Memo, 7 Feb 2017: Akhlak Terhadap Kerabat Kafir-Musyrik
Memo, Shofwan (Padang, 7 Feb 2017)
Akhlak Terhadap Kerabat Kafir-Musyrik
Oleh Shofwan Karim
Bagaimanakah seorang muslim menghadapi seseorang yang amat dicintainya tetapi tidak beriman kepada Allah. Tidak pecaya kepada rasul-Nya, kepada kitab-kitabnya, kepada malaikat-malaikat-Nya, kepada hari Akhir, kepada qadha dan qadar?. Apa lagi menjadi muslim, orang yang dicintai itu tidak merespon sedikitpun. Jauh panggang dari api.
Tentu saja dakwah,seruan, ajakan harus dilakukan. Akan tetapi bila ditolak, baik dengan lembut maupun dengan kasar, seorang muslim mesti menunjukkan kapasitas kepribadiannya yang tinggi, berkarakter, brakhlak, berkeadaban dan beretika.
Contoh akhlak dan etika itu diperlihatan oleh Nabi Ibrahahim AS. Ia menunjukkan etika yang santun, tetapi tegas dan rasional kepada orang yang terdekat dengannya, ayahnya sendiri. Meski ayahnya menolak ajakan, dakwah dan wacana serta pemikiran yang rasional darinya. Hal itu dilukiskan Quran Surat Maryam (19): 41-50 .
Ceritakanlah [hai Muhammad] kisah Ibrahim di dalam Al Kitab [Al Qur’an] ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan (cepat menerima kebenaran dari Allah) lagi seorang Nabi. (41)
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun? (42)
Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. (43)
Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. (44)
Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan". (45)
Berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". (46)
Berkata Ibrahim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (47)
Dan aku akan menjauhkan diri daripadamu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku". (48)
Maka ketika Ibrahim sudah menjauhkan diri dari mereka dan dari apa yang mereka sembah selain Allah, Kami anugerahkan kepadanya Ishaq, dan Ya’qub. Dan masing-masingnya Kami angkat menjadi nabi. (49)
Dan Kami anugerahkan kepada mereka sebagian dari rahmat Kami dan Kami jadikan mereka buah tutur yang baik lagi tinggi. (50)
Di dalam skenario tadi kelihatan bahwa antara Ibrahim sebagai representsi mukmin-muslim, dan ayahnya representasi kafir-musyrik ada etika.
Kedua pihak mengajukan petisi dan testemoni. Meski saling berlawanan tetapi akhlakul karimah tetap mengalir dalam prilaku keduanya.
Ketika mengajak, Ibrahim tidak memaksa. Dan ketika menolak, ayahnya pun tidak memaksa. Hanya memberikan peringatan dirajam atau menjauh.
Ternyata Ibrahim tidak memilih yang pertama, dirajam. Padahal tentu ada logika yang mengatakan, ini jihad, karena itu biarlah aku dirajam oleh ayahku.
Di dalam pilihan menjauh, Ibrahim tidak pasif. Ia tetap aktif. Ia memintakan ampun kepada Allah atas sikap ayahnya. Ibrahim tetap mendoakan ayahnya dan barharap doanya tidak mengecewakan. Dan doa ini dapat dikiaskan sebagai upaya terakhir Nabi Ibrahim dalam mengajak ayahnya.
Rupanya doa, sama pentingnya dengan ihktiar lain untuk meyakinkan pihak yang diajak. Allah al-a’lam bi al-shawab. ***
Komentar