Lautan Jilbab: What’s Wrong ?

*LAUTAN JILBAB: WHAT'S WRONG?!*

Meski (anonim) Dari Grup WA tetapi isinya memberi inspirasi di tengah nafas sesak Pandemik COVID-19 yg masih meradang.

Jilbab adalah keberanian di tengah hari-hari sangat menakutkan.
Jilbab adalah percikan cahaya di tengah-tengah kegelapan.
Jilbab adalah kejujuran di tengah kelicikan.
Jilbab adalah kelembutan di tengah kekasaran dan kebrutalan.
Jilbab adalah kebersahajaan di tengah kemunafikan.
Jillbab adalah perlindungan di tengah sergapan-sergapan.
(Emha Ainun Najib)

Demikian penggalan syair dalam puisi Lautan Jilbab karya Emha Ainun Nadjib, biasa disapa Cak Nun atau Mbah Nun. Puisi ini sangat melegenda. Bukan hanya karena saat dipentaskan penontonnya terbesar dan tak tertandingi hingga kini, tapi juga latar belakang lahir atau terciptanya puisi itu.

http://lombokita.com/mengingat-kembali-lautan-jilbab/

Akhir-akhir ini ramai berita tentang siswa yang harus berjilbab di sebuah  sekolah negeri di Sumbar. Kebijakan itu sudah berlangsung 15 tahun dan sekarang menjadi ramai. Hal sebaliknya terjadi di dua propinsi di Indonesia Tengah dan Indonesia Bagian Timur. Siswi-siswi dilarang mengenakan di sekolah negeri jilbab dan harus melepasnya.

 Lihat https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/n1c9xr

https://m.republika.co.id/berita/q0bmat385/pelarang-jibab-1980-an-dikeluarkan-sekolah-jilbab-beracun

https://news.detik.com/berita/d-3903674/jilbab-di-indonesia-antara-pelarangan-dan-perjuangan

Tak boleh paksa dan larang pakai jilbab 

https://www.google.com/amp/s/m.medcom.id/amp/0kp4Zlqk-skb-3-menteri-tak-boleh-memaksa-dan-melarang-jilbab-di-sekolah


Tetapi pejabat tampaknya bersuara beda dengan dua kasus yang sebenarnya sama. Bedanya satu mewajibkan, yang kedua melarang. Kalau mau moderasi harusnya jilbab jangan diwajibkan, untuk sekolah negeri, khususnya bagi yang non-muslim pun jangan dilarang. Kecuali guru agama menganjurkan sebagai bagian Kompetensi Inti (KI) 1, Aspek Spiritual.

Bukankah berjilbab bagian dari perintah agama? Bukankan memahami dan melaksanakan ajaran agama itu bagian dari KI 3 dan 4, sebagai rangkaian dari karakterisasi peserta didik?  

*Indonesia dan Sekulerisme*

Sejak awal pergerakan kemerdekaan, orang berjuang untuk kebangsaan itu atas dasar agama, kebangsaan, atau kerakyatan. Tetapi pada akhirnya kita sampai kepada kompromi. Soekarno yang berpolemik dengan Muh Natsir berpendapat bahwa negara yang berdiri suatu saat harus dipisahkan dari agama. 


Natsir sebaliknya bahwa agama (Islam) adalah realitas sosiologis sebagian besar bangsa Indonesia. Dalam demokrasi, realitas terbesar itu representasi yang harus diakui. 


Namun akhirnya semua sepakat bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah dasar pertama negara kita, tetapi Islam bukan menjadi dasar negara. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk menjalankan agama dan keyakinannya. 


Lebih jauh ada yang berpendapat bahwa kita bukan negara agama dan bukan negara sekuler. Pandangan ini cukup moderat meski dimana batasnya tetap akan menjadi negosiasi kekuatan sosial yang ada. 


*Belajar pada Pengalaman*

Sebelum tahun 1990-an banyak aktivis muslim yang tidak berjilbab, bahkan tidak berkerudung. Di pesantren santri berkerudung, sebagaimana lazimnya perempuan di Afghanistan, Iran, Lebanon dan sebagainya. Namun ada foto klasik yang beredar di WA bahwa pejuang-pejuang muslimah berjilbab.


Sejalan dengan kesadaran agama, mulai terbentuk mode jilbab yang menutup secara lebih rapat tubuh muslimah. Alquran jelas mengatakan agar istri-istri Nabi SAW menarik kain penutupnya hingga menutupi saku. Nah saku baju perempuan di mana? Di dada atau di sisi baju setentang atas paha? Itu masalah ikhtilaf semata.


Yang pasti arus berjilbab semakin kuat. Ada peneliti Inggris yang menganalisis bahwa trend berjilbab itu muncul sejak Perang Iraq tahun 1990. 


Ya, saat itu Bush menyerang Iraq yang dilawan dengan rudal scud buatan Rusia. Saat itu nama Saddam, nama Presiden Iraq, sangat populer dan menjadi nama banyak bayi di Indonesia. Tren jilbab pun ikut berkembang. 


Kadang orang beragama itu semakin semangat dan heroik kalau ditekan keras-keras. Greg Fealy, peneliti Australia, bahkan sudah memperingatkan bahwa tekanan kepada kelompok Islam secara berlebihan ibarat memukulkan palu ke paku yang menancap di kayu. Semakin dipaku, semakin menancap. 


*Lautan Jilbab*

Sebelum tahun 1990-an, kehadiran simbolik agama memang belum semarak. Di sekolah-sekolah umum masjid masih jarang. Bahkan di kampung-kampung pedalaman masjid masih jarang ditemui. Siswi di sekolah berjilbab sangat langka dan kalau berfoto tetap harus membuka jilbabnya. 


Rhoma Irama pernah menyanyikan lagu: "Katakan, Tuhan itu satu!" Saat itu pula ia disebut tidak Pancasilais. Di kampus-kampus umum nuansa agama jarang ditemui sehingga Imaduddin Abdul Rahim berjuang dengan membentuk kader-kader dakwah dan DDII milik Pak Natsir membuka pelatihan agama di dekat kampus umum dan menerjemahkan karya-karya keislaman. Tanaman mereka tumbuh subur dalam kesadaran agama dikalangan terdidik yang mendorong penguatan Islam di ranah publik. 


Belakangan, mereka yang berjuang menanam itu hendak digusur dengan tuduhan radikal dan seterusnya secara tidak sopan dan tanpa penghargaan. Bahwa ada ekses turut pula aktivitas yang kontraproduktif bukan berarti semua tanaman itu harus dibabat. Jas merah! Sopanlah dan tahu adablah sedikit! Sekarang bahkan Rektor Perguruan Tinggi Umum yang berlatar nasionalis pun fasih mengutip ayat Alquran atau hadis dalam acara resmi!


Jilbab saat itu masih menjadi kontroversi karena ada sekolah-sekolah yang melarang. Awal tahun 1990 ada pertemuan besar pemuda dan pemudi muslim di Gedung Nasional Indonesia di sebuah kabupaten. Mereka menuntut larangan jilbab dicabut. Aksi tuntutan pencabutan larangan jilbab dan tuntutan pelarangan kupon SDSB adalah demo terbesar awal 1990-an pada masa Orde Baru. 


Buku kumpulan puisi Emha Ainun Najib "Lautan Jilbab" seolah menjadi bacaan wajib. Saya ingat saat masuk SMA ada teman yang membaca puisi Ema dengan sangat menyentuh. Dengan serban ala Yasser Arafat, ia sangat emosional dan menghayati pembacaan puisi sehingga membakar jiwa perlawanan kaum muda.


Untungnya Pak Harto sudah lebih Islami dibandingkan tahun 1970-an atau 1980-an sehingga aksi-aksi demikian ditolerir. Keberadaan ICMI, dengan Pak Habibie Si Anak Emas Pak Harto di dalamnya, cukup mempengaruhi Pak Harto. Bahkan pada tahun 1990-an itu pula masjid-masjid banyak berdiri di kampung-kampung yang sebelumnya minim agama karena angin kekuasaan semakin ramah terhadap agama Islam. 


*Lautan Jilbab Sekarang*

Lautan jilbab sudah tercapai sekarang. Jilbab menjadi biasa, bahkan banyak kehilangan arti selain aksesoris. 


Hal demikian ajar dalam tren sosial. Bahkan Soren Kierkegaard, filosuf eksistensialis Denmark, pernah mengkritik umat Kristen pada masanya. Pada masa lampau ber-Kristen itu berarti pengorbanan. Yah, karena pada masa Kaisar Nero orang-orang Kristen dibunuh dan disiksa karena imannya. Namun kemudian ber-Kristen, setelah ia menjadi populer, seakan hanya aksesoris semata.


Jilbab pun demikian. Ada fenomena "jilboob" yang mendegradasi arti jilbab itu sendiri. 


Di sisi lain ada semangat keagamaan yang mungkin berlebih, seperti kewajiban berjilbab di sekolah umum negeri di propinsi mayoritas Muslim dan larangan berjilbab di sekolah umum di propinsi-propinsi mayoritas non muslim. Dua kebijakan itu sama-sama berlebihan. Jangan bilang yang memaksakan agama itu radikal dan yang menolaknya itu moderat! 

Marilah kembali ke dasar pemahaman tentang sekolah umum dan batas jaminan kebebasan pelaksanaan agama! Jika semua diletakkan secara proporsional akan lebih baik. Biarlah agama menjadi kesadaran yang tumbuh bersama keimanan seseorang! Saat kesadaran itu bertumbuh, berilah ruang sepanjang tidak menghapus dan mencabut hak orang lain yang berbeda agama.

______

_Semarang, 03 Pebruari 2021

Dari berbagai Sumber. Dikutip Admin 4/2/2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan