidak perlau saya beberkan terlalu mendetail persoalan yang terjadi, namun intinya keinginan untuk menguasai sehingga mendirikan seperti dinasti masih menjadi persoalan yang perlu diseriusi dan disadari betul oleh tokoh muhammadiyah di Sumatera Barat.

Nah persoalan di ranah fundamental ini lah yang menjadi penyakit yang selalu menggrogoti muhammadiyah di Minangkabau, sehingga output tokoh muhammadiyah tidak ada terdengar lagi. Ada tokoh yang terkenal, namun saya bilang itu hanya claim sepihak saja, mungkin karena keilmuannya, ketokohannya, kekayaannya yang tidak di tempa langsung di persyerikatan muhammadiyah, namun karena merasa dekat dengan muhammadiyah, sehingga dijadikan sebagai tokoh muhammadiyah.

Pahit memang, tapi kita harus jujur dengan kenyataan, seperti yang disampaikan oleh buya Syafii, “ jika ingin maju, kita harus berjujur-jujur dengan keadaan walaupun itu membuang malu dimuka sendiri” hal ini yang coba kita perbaiki, dari keterbukaan kita terhdap persoalan yang ada dan berlapang hati menyelesaikannya, dengan kata lain, jangan ada lagi dusta diantara kita.

Pertanyaannya Apakah Muhammadiyah akan berkahir di Sumatera Barat?

Tentu saja tidak, masih banyak harapan yang harus kita renangi, agar kejayaan dimasa lalu tidak hanya menjadi alat tidur untuk membuat kita nyaman dan enggan bergerak, karenanya kita harus lebih baik  bahkan sampai bisa melampaui zaman dimasa lalu itu.
Hari muhammadiyah terutama dikalangan angkatan mudanya sudah mulai responsive, kritik dan solutif terhadap persoalan yang ada, persoalan didengar maupun tidak itu soal belakangan. Namun yang jelas beraninya angkatan muda melontarkan kepeduliaannya dengan mengkritik dan tidak menjadi pengekor merupakan suatu kemajuan yang sangat luar biasa.

Tinggal hari ini bagaimana kolaborasi antara angkatan muda dan tokoh sepuh memainkan koordinasi dengan menghidupkan semua lini pembangkit gerakan muhamadiyah, seperti mubalig, interpreneur, pendidik, politisi ini yang harus diperhatikan betul diasporanya oleh tokoh-tokoh muhammadiyah di ranah minang, agar tidak  menjadi senjata makan tuan dalam arti kata setelah sukses ia tidak lagi memakai ideologi muhamadiyah disetiap sendi-sendi kehidupannya.

Hal tersebut harus diperhatikan betul dikarenakan penerus kepemimpinan muhammadiyah adalah generasi muda, karenanya keabaian memperhatikan dan mempersiapkan generasi muda berarti mempersiapkan bencana, seperti yang kita rasakan pada hari ini, walaupun tingkatnya belum terlalu parah.

Karenanya pada milad muhammadiyah yang ke 106 ini hendaknya melalui semangat Ta’awun kita hidupkan kembali ghiroh untuk saling jujur, saling  berbenah, saling intropeksi, sehingga semangat ber amal ma’ruf bisa di ejawantahkan untuk mengembalikan kejayaan muhammadiyah di sumatera barat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Irman Gusman dan Anjadi Gusman Bersama Ibu Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah Sumbar

Senang, Gembira dan Bahagia: Wakaf Prof. Dr. H. Sidi Ibrahim Buchari, M.Sc.