Riki tentang Buya Prof AS Maarif: Mengasah Taji Minang
Mengasah Taji Minang
Oleh riki dhamparan putra
“Agar engkau kelak menjadi Orang, anakku”
(Minang)
Seingat
saya, memang agak jarang nama Minang dihubungkan dengan kata taji. Yang agak
dekat bunyinya ada sebuah lagu pop Minang, judulnya Mak Taci. Liriknya antara lain ginyang bana Mak Taci
adok ka mudiak, sirawa lapang Mak Taci, baju lah cabiak. Jelas itu adalah
nama orang, bukan taji seperti judul tulisan ini. Kalau dipaksa juga
mencari-cari, memang ada beberapa kata di Minang harus menyertakan taji supaya
ada pengertian, misal tajilapak, tajirambau, tajirangkang, tajilek, tajingau.
Namun itu bukan taji yang dapat berdiri sendiri, melainkan sekedar huruf belaka
untuk menggantikan awalan ta atau
ter jika dalam bahasa Indonesia. Jumlahnya pun seingat saya memang hanya
pada kata barusan. Hingga bisalah
dikatakan, kata taji di dalam bahasa Minang memang hanya menuju satu benda,
yakni taji seperti yang terdapat di kaki seekor ayam jantan. Maka untuk orang
Minang, tak ada taji kecuali taji ayam.
Soal
kita di sini adalah Taji Minang, yakni sebuah istilah yang saya pungut dengan
sedikit kreatifitas dari sebuah artikel Ahmad
Syafii Maarif (Buya Syafii) perihal “ABS-SBK-AM-SM” di dalam rubrik
resonansinya di Harian Republika. Tulisan itu meski pun blak-blakan,
intinya hendak mendorong semangat Urang Awak menemukan kembali Keminangannya
yang lebih prinsipil, jujur, adil, futuristik, dan dapat diukur dengan
parameter aktual.
Persisnya
ia tidak menggunakan kata Taji Minang, melainkan kalimat “..ternyata taji ABS-SBM-SBK-AM sudah
tidak tajam dalam menghadapi penyakit sosial..”. Dengan sedikit kreatifitas,
daripada saripati kalimat-kalimat itu, jadilah istilah ini: Taji Minang. Kita
sebut Taji Minang, bukan taji adat atau taji syarak, lantaran orang Minang
(terutama elitnya) terbiasa dan bangga mengidentifikasi Keminangannya dengan
kedua unsur itu sekaligus; adat dan syarak. Kedua, memang lebih tepat
perkataan Taji Minang, karena adanya
perkataan itu memberi kedudukan yang lebih alamiah pada kata adat dan syarak
yang sesungguhnya hanyalah kaki dalam dinamika budaya Urang Awak. Kalau
demikan, di manakah ‘rahim’ daripada Minang itu sejatinya? Tempat Bunda
mengandungkan harapan untuk melahirkan si buyung dan si upik yang akan berlaga
di gelanggang kehidupan demi membangkit batang terendam kelaknya?
Identitas
budaya ABS-SBK di mata Buya Syafii tak lebih dari kebanggaan semu, karena telah
lama terjadi ‘pecah kongsi’ antara laku masyarakat dengan kandungan falsafah
ABS-SBK’ yang mereka junjung itu. Ukurannya adalah semua gejala kemasyarakatan
yang sedang terjadi, yang ternyata bertentangan dengan adat, syarak, dan
Kitabullah orang Minang itu. Oleh karena Buya Syafii telah cukup gamblang
mengurai bukti-bukti pecah kongsi itu, di sini tidak akan diulang lagi. Apa
yang menjadi fokus tulisan ini adalah duduk perkara Taji Minang di dalam
imajinasi budaya, yakni imajinasi Urang Awak, yang tumbuh dari pokok yang
paling pokok dari relung budaya Minang itu, yaitu falsafah alam takambang
jadi guru.
Dalam
artinya yang paling sederhana, alam terkembang jadi guru mengajarkan orang
untuk agar senantiasa mengambil hikmat dari peristiwa demi peristiwa
keseharian. Antaranya, orang malas akan susah hidupnya maka diambil itu jadi
pelajaran. Kalau sombong dicibir orang, tidak sekolah tidak berilmu, durhaka
pada ibu jadi Malin Kundang, pakai narkoba masuk penjara, korupsi ditangkap pak
jaksa, dan semacam itu. Berlaku di sini kata-kata ambil contoh pada yang
sudah, ambil tuah pada yang benar. Keunggulan falsafah ini karena
bisa dipraktekkan oleh siapapun, kapanpun.
Alam
terkembang jadi guru juga merangsang munculnya ghirah hidup kebudayaan.
Kata indigen yang lebih tepat untuk ghirah ini adalah sumangek, yang
dapat menjelma etos, kesadaran, dan juga daya laga. Orang kampung saya
contohnya, banyak dari orang tua kami dahulu tidak memiliki pendidikan yang
baik seperti generasi sekarang. Nenek saya dua-duanya (dari pihak ibu dan ayah)
tidak mengecap bangku sekolah, dan memang tidak ada sedusun kami di kaki Bukit
Barisan itu orang tua-tua yang sekolah
kecuali sampai sekolah internat. Tapi berkat falsafah alam terkembang jadi guru
itu, mereka habis-habisan berupaya supaya anak-anaknya bisa sekolah. Mereka
menjunjung getah berpuluh kilo beratnya dari bukit-bukit yang tinggi demi
anaknya, bersiang di sawah orang, mengerjakan segala pekerjaan yang
berat-berat. Tidak sedikit pusaka yang telah tergadai demi generasi baru bisa
mencapai pendidikan yang lebih tinggi. Semua itu mereka lakukan karena mereka
tau ada kekurangan pada diri mereka yang tak ingin mereka wariskan pada
anak-anak mereka. Proses seleksi alamiah pada manusia, mengajarkan pada mereka
bahwa lebih baik orang sekolah daripada tidak sekolah.
Menjadi Orang
Seleksi
alam, dapat dianggap sebagai salah satu cara
falsafah alam takambang jadi guru menunjukkan kekuatan waktu pada manusia. Hal ini absolut sifatnya,
memaksa. Tetapi nilai kontemplasinya terletak pada tujuan yang mudah dimengerti
di balik seleksi alamiah itu. Pada orang kampung saya (dan urang awak umumnya),
pengertian itu terekspresikan dalam bahasa yang otentik, yang menurut saya
layak dianggap sebagai bahasa budaya karena telah menjadi ekspresi dan
pengertian umum.
Mengapa
mereka jungkir balik bekerja keras menyekolahkan anak-anak mereka, tiada lain
supaya anak-anak mereka Menjadi Orang. Mengapa ada anjuran agar orang muda
merantau, tak lain supaya Menjadi Orang. Mengapa harus tahu mengaji Qur’an,
supaya Menjadi Orang. Di sini, pengertian Menjadi Orang tidak sama artinya
dengan menjadi insinyur, menjadi dokter, menjadi wali nagari, menjadi ustad,
menjadi pengusaha. Menjadi Orang kalau demikian bukan kata profesi, tapi kata
substansi dan esensi.
Pada
moment ini, teringat saya perkataan Buya Syafii dalam sebuah artikelnya di
harian Republika, ketika ia mengkritik Urang Awak kontemporer yang begitu
ambisius mengejar hidup profesional dan kekayaan sehingga lupa Keminangannya.
Menurut saya itu adalah kritik yang sangat mendasar, karena hakikatnya
kehidupan profesi bukanlah tujuan utama dalam imajinasi budaya orang
Minangkabau sebagaimana kita gambarkan di atas. Keminangan akan ditentukan oleh
sejauh mana orang Minang memahami dan mencapai tujuan terbesarnya, yakni untuk membuat setiap orang menjadi
Orang.
Tetapi
apakah Orang? Pertama, marilah kita lihat seberapa otentik pengertian
kata Orang ini di Minang. Orang di dalam imajinasi urang awak, merupakan
suatu keadaan yang tercapai sifatnya. Itu merupakan kata yang sudah utuh
sebagai makna, tapi belum menjadi peristiwa selama upaya untuk menjadi Orang
itu tidak dilakukan dengan sepenuh daya. Seperti tinta yang belum dituliskan,
Orang di sini adalah entitas yang harus dijapuik agar bisa menjadi
huruf-huruf.
Proses menjemput makna untuk menjadi
Orang inilah yang kita sebut proses budaya. Sebuah proses yang digambarkan
secara baik sekali dalam ungkapan “mambangkik batang tarandam’ di mana
cita-cita ditaruhkan, perjuangan dijalankan. Semua itu tentu memerlukan ilmu pengetahuan,
sumberdaya, kerja keras, ghirah dan
semua yang disediakan oleh falsafah ‘alam takambang jadi guru’ pada kita.
Saya
berpendapat, belum ada kata ‘Insan’ datang ke Minangkabau, ketika kata ‘Orang’
sudah digunapakai dalam semangat dan filosofi di atas. Dengan kata lain, Orang
merupakan kata yang otentik, lahir dari rahim alami manusia dan alam
Minangkabau, melandasi serta berkembang dalam ragam filosofi yang datang
kemudiannya. Hal ini perlu kita
tegaskan, untuk meyakinkan diri bahwa hakikatnya, orang Minang itu bisa
mencapai sinaran kebudayaannya dari apa yang sudah mereka miliki.
Kedua, kata Orang juga mengandung
konsekwensi adanya entitas lain, yakni Bukan Orang. Seseorang baru dikatakan
telah menjadi Orang apabila wawasan, praktek, dan kreatifitas kesehariannya
dipandang memenuhi syarat-syarat yang disepakati masyarakat tentang apa itu
Orang. Hal ini dinamis sifatnya. Tergantung pada perkembangan wawasan
masyarakat itu dalam menetapkan ukuran-ukuran ideal berdasar capaian sosial
budayanya.
Namun
yang lazim dalam pergaulan sosial, menjadi Orang itu erat hubungannya dengan
kemampuan seseorang menerapkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, etis dan moral.
Sumbernya bisa beragam, Islam, Barat, atau dari petuah nenek moyang yang masih
tersisa dan masih dijalankan, yang semua itu diserap melalui kesadaran dalam
falsafah alam takambang jadi guru.
Ada
bahasa sehari-hari yang acap terdengar menggambarkan perihal ini. Misalnya,
ketika menegur seseorang dengan cara keras: Lai urang juo inyo itu, bilo ka
manjadi urang, ndak urang waang ko doh, engkau ni urang atau urang-urang.
Cobalah kita perhatikan, kata urang pada kalimat-kalimat itu selain negatif
maknanya, juga telah mereduksi kata Orang itu sendiri. Sama seperti kata dubilih,
setan, kalerahaba, kambuik, hantubalau
yang prinsipnya menghilangkan dimensi Keorangan dalam diri seseorang.
Kalau demikian, memang berat menjadi Orang di Minangkabau itu. Mentang-mentang
kita memakai seroban Arab, belum tentu kita dianggap Orang. Mentang-mentang
kita penyair, belum tentu Orang. Apakah kita dokter, ekonom, antropolog,
anggota dpr, youtuber, anggota MUI Sumbar, tidak menjamin kita telah menjadi
Orang.
Tempat Adat Dan Syarak
Harapan
saya, melalui penjelasan tentang otentisitas falsafah Orang ini, dapatlah kita
memahami bagaimana orang Minang mengungkapkan pribadi dan cita-cita kebudayaannya.
Khususnya dalam cara memuliakan hakikat manusia sebagai fondasi dan tujuan dari
pengembangan moral budaya, cita-cita dan kreatifitasnya. Ini mengandung makna,
seluruh tatanan formal (adat, agama, politik, pendidikan) yang dikembangkan
kemudian, mesti berbasis pula pada Pemuliaan Manusia, atau pada pentingnya
Orang menurut pengertian yang alamiah di Minangkabau itu.
Barangkali,
bagi kalangan yang suka berpikir formal akan keberatan dengan pengertian ini,
lantaran terkesan adat dan syarak sebagai pendamping belaka untuk melengkapi
wawasan otentik tentang Orang itu, yang berangkat dari kesadaran untuk memuliakan
Manusia. Padahal tidaklah demikian maksud kita. Pertama, tentang adat.
Adat di Minangkabau tidak satu definisinya, melainkan tergantung pada bahasa.
Contoh, adat dalam arti kelaziman, berbeda dengan arti adat saat diungkapkan
sebagai aturan-aturan komunitas. Adat dalam arti kelaziman tidak harus berupa
perbuatan manusia, karena biasanya digunakan untuk menjelaskan sifat-sifat
alamiah dari benda dan alam: adat api membakar, adat air membasahi, adat
mandi berkecimpung, adat muda bermain hati, dst. Kadang-kadang orang
mengatakan, adat jenis ini adalah adat nan sabana adat, tidak lapuk di hujan
tidak lekang di panas, tidak dapat diubah.
Sementara
adat dalam arti aturan terjadi sebagai hasil dari konsensus (adat istiadat), di
mana perbuatan manusia menjadi intinya. Contohnya adat berkawin mawin, adat berkunjung
ke rumah orang, adat berbahasa, adat berkaum, dst. Lainnya, ada juga yang
menambahkan tipe adat nan diadatkan, sebagai respon atas
kebiasaan-kebiasaan baru yang timbul di tengah masyarakat yang tidak sesuai
dengan pikiran adat sebelumnya.
Dalam
kenyataan dan prakteknya, adat istiadat dibangun dari persepsi ruang yang lebih
sempit dan terbatas, yakni selingka nagari. Lebih tepatnya mungkin selingka
kaum. Tidak ada adat Minang, yang ada hanyalah hanyalah adat yang diamalkan di
suatu kampung dengan cara-cara dan pengertian yang berbeda di setiap kampung.
Tiap-tiap upaya untuk menggeneralisasi adat, baik dalam pengertian dan praktek,
pada dasarnya lahir dari wawasan yang tidak mendalam perihal Minang itu maupun
dari suatu niat politik yang negatif, yang hendak menegasikan kekayaan kultural
yang tersimpan di ruang hidup alam dan manusia Minangkabau.
Pertanyaannya,
jika demikian fakta adat itu, darimana datangnya pikiran urat tunggang yang
mengatur adat? Bukankah itu tidak realistis dan terlalu mengada-ada? Kecuali faktor kekuasaan (kalau bukan
ketidaktahuan), tidak ada referensi yang dapat membenarkan keberadaan pikiran
tentang urat tunggang ini.
Elit
Minang yang berpikir sepeti urat kelapa sawit ini biasanya mengembangkan dalih mereka dengan
mengatakan adanya agama yang satu di Minangkabau, yakni Islam. Sehingga
lahirlah ungkapan adat basandi syarak. Dan dikatakan itu sebagai pokok dari
Keminangkabauan secara keseluruhan. Tetapi mereka lupa, syarak tidak pernah
satu ekpresi sepanjang sejarah keberadaannya di ruang hidup manusia di mana
pun.
Syarak
itu justru memperkaya dan diperkaya oleh keragaman ekspresi dan kepelbagaian
cara-cara suatu masyarakat merespon dan menginterpretasinya di ruang hidup
mereka masing-masing. Apakah misalnya hubungan syarak dengan kebiasaan
menyembelih kerbau di hari pengangkatan penghulu? Jawabnya tidak ada. Apa hubungan syarak
dengan ‘baju pusaka korong’ yang harus ada dalam adat pengangkatan Datuk suatu
suku? Jawabnya tidak ada. Apakah syariat fiqh mengatur tata cara mengantar
minyak sebagai kebiasaan tradisi suatu kampung ketika seorang bayi
lahir di suatu kampung? Jawabnya tidak ada. Lalu darimana datangnya pikiran
adat basandi syarak itu?
Bukan
maksud kita mengabaikan perhubungan syarak dengan adat di ruang hidup orang
Minang itu. Sebaliknya, kita katakan malah sangat kuat, tetapi perwujudannya
tidaklah di dalam arti yang formal sebagaimana dipahami oleh elit Minang yang
gandrung berfalsafah urat tunggang. Melainkan dalam arti yang resonan, yakni
sebagai getaran kesadaran yang dijelmakan secara berbeda-beda di ruang
keseharian, bersifat salingka kaum, salingka nagari.
Di
dalam getaran kesadaran itulah nilai Orang atau pemuliaan pada Manusia
ditinggikan setinggi-tingginya untuk dicapai sebagai tujuan bersama, dan
diterapkan dengan ekspresi yang beragam-ragam dalam diri setiap manusia Minang,
setiap orang. Maka dimanakah kita menemukan Keminangan yang mengandung adat dan
syarak itu, jawabnya adalah di dalam diri setiap orang yang sadar tujuan
hidupnya menjadi Orang. Bukan tujuan untuk menjadi penguasa. Dan sejauh ini,
masyarakat Minang telah membuktikan diri mereka mampu mempertahankan getaran
kesadaran tersebut tanpa perlu menjadikannya platform formal.
Mengapakah
orang Minang dari dulu tidak mendirikan Sarekat Islam di Minang, mengapakah
surau-surau pada masa dulu tidak diberi nama Arab, jawabnya karena itu tidak
perlukan. Tetapi jelas, Islam dengan kesadaran pada pemulian hakikat manusia
itulah yang membimbing mereka, bukan saja saat sembahyang di surau, melainkan
juga saat pergi merantau mengarungi laut sati rantau batuah, mengayuh biduak
upiah ke Betawi, atau bersampan doa dan cita ke Chicago.
Tidak
ada keberatan Syarak di dalam hal ini, karena para ahli yang mengetahui perihal
syarak itu telah mengatakan pada kita, bahwa Syarak diturunkan untuk memuliakan
manusia. Suatu makna yang ditangkap sebagai kilatan falsafah dalam bahasa Ibu
kita yang paling menggetarkan : untuk menjadikan engkau Orang.
Kesadaran
semacam itulah yang menurut hemat kita yang telah mendorong orang-orang Minang
selama ini begitu pandai menyesuaikan dirinya dengan jaman, membawanya menatap
ke moeka kalau menurut istilah Buya Hamka, sekaligus mengasah taji
kemanusiaannya dengan berpartisipasi dalam berbagai ruang dan waktu. Berdasarkan ini, tak salah jika Buya Syafii
ngotot memperingatkan kita agar berteladan kepada figur-figur Minang yang
paling populer: pada Bung Hatta, Sjahrir, Tan Malaka…Sebab memang mereka telah
menunjukkan ‘Taji Keminangannya’ dengan cara berpartisipasi di ruang peradaban
dan kemanusiaan. Berpartisipasi sebagai Orang, sebagai manusia, untuk
kemerdekaan dan kemuliaan manusia. Bukan sebagai budak spritual yang gemar
merayakan kedangkalan dan formalisme.
06/05/2021.
Komentar