Paradigma Etika untuk Peradaban Utama: Perspektif Kearifan Lokal, Apa yang perlu di Indonesia?




 

Paradigma Etika untuk Peradaban Utama:  Perspektif Kearifan Lokal, Apa yang perlu di Indonesia?

 

Oleh Shofwan Karim Elhuseein, BA., Drs., MA., Dr. Ketua PWM Sumbar 2000-2005; 2015-2020

 

 

 

 

I. Pendahuluan

 

Proses Islamisasi kebudayaan dan peradaban di Indonesia belum selesai. Oleh karena itu kita harus kerja keras terus menerus merumuskan dan membudayakannya. Bukan hanya Indonesia, ternyata hampir di sebagian besar negara mayoritas Muslim, masih berproses.

 

Buktinya seperti Indikator Islamicity yang ditulis Hossein Askari, 2007, 2015, 2017 yang memaparkan bahwa kaum muslimin di berbagai belahan dunia masih tetap belum utuh menjalankan nilai dan aturan Nabi Muhammad saw setelah beliau wafat karena ada penyimpangan memahami al-quran dan sunnah serta kekuasaan yang cendrung korup dan para ulama yang terbawa arus.

 

Buku, Reformasi dan Pembangunan di Dunia Muslim: Indeks Islamitas sebagai Tolok Ukur, 2017 Hosein Askari masih mengutip ucapan Muḥammad 'Abduh (1849 – 11 July 1905) lebih 1 abad lalu, “Saya pergi ke Barat, saya melihat Islam tidak melihat Muslim. Saya kembali ke Timur, saya melihat Muslim, tetapi tidak melihat Islam” .  

 

Sampai 2017, Askari masih tetap menganggap bahwa masalah kemanusiaan, politik, ekonomi dan pembangunan social di negara-negara Muslim yang tergabung dalam OIC masih masalah berat  (terrible).

 

 

Maka Indikator Islamicity itu lebih membudaya di masyarakat  negara-negara non-Muslim dari pada negara-negara Muslim. Negara non-muslim yang mengidikasikan kehidupan lebih Islami itu adalah Swiss, Swedia, Denmark, Norwegia, dan New Zealand. Tentu ukuran etika budaya kerja dan ekonomi dan semua yang dianggap muamalah fi al-dunia. Di luar soal keimanan, ibadah serta hukum-syariah secara lahiriah-lafziyah. 

 

Askari bicara soal kejujuran, kebersihan, tidak korup, kerja keras atau etos kerja, disiplin, kemanusiaan  dan social sebagai  keunggulan negara non-Muslim tadi. Dalam pikian saya, itulah etika dan nilai paradigma peradaban utama, dan kaum muslim belum sepenuhnya mengamalkannya. Padahal itulah Islam yang sebenarnya.

 

Sementara itu ada istilah etika global muncul selama beberapa dekade terakhir. Dalam waktu yang sangat singkat telah ditetapkan sebagai bidang studi yang diakui: ia memiliki pendekatan khusus untuk dilema etis dan beberapa menganggapnya menjadi disiplin akademik yang berbeda daripada bagian dari disiplin ilmu lain.

 

Pertumbuhan dramatis ini berarti bahwa etika global adalah bidang yang menarik karena mereka yang memasukinya berkomitmen untuk berdiskusi, dan yang lebih penting untuk mencari solusi bagi, masalah etika kontemporer yang paling mendesak.

 

Masalah-masalah yang dibahas dalam etika global termasuk “perang melawan teror”, negara-negara jahat, pekerja anak, penyiksaan, migran worker, sumber daya yang langka, perdagangan manusia, geo-sosial migrasi, perubahan iklim, perdagangan global, pariwisata, medis, pandemi global, intervensi kemanusiaan dan terusnya.

 

Etika global tidak hanya topikal - ini adalah masalah yang kita semua khawatirkan - tetapi juga penting. Bagaimana kita menyelesaikan (atau gagal menyelesaikan). Di lema etika global akan menentukan kerangka kerja tata kelola global di masa depan.

 

Ini akan membentuk  kemungkinan hubungan dan peluang semua aktor global, regional, nasional dan lokal. Selain itu, paradigma etik ini bila diarusutamakan serta menjadi anutan common sence  (akal sehat) dan apapun gugus pikir yang diambil sekarang akan mempengaruhi generasi mendatang. Oleh karena itu pengajian PRM sekarang bertajuk Paradigma Etika untuk Peradaban Utama: Apa yang perlu di Indonesia, sangat penting kita bahas.  Saya memantik pengajian ini hanya dari aspek lokal dimana saya hidup sepanjang hayat sampai hari ini,  dengan terlebih dulu menyebutkan soal etika, paradigma utama, aspek lokal Minangkabau dan apa yang perlu di Indonesia.

 

II. Paradigma Etika

 

A.Secara filosofis, etika saya pahami sbg  refleksi filosofis tentang moral. Etika lebih merupakan wacana normatif, tetapi tidak selalu harus imperatif, karena bisa juga hipotesis. Ia  membicarakan pertentangan antara yang baik dan yang buruk, yang di anggap sebagai nilai relatif.

 

B. Etika ingin menjawab pertanyaan “Bagaimana hidup yang baik?”  Jadi etika lebih dipandang sebagai seni hidup yang mengarah kepada kebahagiaan  dan memuncak kepada kebijakan dan terlahir dalam kehidupan sehari-hari. Seperti lebih beretos produktif, lebih jujur, besih, dispilin serta sungguh-sunggu mengejar kebaikan untuk diri, keluarga dan masyarakat bangsa.

 

 

C. Paradigma  utama etika Islam yg selalu disebut sebagai wasathiyah oleh Prof Din dan pengikut mazhabnya terasa perlu ditafsirkan sertra dimanifestasikan  dalam nilai operasional praktis.

 

D. Etika yg saya pikirkan, resapkan dalam hati serta saya amalkan sehari-hari merupakan perpaduan norma dan nilai Islami, lokal dari mana saya berasal dan hidup sejak dulu, sekarang dan termasuk  yg datang dari luar itu berwujud etika global-mondial.

 

E. Kita sudah punya etika  gabungan itu tetapi belum sanggup total memanifestasikannya alias masih lebih banyak potensial, di bawah permukaan atau tenggelam. Oleh karena itu sangat relevan menghidangkan kepada khalayak ramai seperti pengajian ini untuk menggali, mempertahankan dan mengembangkan keunggulan kearifan lokal (local wisdom).

 

Setiap regional, etnis dan local di Indonesia, saya percaya, memiliki kearifan itu. Di sini saya mengajukan etika untuk peradaban utama dari  kearifan lokal Minangkabau.

 

 

III. Minangkabau

 

Minangkabau yang saya maksud di sini bukan hanya lokalitas lama yang membatasi geografis dan social luhak dan rantau di dalam wilayah Sumatera Barat sekarang tetapi di mana saja orang Minangkabau di seluruh  dunia yang tetap hidup dalam pandangan hidup Minangkabau.

 

A. Nilai Dasar Adat dan Islam

 

1. Adat Nan Sabana Adat

2. Adat nan diadatkan

3. Adat Teradat

4. Adat istiadat

 

 

 

B. Adat Nan Sabana Adat.

 Fundamental-ideal-Etika tak Berubah

 

(1)Nilai Etika abadi (Fundemental Value-nilai ideal:  tak lapuk dek hujan tak lakang dek paneh.

(2) Adat basandi sayarak, syarak basandi kitabullah (ABS-SBK). Orang MK, Matrilineal dan Muslim (Prof Din menyebut sejak 25 tahun lalu, 3 M).

(3).  Kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke pengulu, penghulu beraja ke nan Bana, nan Bana berdiri sendirinya. Itulah Al Haq. Allah SWT. Al haqqu minrabbiq, wala takuunan naminal mumtarin

 

 

(4) Alam takambang jadi guru : Akal,  ayat kauniah.

(5) Pandangan terhadap hidup. Hidup berakal, mati beriman. Ingin berbakti meninggal legacy baik. Harimau mati meninggal belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.

 

 

(5). Etika berinterakasi sesamanya: tahu di nan Ampek. Kato mandaki, manurun, mandata dan malereng.

 

(6) Etika kerja:


 a. pandangan terhadap kerja. “hilang warna karena penyakit; hilang bangsa karena tak punya emas”. Martabat akan hilang kalau tidak berprestasi kerja.

 

 (b) rajin dan pruduktif.  “duduak marauik ranjau tagak meninjau jarak ( tidak ada tempat dan waktu yang sia-sia).

 

(c) teliti, validasi, shahih . Mangango baru mangecek. Pikir itu pelita hati.

 

(d) arif  dalam berbuat yg baik jangan sampai, arang abih basi binaso, minyak abih samba tak lamak.

 

(e) pandangan terhadap hidup. Hidup berakal, mati beriman. Ingin berbakti meninggal legacy baik. Harimau mati meninggal belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.


 

C. Adaptable-Changeble-

Aktual Praksis

 

Adalah  3 yang lain

 

2. Adat Nan diadatkan

3. Adat Nan Teradat

4. Adat istiadat

 

Ketiganya sesuai ruang, waktu, kreatifitas baru atau pengaruh dan datang dari luar yg tidak bertentangan atau menafikan (1. Adat Nan Sabana Ada). 2,3,4 itu  disebut adat salingka nagari. Tata kehidupan, upacara perkawinan, silaturrahim dan seterusnya. Semuanya tidak boleh bertentangan dengan yang no. 1 ABS SBK al-Quran dan Al-Sunnah.

 

Yang berubah itu yang disebut adat salingka nagari (adat selingkar negeri) tentang tata hidup sehari-hari yang bersifat budaya dalam upacara-acara perkawinan dan pemberian gelar; ekonomi, pariwisata, pendidikan pergaulan social dan seterusnya . Di sinilah berlaku pepatah adat,

 

a. Di ma bumi di pijak di sinan langit dijunjung. (Adaptasi dengan lingkungan)

b. Mandi dihilia, bakato di bawah bawah. (Rendah hati)

c Tahu di lantai nan tajungkek tahu di ranting yg akan manimpo. (Arif-bijaksana memahami apa yang akan terjadi)

d. Labih marancak-rancak,mengurang sio-sio. (Jangan berlebihan dan jangan kurang-kurangan, sederhana di pertengahan saja).

 

 

 

 

 

D. Keadaan Sekarang

 

1. Sebagian belum mampu nilai tadi ditransformasikan dalam  kehidupan sekarang karena faktor meterialisme-hedonisme, politik struktural dan kultural yg saling beradu.

 

2. Pemahaman agama kurang beraspek filosofis dan keadaban akhlak dan karakter.

 

3. Contoh lingkungan sosial yg belum kondusif

 

4. Paradigma kebudayaan, keadaban tenggelam di tengah arus wacana dan paradigma politik dan ekonomi. Sehingga umat Islam Indonesia belum sempat menempatkaan keadaban sebagai mainstream isu yg aktual dan berkelanjutan.

 

IV. Apa yang perlu di Indonesia

 

A.  Mengarus utamakan paradigma etika utama sebagai hub-pusat jari-jari  kehidupan berbangsa bernegara. Nawacita Jokowi-JK 2014-2019 sudah mulai tetapi sekarang menghilang. Perlu cara baru ?

B.   Puncak kebudayaan daerah seperti pela gendong dari Maluku; hutanabe dari Tapanuli dan lain-lain suku dan daerah Indonesia perlu diarus utamakan.

C.   Pendidikan akhlak dan karakter tidak hanya sebagai kurikulum di sekolah tetapi perlu diinternalisasi dalam kehidupan bangsa secara lebih serius dan tersistematis.

D.   Semua paradigma utama baik tadi harus dimulai dari pemimpin, formal dan informal, pemerintah dan civil society .

E.   Mungkin Al-Islam Kemuhammdiyahan harus direkontruk lagi kurikulum dan apilikasinya  dalam pendidikan Muhammadiyah da system pengkaderan.

 

V.  Kesimpulan dan Saran

 

1. Islam mempunyai pradigma etika peradaban utama yang harus dikembalikan kepada jati dirinya pada komunitas muslim dan menjadi dasar bagi peradaban utama bangsa.

 

 2. Paradigma etika peradaban utama secara fundamental ada dalam  nilai-nilai kearifan lokal dan itu semua ada di setiap etnis, daerah dan regional Idononesia . Minangkabau salah satu di antaranya. Bukankah ada pendapat yang mengatakkan bahwa puncak-puncak kebudayan nasional dapat menjadi kebudayan dan peraban bangsa ?

 

3. Islam yang terbuka tidak berarti nilai-nilai fundamental harus tergerus oleh nilai yang datang dari luar dan seyogyanya pradigma etika Islami tetap menjadi paradigma baru yang selalu disebut Prof Din sebagai post normal itu.***

 

Wassalam dan  Terimakasih, Shofwan Karim.







 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan