Demang Loetan Dt. Rangkayo Maharajo, Mandiri dan Islami
Bedah Buku
Judul Buku: “Demang
Loetan Sang Politisi Volksraad dari
Lereng Merapi”
Editor: Mursyid AM,
Azizah Etek, M. Nazief Etek.
Penyelaras Akhir:
Effendy Hasan
Pengantar (di sampul)
: Prof. Dr. Mestika Zed; di dalam: Maizar Rahman Datuk Rangkayo Maharajo;
Secuil Catatan: Mochtar Naim
Penerbit: Teras,
2016; 263 halaman
ISBN: 978-602-74724-0-2
Oleh Shofwan Karim[2]
Buku, “Demang Loetan Sang Politisi Volksraad dari Lereng Merapi”, mengisi paceklik
diskursus tentang Minangkabau masa lalu yang amat penting untuk masa kini dan ke depan. Tokoh ‘otodidak’
(seperti ditulis Kata Sambutan)[3], Demang
Loetan (1884-1941) menjadi anak zamannya. Ia amat gigih menambah ilmu dan mengasah taji
kemampuan. Setelah berusia di atas 30 tahun di terima sebagai siswa Bestuurschool
Belanda (1919-1921).
Dengan
masuk Bestuurschool, sebenarnya Demang Loetan sudah menjadi tokoh
otodidak-plus. Apalagi sebelumnya Loetan atas inisiatif sendiri belajar di luar
sekolah. Seperti tertulis, “Belajar dari Si Bule”[4]
ternyata bukan hanya tulis-baca Bahasa
Belanda dari guru privatnya yang tidak resmi itu, Loetan juga belajar ilmu yang lain.
Di
dalam buku bahkan disebutkan, Si Bule membarter ilmunya dengan minuman keras
yang dibeli Loetan secara diam-diam.
Ibunya mendapat isu itu, tersulut emosi. Tetapi ketika Sang Kakak Perempuan
menjelaskan, ibunya sepertinya dapat memahami. Di dalam perspektif keberagamaan
sekarang, mungkin yang dilakukan Loetan remaja itu dapt dikategori ‘syubhat’.
Tetapi mungkin boleh juga jatuh kepada
‘darurat’.
Bekal
otodidak-plus itulah yang memompa kemandirian pada masal awal safari kehidupan.
Ia menjadi Kerani Perusahaan Kereta Api, Mantri Kredit, Manteri Controle,
Asisten Demang, Pjs Demang, lalu diangkat sebagai Demang di berbagai wilayah
dan kemudian terpilih menjadi Anggota Volksraad.
Sebelum
menapaki jalan panjang tadi, Loetan,
diangkat kaum dan nagarinya menjadi
Penghulu Kepala dengan gelar Datoek
Rangkayo Maharajo di Batu Palano pada usia 25 tahun, 1909. Selanjutnya dengan
segala dinamikanya, Datoek lolos masuk
Bestuurschool tadi .[5]
Memasuki
sekolah ini, Datoek tidak punya ijazah dan umur sudah di atas 30 tahun. Itu
tidak sesuai dengan aturan. Di sinilah dinamikanya. Datoek berani menulis surat
kepada Gouverneur-Generaal (GG) di Bogor meminta perhatian supaya dirinya dapat
masuk ke Bestuurschool tadi. Dengan alasan sudah 10 tahun bertugas di
pemerintah, dapat tulis-baca dan bercakap-cakap dalam Bahasa Belanda.
Di
dalam seleksi, semua pertanyaan bisa dijawabnya. Ditambah rekomendasi dari Gouverneur General tadi.
Datoek lolos masuk sekolah bestuur yang waktu itu, tentulah amat bergengsi.
Tafsir genre kritis merepleksikan kepada kita zaman sekarang, bahwa Datoek tidak
pasrah.
Kalau
boleh kita menyebutnya, Datoek menganut
apa yang disebut sebagai teologi (akidah) kebebasan berkehendak dan usaha di
tangan manusia yang disebut aliran qadariyah atau free-will bukan teologi keterpaksaan menerima saja takdir atau jabariyah,
predistination. Yang pertama, mengedepankan pentingnya usaha,
af’al al-‘ibad, kasb insan (ikhtiar sang hamba abdi Tuhan, upaya manusia). Yang kedua, membuat sikap menerima apa
adanya saja .
Loetan
dalam kontek ini menjadi manusia pro-aktif. Manusia harus giat mencari dan
mengubah keadaan. Tidak hanya bergantung kepada nasib. Tidak menyerah kepada
yang terjadi begitu saja. Boleh jadi Datoek,
membaca atau mungkin mendapat inspirasi dari
QS, Al-Ra’d, 13:11. “Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.
Berkarir di masa kolonial Belanda, di masa 3
dekade awal abad ke 20 lalu, tentu tidak
mudah. Seperti disebut tadi, mulai dari
kerani di Jawatan Kereta Api di Koto baru dan seterusnya menjadi Ambtenar dan
Demang berkali-kali di berbagai tempat hingga menjadi anggota Dewan Rakyat
“Volksraad” untuk Sumatera, Datoek adalah tokoh yang liat dan ulet. Pengalaman menjadi birokrasi kemudian politisi atau bahasa sekarang eksekutif dan
legislatif, tentulah amat sering mengalami uji nyali.
Lebih
dari itu kemandirian, amatlah menentukan. Berturut-turut setelah di Koto Baru, Datoek bertugas di Fort
De Kock, Painan, Payakumbuh, Suliki, Kinali, Saroeaso, Maninjau, Candung IV Angkat,
Matur, dan Batang Hari, dalam berbagai status dan fungsi jabatan, niscaya telah
mengasah akal, naluri, insting dan kebijakan Sang Datoek. Betapapun masa itu adalah zaman penjajahan
Belanda, sebagai Ambtenar, Mantri dan Demang dan selanjutnya anggota Volksraad,
pastilah Datoek kita ini menghadapi
rakyatnya ke bawah dan pemerintah
Belanda ke atas pada poisi yang tidak nyaman. Apalagi secara horinsontal tak
kepalang tanggung Datoek juga menhadapi persaingan dengan Demang lain dan
Politisi lain. Pada hal-hal tertentu, boleh kita mengutip Buya Hamka yang
ketika menjabat Ketua MUI Pusat, mengelurkan fatwa yang bertentangan dengan
kemauan pihak lain, mengistilahkan
keadaan itu sebagai kuwe bika. Di atas ada api
dari bawahpun ada api. Dalam kasus Datoek ini , dari samping, muka dan belakang juga ada api[6].
Merujuk
kepada judul Buku, editor nampaknya mampu menggoreskan kisah dengan apik. Sebagai Demang dan kemudian Politisi, Loetan
Datuk Rangkayo Maharajo, boleh disebut sebagai tokoh yang mumpuni di zamannya. Sebagai
Demang, tokoh ini telah digambarkan melakukan beberapa karya kepemimpinan dan
pembangunan yang memadai. Di antaranya ketika menjadi Demang Matur membangun waterleiding[7].
Waktu bertugas sebagai Demang Batang Hari,
beliau membangun irigasi Padang Tjandi, 3 km Sungai Mimpi[8]
Pergulatan
perjuangan untuk terpilih menjadi anggota
Volksraad (1924-1927), cukup seru. Loetan Datoek Rangkayo Maharajo mampu
menyisihkan tokoh sekaliber petahana Volksraad sebelumnya Abdul Muis. Jauh
memperolah suara di atas Landjumin Datoek Toemenggoeng, Darwis Datoek
Madjolelo, dan Dr Hakim [9]
serta puluhan lainnya.[10]
Sang
Politisi ini mengalami goyangan lagi. Meski menang dalam pemilihan tetapi oleh
berbagai pihak lain tidak dianggap sebagai mewakili Minangkabau, cukup mewakili
partainya PEB. Sikap pro PEB dan memang
beliau dari PEB, mendapat kritik keras dan pedas dari Abdul Muis dan pembelanya,
dari Soeroso, dari H Agus Salim , dari Tan
Malaka dan berbagai pihak di Minangkabau[11]. PEB
adalah perkumpulan atau partai yang bersifat pluralistik-majemuk.
Memperjuangkan semua kepentingan bukan hanya orang Eropa malaha segala bangsa,
Bumiputra penduduk asli, Arab, Tiong Hoa, Arab dan Keling. PEB merupakan wadah
memperjuangkan kepentingan Bumiputra apa yang menjadi haknya. PEB berhaluan
supaya bangsa Belanda berjabat tangan dengan Bumiputra. PEB bukan hanya untuk
bangsa Belanda tetapi untuk semua.[12]
Kritikan-kritikan,
bahkan yang paling pedaspun ditanggapi Sang Politisi dengan tenang dan kepala
dingin. Ibarat srigala menggonggong, kafilah tetap berlalu, Datoek Rangkayo
Maharadjo memilah dan memilih isu yang perlu ditanggapinya. Sebagai anggota Volksraad, ibarat ucapan Amin
Rais pada beberapa tahun lalu, Sang Politisi ini seakan menjalankan apa yang
disebut sebagai “high politic” (politik tinggi). Pada sisi lain, Sang
Politisi seperti mengarifi pepatah: “Tidak tiap-tiap gayung
disambut. Tidak tiap-tiap kata dijawab”. Atau: “Siangi ladang awak, baru siangi
ladang orang.”
Alih-alih,
dari pada meladeni ketidak senangan pihak lain di Minangkabau kepada dirinya,
Sang Politisi Loetan Datoek Rangkayo Maharajo terus menyuarakan kata hatinya dalam pidato-pidatonya di Volksraad
membela rakyat secara keseluruhan dan termasuk Minangkabau.
Di
antaranya tentang pendidikan budi pekerti di kalangan bumiputra amatlah buruk,
katanya, “ Mendidik tidaklah saja memberi pengajaran tentang hal sekolah, tidak
juga membuat examen, melainkan bermula mendidik budi pekerti.” Selanjutnya, “ ….di
kalagan bumiputra pendidikan ini yang kurang, ….“ ….”karena itu bumiputra tidak
dapat berlomba-lomba dengan Eropa, Tiong
Hoa dan Arab.
Apa
yang dapat direkonstruksi dari pernyataan itu, antara lain, Sang Politisi
Demang Loetan seakan mengingatkan akan
inti misi utama ajaran Islam yang
dianutnya. Sebagai yang sudah populer
Sabda Nabi Muhammad saw., “ Sesungguhnya
aku di utus ke permukaan bumi ini adalah semata-mata untuk menyempurnakan
semulia-mulia akhlak.”
Untuk
budi pekerti atau akhlakul karimah yang dimaksud tidak semata-mata sebagai tata
susila, tata krama, tata-busana dan tata-boga, lebih dari itu, menjadi etos
kerja yang rajin, jujur, ulet, kreatif, innovatif dan insiatif. Itulah mungkin maksud Sang Politisi ini
membandingkan Bumiputra dengan bangsa asing tadi.
Mafhumnya
bahwa akhlak atau budi pekerti bukan dalam pemahaman tradisi tetapi di dalam
konteks moderen untuk masa itu. Sebagai seorang putra dari Inyiak Bateh Koto
Baru Syekh Mohammad Ismail, tentulah beliau menerima warisan ilmu, moril dan
kearifan.
Sang
Ayah, tokoh agama dan guru yang amat disegani masa itu, menurunkan Islam yang
produktif dan kreatif kepada murid-muridnya. Membekas kepada saudagar dan
pedagang di Kota Baru. Lebih-lebih lagi aura Islami penuh hikmah mengalir ke pembuluh
darah Demang Loetan Sang politisi Volksraad dari lereng Marapi ini. Wa Allah a‘lam bi al-sawab. ***
[1] Bedah Buku, “Demang Loetan Sang
Politisi Volksraad dari Lereng Merapi”, Yayasan Proklamator Bung Hatta,
Padang, 9 Agustus 2017.
[2]
Shofwan Karim adalah Dosen IAIN, sekarang UIN Imam Bonjol Padang dan Ketua PW
Muhammadiyah Sumbar. http://www.wikiwand.com/id/Shofwan_Karim_Elha
[3] Hal. xi
[4] Hal. 43-45
[5] Hal. 70-75. Bestuurschool (Sekolah
Pemerintahan, kira-kira APDN, STPDN, IIP di masa Indonesia merdeka ?)
[6] “Lah Lego Kabau Sakandang”. Hal. 103-107
[7] Hal. 15
[8] Hal. 253.
[9] Hal.
79-87.
[11] Hal. 103-107.
[12] Hal. 212-214.
Komentar