Syeikh Jamil Jambek, Sang Penentang Hukum Adat

 

Syeikh Jamil Jambek, Sang Penentang Hukum Adat

KETIKA usia belasan tahun, Muhammad Jamil Jambek dikenal sebagai parewa (preman) di kampung halamannya, Nagari Kurai, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia keluar masuk kampung sebagai jagoan dengan keahlian pencak silat. Banyak pemuda yang takut berkelahi dengannya.

Menyabung ayam, bagian dari tradisi masyarakat Minangkabau kala itu, adalah kebiasaannya. Ia juga pernah mengisap candu. Saking gemarnya mengisap barang haram ini, ia dapat membedakan mana bau rokok dengan bau candu dari kejauhan. Keahlian ini juga yang membuat anak muridnya sering katahuan saat usai mengisap candu.

Sejarah kemudian mencatat Muhammad Jamil Jambek, yang juga dikenal dengan sebutan Inyiak Jambek, menjadi ulama terkemuka Minangkabau. Ia paling kritis terhadap adat istiadat dan ajaran tarikat. Dia juga ahli ilmu falak dan pembuat imsyakiah pertama. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode dakwah dengan bertabligh di depan massa.

Insyaf dan ke Makkah

Jamil Jambek lahir di kota Bukittinggi, Sumatera Barat, pada tahun 1863. Nama kecilnya Muhammad Jamil. Ia anak sulung dari Muhammad Saleh Datuk Maleka, seorang Kepala Nagari di Kurai, Bukittinggi.

Meski putra seorang pemimpin adat, perangai Jamil saat remaja sering dicibir masyarakat. Ia anak pemimpin adat yang sungguh tak beradat.

Pada usia 22 tahun, tepatnya tahun 1885, atas nasehat seorang ulama, Tuanku Kayo Mandiangin, Jamil mulai sadar dan meninggalkan dunia parewa. Ia kemudian belajar agama dan bahasa Arab.

Setahun berlalu, Jamil dikirim ayahnya belajar pada Syeikh Ahmad Khatib di Makkah. Ahmad Khatib adalah ulama asal Nagari Balai Gurah, Bukittinggi, yang termasyur sebagai guru besar di Mekkah dan menjadi Imam Besar di Masjidil Haram, sebuah posisi yang sebelumnya tak pernah diisi oleh mereka yang berasal dari luar tanah Hijaz.

Ada beberapa murid Syeikh Ahmad Khatib di Makkah yang kemudian terkenal sebagai motor pembaharu sekembalinya ke tanah air. Di antara mereka adalah KH Ahmad Dahlan, H Abdul Karim Amrullah, H Abdullah Ahmad, Syeikh Taher Jalaluddin, H Agoes Salim, H Muhamad Basyuni Imran, H Abdul Halim, KH Hasyim Asy’ari, dan Syeikh Daud Rasyidi.

Cukup lama Jamil Jambek berguru di Makkah, sejak tahun 1886 hingga pulang ke Ranah Minang pada tahun 1903.

Benturan pertama dan terberat yang dihadapai Jamil Jambek sekembali dari Makkah adalah masalah adat Minangkabau, khususnya hukum waris. 

Menurut ajaran Islam yang diterimanya dari Syeikh Ahmad Khatib, harta pusaka diwariskan kepada anak sendiri dengan ketentuan anak laki-laki memperloleh bagian yang lebih besar dari anak perempuan. Sedangkan adat Minangkabau menggariskan bahwa harta pusaka diwariskan kepada kemenakan perempuan, bukan kepada anak laki-laki.

Jamil Jambek tak bergeming dengan beratnya tantangan adat Minangkabau tersebut. Apa lagi ia tahu bahwa gurunya, Syeikh Ahmad Khatib, telah menulis dua buku berbahasa Arab tentang hukum waris.

Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A’mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.

Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. 

Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A’mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. 

Kitab-kitab lainnya adalah al-Da’il Masmu’fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma’a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru’, Dhau al-Siraj dan Shulh al-Jama’atain bi Jawazi Ta’addud al-Jum’atain.

Ahmad Khatib membuat pernyataan keras terhadap mereka yang menolak hukum Islam. Mereka harus diputuskan hubungannya dan tidak punya hak untuk mendapat pemakaman secara Islami.

Sedangkan tentang praktik tarekat Naqsyabandi di Minangkabau, Syeikh Ahmad Khatib menulis buku berjudul Izhhar Zughal al-Kadzibin (Menjelaskan Kekeliruan Para Pendusta).

Cukup berat tantangan yang dihadapi Syeikh Jamil Jambek dalam meluruskan masalah hukum waris dan ajaran tarikat yang sudah lebih dulu mentradisi di pelosok Ranah Minang. 

Namun metode dakwah dangan bertabligh, atau berpidato di hadapan massa, membuat masyarakat di kampung halamannya cepat mahami apa yang disampaikannya.

Jamil Jambek adalah ulama pertama yang memperkenalkan metode dakwah ini. Sebelumnya, masyarakat hanya mengenal metode berhalaqoh, pengajian dengan duduk melingkar menghadap guru di rumah dan surau-surau.

Ulama Kritis

Syeikh Jamil Jambek juga meninggalkan kebiasaan lama dimana ulama sangat terikat kepada kitab Jawi. Semua pelajaran diberikan dengan cara berdiri di muka umum, diberi keterangan selengkap-lengkapnya dengan metode yang mudah dimengerti.

Dengan metode baru tersebut, Syeikh Jamil Jambek cepat sekali menebar pengaruhnya. Bahkan begitu cepat merangkul banyak pengikut. Dalam waktu singkat ia sudah bisa mendirikan sebuah surau yang digunakan sebagai pusat pergerakan di kawasan Tengah Sawah, Bukittinggi.

Di surau ini Syeikh Jamil secara rutin memberikan pelajaran agama dengan berdiri di hadapan murid-muridnya, dilengkapi papan tulis. Umumnya murid Syeikh M Jamil Jambek adalah orang-orang berpangkat, tuanku, lebai, fakih/orang yang mengerti agama, dan guru.

Selain berdakwah di Surau Tengah Sawah, Jamil Jambek secara rutin turun ke kampung-kampung hingga ke Gadut, Pakan Kamis, dan Tilatangkamang yang pernah menjadi pusat pergerakan kaum Paderi.

Perubahan yang dibawa Syeikh Jamil Jambek tak hanya dalam cara mengajar namun juga dalam hal pemanfaatan ilmu pengetahuan umum untuk kepentingan Islam dan kaum Muslim. 

Ia sendiri telah membuktikannya dengan menguasai ilmu falak. Bahkan, Syeikh Jamil Jambek telah menyusun jadwal waktu shalat. Tak sekadar itu, ia juga telah menerbitkan Imsakiah Ramadhan pada tahun 1911. Inilah imsakiah pertama yang beredar di Indonesia.

Dalam setiap tabliqh akbar, Syeikh Jamil Jambek sering mengeritisi amalan suluk dalam tarekat Naqsyabandi dan segala macam bid’ahnya. Menurut Jamil Jambek, suluk jika tidak hati-hati bisa membuat orang malas.

Awalnya, Syeikh Jamil Jambek lebih suka berdakwah langsung ketimbang berdakwah lewat tulisan. Hanya sekali dia menulis di Majalah Al-Munir yang diterbitkan H Abdullah Ahmad di Padang.

Barulah pada awal tahun 1905, Syeikh Jamil Jambek mulai menulis buku. Di antaranya, buku berjudul “Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan dia"

Buku ini diilhami dari pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat di Bukit Surungan, Padangpanjang. Saat itu Syeikh Jamil secara terbuka menyampailkan kritiknya soal tarekat.

Buku ini terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku ini menyatakan bahwa tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syeikh Jamil Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.

Sikap kritis Syeikh Jamil Jambek juga tertuang dalam buku berjudul “Memahami Tasawuf dan Tarekat yang ditujukan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam".

Pada tahun 1913 (1931?) Syeikh Jamil Jambek merangkul sahabatnya sesasama murid Syeikh Ahmad Khatib, yakni Syeikh Daud Rasyidi, mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT). Ia juga mendirikan Barisan Sabilillah untuk melatih kaum muda mengusir penjajahan kafir Belanda.

Namun, belum genap dua tahun Syeikh Jamil Jambek mengecap era kemerdekaan yang ikut diperjuangkannya, pada 16 Safar 1367 H, bertepatan 30 Desember 1947, Syeikh Muhammad Jamil Jambek dipanggil oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Makamnya masih menjadi saksi sejarah di pekarangan masjid yang pernah menjadi basis perjuangnya.

Masjid yang terletak di jantung kota Bukittinggi itu hingga kini masih bernama Surau Inyiak Jambek.* Dodi

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Tayang di 

https://www.hidayatullah.com/kajian/sejarah/read/2011/12/14/981/syeikh-jamil-jambek-sang-penentang-hukum-adat.html


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Irman Gusman dan Anjadi Gusman Bersama Ibu Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah Sumbar

Senang, Gembira dan Bahagia: Wakaf Prof. Dr. H. Sidi Ibrahim Buchari, M.Sc.