Golput, Mengapa MUI Mengharamkan ?
Oleh Shofwan karim
Gol
Golongan Putih ( Golput) tidak seindah kata. Sepintas kilas, kelihatan putih bersih, golongan ini adalah tanpa noda, apalagi dosa. Akan tetapi di dalam pelaksanaan demokrasi, golput tidak seindah warna aslinya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat sejak 2009 telah mengeluarkan fatwa tentang haramnya golongan putih (golput).
Ijtima’ ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia ke-3 di Padang Panjang Sumatera Barat 26 Januari 2009 sudah mengharamkan golput. Melalui pertemuan 21 November 2013, MUI Kalsel juga bersepakat golput haram, sebagaimana haramnya politik uang. Klik : http://banjarmasin.tribunnews.com/2013/12/02/memahami-fatwa-mui-tentang-golput
Mengapa ?
Pertanyaan ini tentu mesti ditelisik. Umat Islam di Indonesia tinggal lagi 87 % dari total populasi 240 juta RI. Tentu saja angka persentase itu turun drastis pada awal awal kemerdekaan RI yang populasi muslim mencapai 97 % dari jumlah penduduk 50 juta jiwa.
Sekarang mayoritas muslim Indonesia, di dalam hal gairah berdemokrasi terbelah kepada 2 kategori. Pertama, kategori elit, yang amat menganggungkan hak-hak demokrasi . Mereka amat gencar membuat dan mempertahankan partai politik yang mereka dirikan. Dari 15 parpol ikut Pemilu sekarang, ada 5 mengidentifikasikan diri sebagai partai dengan plate-form Islam-nasionalis. Diantarnya PPP, PKS, PBB, PAN, PKB . Selain 2 Partai Lokal di Aceh, selebihnya, secara teoritis boleh disebut sebagai partai dengan plate-form nasionalis-religius dan nasionalis-sekuler.
Kedua, kategori populis atau massal. Mereka adalah masyarakat muslim baik yang berada pada partai tetapi bukan pengurus, dan masyarakat muslim non-partisan dan awam. Mereka sebagian besar merupakan massa mengapung atau mengambang
Merekalah sasaran kampanye partai-partai. Di antaranya ada yang pendukung tradisional-fanatisme partai tertentu, tetapi lebih banyak lagi yang mengambang. Sementara yang mengambang itu, sebagian besar cenderung golput.
Yang tersebut belakangan ini, golput-mengambang tadi, ternyata ada yang karena sebab-sebab teknis lain, tetapi banyak pula yang mengambang karena kritis.
Kritis, karena tidak percaya dengan caleg perorangan atau kehilangan kepercayaan kepada partai-partai.
Anehnya, mereka tidak mengkalkulasi dalam makana ideologis. Artinya , kaum muslimin yang golput, bukan hanya tidak menguntungkan makna demokrasi yang kita anut, lebih-lebih lagi merugikan kepada caleg dan partai. Mereka yang paling tidak menjadi aspirator , komunikator, dan dinamisator bagi perjuangan dan pembangunan berbasis nilai-nilai Islami.
Menjadi amat mencengangkan, bahwa jumlah itu semakin membesar dan mereka menjadi orang yang apatis. Ujungnya merekalah yang potensial menjadi golput.
Bagi kalangan nasionalis-sekuler, jumlah itu akan membantu mereka untuk menang pada kantong-kantong tertentu, meski jumlahnya tidak meningkat tetapi mereka konsisten memilih partainya.
Pada saatnya, merekalah yang menang. Dan partai-partai Islam-nasionalis akan gigit jari. Maka karena itu, bila MUI mengharamkan golput, mungkin juga karena alasan untuk menghindari hal tadi. Wa Allah al'alam al-shawab.***.
Komentar