Kisah Prof Dr H Amir Syarifuddin: Ketua MUI dan Anggota MPR
Cerita Buya Amir Syarifuddin Jadi Ketum MUI Sumbar dan Anggota MPR Tahun 1988 - muisumbar.or.id
MUISUMBAR.OR.ID -- Buya Amir Syarifuddin lahir pada tanggal 9 Mei 1937 di Pakan Sinayan, sebuah desa kecil yang terletak di bawah kaki Gunung Singgalang. Daerah ini sekarang menjadi bagian dari Kecamatan Banu Hampu Sungai Puar Kabupaten Agam.
Menjelang berakhirnya masa jabatan jadi Rektor IAIN, Buya Amir mendapatkan dua kehormatan, yaitu menjadi ketua umum Majelis Ulama Indonesia Sumatera Barat. Kedua kedudukan terhormat yang bersifat Politis, dengan level Nasional, yaitu diangkat menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Dalam sebuah kesempatan Buya Amir bertemu dengan Gubernur Sumbar Bapak Hasan Basri Durin di ruang kerjanya. Dia meminta kepada beliau kesediaan untuk menjadi ketua MUI dalam masa jabatan yang akan datang. Buya Amir menyampaikan penolakan secara halus. Di antara ucapan penolakan Amir itu adalah, "Saya khawatir akan menghadapi kebijaksanaan pemerintah yang tidak sejalan dengan sikap saya". Ucap Buya Amir yang dikemukakan karena melihat kepada situasi dilematis yang dihadapi Buya Hamka sewaktu menjadi ketua MUI pusat berhadap-hadapan dengan kebijaksanaan Menteri Agama waktu itu.
Pak Gubernur mungkin menyadari apa yang Buya Amir rasakan dan ia pun berkata : "Itu kan keadaan waktu dulu. Sekarang tidak begitu lagi." Waktu itu saya tetap tidak memberikan kesetujuan saya. Dalam musyawarah daerah MUI Sumatera Barat, baik secara pribadi atau sebagai rektor Buya Amir tidak pernah diundang untuk menghadiri musyawarah tersebut. Saya juga tidak sempat mendengar berita tentang jalannya musyawarah. Selesai Shalat Isya suatu malam, ada yang menelpon saya, kalau tidak salah suaranya Pak Syoerkarni yang menghadiri musyawarah selaku utusan pemerintah Daerah. Di antara ucapan dalam telpon itu ialah: "Pak Amir, Anda terpilih untuk menjadi ketua umum MUI, malam ini juga Anda akan dilantik."
Sikap keberatan sudah Buya Amir sampaikan kepada Bapak Gubernur. Buya Amir sama sekali tidak mengharap menjadi ketua MUI, apalagi untuk itu ia sama sekali tidak hadir dalam sidang-sidang musyawarah untuk berkesempatan menyampaikan ketidakbersediaan sebagaimana Buya Amir berhadapan dengan Gubernur sebelumnya. Namun musyawarah sudah memutuskan mengangkat beliau. Pada saat itu, Buya Amir merasa menghadapi situasi sebagaimana waktu dirinya ditetapkan sebagai Rektor beberapa tahun sebelumnya. Dalam menghadapi tugas ini beliau teringat kata pepatah: "Kalau pasangan sudah di kuduk, tidak ada cara lain menjalankannya". Malam itu juga Buya Amir dilantik menjadi ketua umum MUI Sumatera Barat.
Dalam pidato pelantikannya, Buya Amir menyampaikan beberapa kata di antaranya: "Walaupun saya tidak mengharapkan jabatan ini, namun karena sudah dipilih oleh musyawarah, saya terima jabatan ini. Saya tidak berjanji apa-apa dalam jabatan saya nantinya. Saya hanya akan berusaha berbuat sebaik mungkin". Waktu itu Sekretaris Jendral Departemen Agama, Pak Tarmidzi Taher sedang berada di Padang. Buya Amir tidak tahu apakah beliau menghadiri Musyawarah Daerah MUI itu atau mendengar berita dari mana. Besoknya dalam kesempatan berpidato di depan civitas akademika IAIN, Bapak Tarmidzi Taher mengucapkan selamat kepada Rektor IAIN yang telah dilantik menjadi ketua umum MUI pada waktu itu. Bagi hadirin apa yang disampaikan Sekjen DEPAG itu merupakan suatu kejutan, karena sebelumnya tidak pernah membayangkan yang demikian.
Buya Amir sendiri merasa heran, banyak orang di daerah ini yang pantas untuk menduduki jabatan ketua MUI itu. Banyak orang yang menginginkan dan berusaha untuk itu dengan berbagai cara, tetapi tidak mendapatkan jabatan itu. Ia sendiri sama sekali tidak mengharapkannya karena sudah sibuk dengan jabatan resmi yang ada. Namun bagaimanapun juga, belakangan akan terbukti bahwa pilihan kepada Buya Amir tersebut sudah tepat. (RI)
Komentar