Esa Hilang Dua Terbilang



Komentar Singgalang:

 

Esa Hilang Dua Terbilang

 

Oleh Shofwan Karim

 

Published by Harian Singgalang, Rabu 12 April 2017. 


Tentu saja lelaki 60-an tahun itu senyum dan bersyukur  membaca induk berita halaman pertama Harian Singgalang, Selasa, 11 April 2017 kemarin.  

 

Teman yang terpaut usia hampir dua dasawarsa di bawahnya menghiasi halaman koran ini.  Prof. Dr. Saldi Isra, SH., MPA dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Hakim Mahakamah Konstitusi (MK).

 

Bagi lelaki ini bukan Saldi yang menjadi titik pikirannya. Tetapi kondisi kejiwaan masyarakat dan warga Minang yang di kampung dan di rantau, itulah yang membuat dia tersenyum dan sekaligus bersyukur.

 

Di tengah badai kejiwaan kolektif etnis Minang yang terjepit dan meleleh akhir-akhir ini, Saldi menjadi setitik lubang yang ditimpa cahaya dalam sebuah kamar yang gulita.

 

Ini bukan berarti  menapikan nama-nama lain yang mungkin masih ada di belantara jagad republik ini mempunyai prestasi dan prestise seperti Saldi. Tetapi keadaan jiwa masyarakat dan warga ranah Minang sejak hampir 2 tahun ini galau tak alang kepalang telah mendapat siraman sedikit air yang menyejukkan.

 

Di lepau, di café, dan di sudut-sudut palanta, bagai  bunyi nyamuk menderu suara bising menyesali diri karena satu persatu tokoh Minang yang selama ini dianggap menjadi ikon bahkan mascot, dicokok berbagai persoalan.

 

Tidak usahlah menyesali diri berkepanjangan. Tegakkan kepala dan atur siasat dan strategi lagi.

 

Saldi, dia anggap unggul dalam hal siasat dan strategi ini. Tak lama setelah Saldi diangkat menjadi Komisaris Utama (Komut) PT SP, dia diberi tahu tidak sengaja oleh Saldi, bahwa dirinya mungkin tidak akan lama menjadi Komut PTSP.

 

Mendengar kata-kata itu, dia seakan sudah mendapat angin bahwa Komut hanyalah langkah pertama Saldi memasuki wilayah beban tanggungjawab kenegaraan di luar tugas pokoknya sebagai Guru Besar di Unand.

 

Sejak masa awal reformasi, Saldi adalah anak muda yang vokal. Dia masih ingat di Masjid Tqwa Muhammadiyah, bersama pemuda Muhammadiyah pada pasca awal reformasi, pada tahun 1999 dan 2000, Saldi keras berkata kritis soal korupsi.

 

Apalagi waktu itu, ada kasus yang dikenal dengan korupsi berjamaah.  Saldi mendapat tekanan. Bahkan singkat cerita, Saldi hampir tidak mau lagi dekat dengan komunitas yang semula menjadi tikar awal namanya dikenal. Bukan karena apa-apa  tetapi komunitas itu sudah mengucilkannya karena  ada pihak tertentu yang amat tersinggung oleh vokalnya suara Saldi waktu itu.

 

Dan Saldi memang ibarat pepatah esa hilang dua terbilang. Dia tekun berkonsentrasi  bukan lagi dengan cara lama tetapi dengan pedang ilmu dan analisisnya Saldi menjadi penulis “kondang” di media nasional.

 

Tulisannya ditunggu untuk dibaca di koran lokal dan nasional. Suaranya dinanti di forum-forum nasional. Bahkan selama hampir dua minggu beberapa tahun lalu Saldi berkeliling Amerika atas undangan ngeri itu menjajakan betapa korupsi harus diberantas di negerinya.

 

Dan jangan lupa, meski tidak ada yang menghujatnya, di Sumbar Saldi dianggap oleh pihak pemenang Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pihaknya pada Pilpres 2014.  Dan tentu turut  merasakan betapa Jokowi-JK kalah di Sumbar. Markas Besar Tuah Sakato Pemenang Pilpres Jokowi-JK yang berkantor di pertigaan Sudirman-A Yani Padang merasakan waktu itu.

 

Esa  hilang dua terbilang, boleh juga dianggap sebagai obat demam pelerai sansai bagi orang  Minang.  Saldi adalah generasi penyambung yang diharapkan dapat mengemban tugasnya selamat sampai masa yang wajar. Sehingga tanggung jawab saldi boleh jadi berlipatganda. Bukan hanya untuk diri dan keluarga serta kampungnya, lebih-lebih lagi untuk pelanjut wibawa dan marwah serta martabat Minang. Semoga Allah memberi enerji dan kekuatan kepadanya. Akhirnya tulisan ini selesai juga dibuat oleh penulisnya. ***

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Irman Gusman dan Anjadi Gusman Bersama Ibu Aisyiah dan Nasyiatul Aisyiah Sumbar

Senang, Gembira dan Bahagia: Wakaf Prof. Dr. H. Sidi Ibrahim Buchari, M.Sc.