Keabsahan Wakaf Uang HPT I

 


Argumentasi Keabsahan Wakaf Uang dalam HPT | Santri Cendekia

Nur Fajri Romadhon

Pada hari terakhir Pertemuan Tahunan IMF-World Bank di Nusa Dua, Bali dua bulan lalu (tepatnya 8-14 Oktober 2018), Bank Indonesia (BI) bersama Islamic Development Bank (IDB) resmi meluncurkan hasil pengembangan prinsip inti wakaf dan sukuk tunai berbasis wakaf. Semua ini tentunya merupakan kelanjutan pengembangan wakaf uang yang terus digaungkan Badan Wakaf Indonesia (BWI) dan pemerintah secara umum. Pemerintah Republik Indonesia sendiri telah merilis sebuah undang-undang yang mengatur perwakafan dan regulasi terkaitnya di buku ketiga Kompilasi Hukum Islam (KHI, mulai dari pasal 223 sampai dengan pasal 229), di Undang-undang (UU) nomor 41 tahun 2004, serta di Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006. Wakaf uang dinyatakan sah dalam UU no. 41 tahun 2004 pasal 16 ayat (3) dan digolongkan sebagai wakaf benda bergerak.

Aturan-aturan perundangan ini tentunya tidak terbit melainkan dengan persetejuan dan melalui konsultasi ulama Islam bahkan dalam penulisan setiap hurufnya. Terbukti memang bahwa sesungguhnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa sah dan bolehnya wakaf uang pada tanggal 11 Mei 20022. Bahkan sekitar setengah abad sebelumnya, PP Muhammadiyah dalam Muktamar XXXII 9-14 Juli 1953 di Purwokerto, telah memutuskan kebolehan dan keabsahannya3. Keputusan yang lalu didokumentasikan dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah itu dinyatakan sebagaimana berikut:

“Kalau engkau menerima uang untuk wakaf …, maka hendaklah engkau pergunakan sebagai amal jariyah dengan sebaik-baiknya.”Hanya saja, dikarenakan HPT belum menyebutkan tegas dalil atas pernyataan ini, maka izinkanlah penulis, yang hari ini pun baru saja menghadiri Diskusi Panel –termasuk pembahasan wakaf uang- di BWI Provinsi DKI Jakarta5, dalam artikel ini untuk memaparkan dalil-dalilnya beserta penjelasan pro-kontra mengenai hukumnya6.

Pengertian Wakaf

Kata wakaf secara etimologi merupakan mashdar (kata benda) dari fi’il tsulatsi mitsal (kata kerja yang terdiri dari tiga huruf dan diawali huruf Waw/Ya’) “Waqafa-Yaqifu-Waqfan”

(افقوَ فقيَ فقو) yang berarti “Al-Habs (menahan)”, dan memang wakaf di beberapa negara dikenal dengan istilah Habs. Al-Jauhari mengatakan: “Waqaftu (saya mewakafkan) rumah ini untuk orang-orang miskin, atau Awqaftu (saya mewakafkan), tetapi diksi dengan tambahan hamzah (Awqaftu) ini merupakan varian bahasa yang kurang fasih. Dalam bahasa Arab tidak ada penggunaan kata Awqaftu yang fasih kecuali satu model saja, seperti Awqaftu (saya berhenti) dari perkara ini, yakni saya berhenti melakukannya.”7Wakaf sendiri disebut demikian karena benda yang diwakafkan diberhentikan dari semua pengalihan kepemilikan, dan disebut Habs karena ia tertahan dari pengalihan kepemilikan8.

Mengenai pengertiannya secara terminologi, para ulama berbeda pandangan karena perbedaan mereka dalam beberapa rukun dan syaratnya.

  • Menurut Hanafiyyah, ia adalah: “Menahan sebuah benda di tangan pemiliknya dan menyedekahkan nilai gunanya.”9
  • Sementara menurut Malikiyyah, wakaf adalah: “Memberikan nilai guna sesuatu selama benda tersebut ada di kepemilikan pemberinya meskipun tidak secara hakik
  • Adapun wakaf menurut Syafi’iyyah ialah: “Menahan suatu harta yang bisa dimanfaatkan selagi bendanya ada tanpa mengubah kepemilikannya dan diperuntukkan hal-hal yang mubah.”11
  • Sedangkan menurut Hanabilah, ia adalah:”Menahan pokok sebuah benda dan membagikan manfaatnya.”12
  • Dalam KBBI, wakaf diartikan sebagai: 1 tanah negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapa pun dan digunakan untuk tujuan amal; 2benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum (Islam) sebagai pemberian yang ikhlas: tanah — ini disediakan untuk madrasah atau masjid3hadiah atau pemberian yang bersifat suci13.
  • Dalam pasal 1 UU no. 41 tahun 2004 wakaf didefinikan sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.”

Dalil Disunnahkannya Wakaf Secara Umum

Para ulama pun menyebutkan dalil disunnahkannya wakaf secara umum dari Alquran, seperti QS Al-Baqarah: 261, meski masih terlalu umum konteksnya14 sehingga butuh rincian dari dalil lain. Di antara dalil dari hadis sekaligus menyinggung dalil dari Alquran adalah tatkala Abu Thalhah –radhiyallahu ‘anhu-mendengar firman Allah ta’ala: “Kalian sekali-kali belum mencapai kebajikan yang sesungguhnya sampai kalian menginfakkan apa yang kalian cintai.” (QS Ali Imran: 92), ia segera mewakafkan hartanya yang paling dicintainya: kebun Bairahaa’15. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga bersabda: “Jika seorang manusia wafat, amalannya terputus kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang beranfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”16 Imam An-Nawawi menjelaskan, “Sedekah jariyah di sini adalah wakaf.”17 Hadis terakhir ini dijadikan dalil wakaf dalam HPT18. Selain itu, umat Islam sejak era Shahabat pun telah bersepakat (ijma’) bahwa wakaf disyariatkan dan disunnahkan.

Pengertian Uang

Adapun kata Nuqud (uang/ دوقنلا), maka ia adalah bentuk jamak dari “Naqd” (دقنلا) yang secara etimologi bermakna kontan atau menilai19. Uang sendiri secara terminologi bermakna “satuan ukur yang digunakan oleh sekelompok masyarakat untuk menilai harga barang dan jasa serta diterima di kalangan mereka secara luas20.”Dengan memilih definisi ini, saya telah keluar dari perselisihan di kalangan fuqaha’ terkait dua pembahasan: Apakah kata “nuqud” dapat diberikan kepada emas dan perak yang belum dicetak? Serta apakah kata “nuqud” juga dapat diberikan kepada uang yang bukan terbuat dari emas atau perak? Karenanya, untuk mempersingkat pembahasan, langsung saja artikel ini didasari pada pendapat uang kertas sama hukumnya dengan Dinar emas dan Dirham perak.

Perbedaan Pendapat Ulama Mengenai Hukum Wakaf Uang

Sebagian orang mungkin akan bingung dengan isi HPT, undang-undang, peraturan, dan fatwa sahnya wakaf uang di atas. Penyebabnya mungkin konsep wakaf yang belum utuh di benak banyak kalangan serta adanya klaim ijma’ mengenai tidak sahnya wakaf uang tunai. Contohnya adalah apa yang dikatakan oleh penulis kitab Rahmatul Ummah: “Dan para ulama bersepakat bahwa apa yang tidak bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskan bendanya seperti emas, perak, dan makanan, maka tidak sah wakafnya.”21

Lantas apakah Majelis Tarjih & Tajdid, MUI, dan pemerintah kita telah menyelisihi ijma’ umat? Jawabannya: tidak. Selain karena ijma’ ini masih bersifat dzhanni menurut MTT karena bukan ijma’ Shahabat22, para ulama telah menjelaskan bahwa klaim ijma’ ini tidak tepat karena perkara ini merupakan perkara yang diperselisihkan di antara ulama dengan landasan yang dapat diperhitungkan, sebagaimana akan datang penjelasannya. Wakaf makanan yang diklaim tidak sah berdasarkan ijma’ contohnya, disahkan oleh ImamAl-Auza’i dan lainnya23. Wakaf uang juga dinyatakan sah oleh sejumlah besar ulama meskipun ada fuqaha’ lain yang tidak setuju. Oleh karena itu sebenarnya ulama dalam wakaf uang ini berbeda pendapat menjadi dua pendapat.

Pendapat Pertama: Tidak Sah

Ini adalah pendapat resmi (muktamad) madzhab Syafi’i24, Hanbali25. Pendapat ini juga merupakan pendapatnya Imam Abu Hanifah26, Al-Qadhi Abu Yusuf27, serta sebagian Malikiyyah28. Mereka memiliki sejumlah argumen, di antaranya:

Pertama: Uang dibuat untuk sarana pertukaran barang/jasa bukan untuk dimanfaatkan bendanya. Karena inilah, tidak ada ganti  rugi  manfaat  uang saat  dighashab  (dirampas).  Mewakafkan uang sama  seperti mewakafkan pohon untuk menjadi tiang jemuran29.

Kedua: Klaim ijma’30, dan baru saja disebutkan.

Ketiga: Uang dapat habis jika digunakan sedangkan syarat barang wakaf ialah harus lestari31.

Pendapat Kedua: Sah

Ini merupakan qaul qadimnya Imam Asy-Syafii sebagaimana disebutkan oleh Abu Tsaur32. Ini juga merupakan pendapat resmi (muktamad) madzhab Hanafi33 dan Maliki34. Ia juga merupakan pendapat sebagian Syafi’iyyah35, Az-Zuhri36, Imam Al-Bukhari37, dan Ibnu Taimiyyah38. Di antara dalil mereka ialah sebagaimana berikut.

Pertama: Qiyas (analogi) wakaf dengan ijarah (sewa)39

Sebagaimana ijarah uang sah, maka begitu pula wakaf uang dengan ’illah (faktor kesamaan) berupa akad atas manfaat pada keduanya.

Kedua: Qiyas wakaf dengan Mudharabah40

Pada Mudharabah pokok dasar harta meskipun bukan aslinya tetap tidak berubah besarnya, mudharib di saat yang sama memperoleh keuntungan dari pembagian profit. Begitu juga dengan wakaf uang.

Ketiga: Qiyas wakaf dengan Qardh (hutang)41

Ia mirip qiyas dengan mudharabah, hanya saja uangnya tidak menghasilkan untung bagi pemberi hutang (kreditur). Tetapi orang yang berhutang (debitur) tetap dapat memperoleh manfaat dari pinjaman tersebut dengan menggunakan sebagai modal berdagang misalnya.

Keempat: Qiyas uang dengan properti42

Uang sejatinya dalam hal ini mirip properti karena ia sama-sama lestari secara maknawi. Uang tetap lestari nilainya saat dimudharabahkan atau dihutangkan.

Kelima: Qiyas uang dengan hewan dan makanan yang memang secara tabiat akan sirna.

Itu karena ulama telah bersepakat bahwa wakafnya Utsman bin Affan –radhiyallahu ‘anhu- sah. Beliau saat itu mewakafkan sumur Ruumah43. Semua kita tahu bahwa sumur juga akan sirna secara tabiatnya.

Tarjih: Dari paparan di atas, nampak lebih kuatnya landasan pendapat Majelis Tarjih & Tajdid PP Muhammadiyah di HPT yang menarjih sahnya wakaf uang. Itu karena sebenarnya wakaf uang di dunia nyata bersesuaian dengan prinsip dasar wakaf yakni tetap lestarinya pokok meski hanya nilainya dan pengambilan manfaat. Tidak seperti yang diduga oleh sebagian pihak. Adapun mensyaratkan harus lestarinya objek wakaf,

maka ini tidak tepat berdasarkan hadits wakaf sumur Ruumah di atas. Terlebih lagi yang diinginkan dari wakaf adalah pemanfaatan selama objek wakaf itu ada bukanlah abadinya objek wakaf. Dari sisi maslahat, wakaf uang terbukti memiliki potensi amat besar44. Adapun klaim ijma’, maka sudah jelas dari penjelasan sebelumnya bahwa penukilan ijma’ itu kurang tepat.

Bentuk-Bentuk Implementasi Wakaf Uang

Setelah kita menyebutkan dalil-dalil pihak yang melarang dan yang mengesahkan wakaf uang beserta tarjihnya, maka saya tinggal menyebutkan sedikit bentuk implementasi wakaf uang.

  • Mudharabah45

Dikenal juga dengan investasi rekening wakaf. Mudharib bekerja dengan uang mudharabah ini kemudian berbagi prosentase profit sesuai kesepakatan dengan nadzhir. Nadzhir dalam hal ini hanya memperoleh ujrah (gaji) dan tidak mengambil prosentase keuntungan shahibul mal karena itu diperuntukkan bagi pokok harta wakaf. Jika mudharabah selesai, maka uang diputar melalui mudharabah lain.

  • Qardh46

Pewakaf menghutangkan harta wakafnya kepada seseorang yang membutuhkan selama periode tertentu. Debitur kelak akan mengembalikan uang dengan jumlah yang sama setelah memanfaatkan pinjaman itu dan memperoleh profit dari memutarnya dalam bisnis. Setelah uang dikembalikan, uang dapat digunakan untuk meminjamkan orang lain.

  • Ibdha’47

Yaitu seseorang berdagang dengan modal uang wakaf ini tetapi ia hanya memperoleh upah sementara untung perdangangan itu sepenuhnya untuk harta wakaf.

  • Sukuk48

Cara kerja produk wakaf uang berbasis sukuk adalah menggunakan wakaf secara tunai untuk dikelola melalui instrumen investasi sukuk. Sukuk atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Ritel. Masa SBSN Ritel dalam hal ini adalah jangka pendek, seperti untuk 5 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, uang yang diwakafkan itu akan digunakan untuk proyek-proyek pemerintah yang pelaksanaan dan jenisnya tetap sesuai dengan prinsip ekonomi dan keuangan syariah.

Ustaz Drs. Nurdin Hasan, M.Ag dari PDM Malang menyatakan harapan agar di antara hasil wakaf uang ini “juga digunakan untuk membantu para muballigh-muballigh untuk menyampaikan dakwahnya ke pelosok (daerah-daerah terpencil).”49 Secara resmi di Indonesia agar tercatat dan memiliki kekuatan hukum, wakaf uang hendaknya diwakafkan melalui Lembaga Keuangan Syariah sebagai Penerima Wakaf Uang (LKS-PWU) sebagaimana telah disosialisasikan sejak hampir satu dasawarsa lalu50.

Wakaf Uang Sepanjang Sejarah

Sebagian orang mungkin mengira bahwa wakaf uang adalah perkara baru di zaman materialistis yang uang kertas merajalela ini sementara belum ada contohnya di kalangan penghulu umat Islam yang shalih maupun generasi-generasi terdahulu. Ya, memang tidak didapatkan riwayat tentang wakaf uang di kalangan penghulu Islam kecuali sedikit saja. Tetapi wakaf uang sudah ada dan benar-benar diterapkan sejak masa-masa itu. Riwayat tertua terkait wakaf uang adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih beliau: Az-Zuhri berfatwa mengenai orang yang menjadikan 1000 dinarnya di jalan Allah dan mewakafkannya kepada budaknya yang mahir berdagang, lalu profit dagangan itu dijadikan sedekah untuk orang miskin dan kerabat, apakah pewakaf ini berhak mengambil bagian dari profit tadi? Jika tidak boleh, maka ia akan berikan juga kepada orang miskin”.Kata Az-Zuhri: “Untung tersebut tidak boleh ia ambil.”51Az-Zuhri ini adalah Ibnu Syihab, tabiin senior nan populer yang hidup di abad pertama dan kedua Hijriah (58-124 H). Adanya pertanyaan ini di mejelisnya Az-Zuhri mengisyaratkan adanya wakaf uang di masa yang sangat awal di saat shahabat masih banyak yang hidup.

Begitu juga Imam Malik (93-179 H) pernah ditanya pertanyaan berikut: “Jika ada seseorang yang mewakafkan 100 dinar, ia hutangkan kepada orang0orang dan mereka melunasinya, lalu diwakafkan lagi, dan begitu seterusnya, apakah engkau memandang ada kewajiban zakat di sana?”Imam Malik menjawab: “Iya, saya memandang ada kewajiban zakat padanya.”52Lihatlah bahwa Imam Malik tidak engingkari wakaf uang yang disebutkan dalam pertanyaan. Pertanyaan ini pun diajukan di majelisnya Imam Malik di Masjid Nabawi, Madinah Al-Munawwarah. Ini menunjukkan bahwa wakaf uang ada dan terus berlangsung di kota Madinah yang penuh ilmu dan ulama.

Di abad ketiga Hijriah pun ada bukti yang menunjukkan bahwa wakaf uang telah berlangsung di tengah masyarakat Islam bahkan hingga ke jantung Khilafah Abbasiyah di Baghdad. Imam Ahmad (164-241) pernah ditanya tentang seseorang yang mewakafkan 1000 dirham di jalan Allah, apakah dia dapat mengabil jatah dari situ? Imam Ahmad menjawab, “Jika itu wakaf, maka ia tidak boleh mengambil apa-apa.”53 Kondisi ini terus berlangsung di sejumlah wilayah Islam sebagaimana dihikayatkan oleh Ad-Dasuqi (653-696 H): “Dahulu di pelabuhan Fes ada seribu uqiyah emas yang diwakafkan untuk hutang. Sayangnya orang-orang malah melunasi hutang tersebut dengan kuningan dan lama-lama uang tersebut habis.”54

Sejarah lalu mencatat penyebaran wakaf uang yang signifikan di era Khilafah Utsmaniyyah di mana madzhab Hanafi kuat pada saat itu dan bahkan menjadi madzhab resmi negara. Bukti penyebaran wakaf uang pada masa itu ialah bahwa sejumlah fuqaha menuliskan buku-buku untuk menjelaskan tidak sahnya wakaf uang serta mengingkari fenoena di masyarakat.Di saat yang sama, fuqaha lain turut menjawab dengan buku untuk menjelaskan bahwa itu sah. Disertai bantahan terhadap argumentasi mereka yang melarang. Haji Khalifah mengisahkan fnomena ini: “Maulana Jawi Zadah menuliskan buku menjelaskan tidak sahnya wakaf uang. Ia juga berusaha membatalkan wakaf-wakaf uang di zamannya saat menjabat sebagai hakim di Eropa Timur.Kemudian Imam Abu As-Su’ud (896-982 H) membantah beliau dan mefatwakan bahwa itu sah.”55

Pengingkaran Al-Qadhi Jawi Zadah seperti itu menunjukkan bahwa wakaf uang sudah tersebar di masayarakat zamannya. Adapun perbedaan pendapat antar sesama ulama Ahnaf di kalangan Utsmaniyyah, maka itu tidak aneh. Para fuqaha Hanafiyyah sendiri -sebagaimana sudah berlalu penjelasannya- memang tidak satu suara terkait wakaf uang, sekalipun pendapat resmi yang dianut madzhab mereka adalah bahwa itu sah. Tidak hanya sampai di situ, bahkan Khilafah Utsmaniyyah memerintahkan para hakimnyauntuk mengesahkan wakaf-wakaf uang sebagaimana dinyatakan oleh ‘Alauddin Ak-Hashkafi (1025-1088 H)56. Selanjutnya Hanafiyyah kontemporer seolah sepakat akan sahnya wakaf uang meski masih ada sanggahan dari fuqaha lain57. Ya, harus diakui memang bahwa wakaf uang ini belum terlalu menyebar di negeri-negeri Arab seperti luasnya penyebaran wakaf uang di semenanjung Anatolia (Turki sekarang) dan semenanjung Balkan (Eropa Timur sekarang) meski seluruhnya berada di bawah naungan Utsmaniyyah. Ibnu Abidin mengatakan, “Wakaf dirham populer di Turki & Eropa tetapi belum populer di negeri kami (Syam)58.

Apapun itu, wakaf uang sebagaimana dinyatakan oleh Dr. Muhammad Al-Arnauth telah berkembang pesat dan itu salah satu kekhasan Utsmaniyyah. Data menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 1340-1947 M, yang kebanyakan masa ini dunia Islam dikuasai Utsmaniyyah, wakaf uang tinggi dengan jumlah 5,5% dari total wakaf. Angka ini tentu tidak sedikit untuk wakaf uang karena kebanyakan orang (93%) masih mengutamakan wakaf properti59. Demikian hingga wakaf uang menjadi hal yang lumrah di negeri-negeri Islam termasuk Indonesia, hingga banyak pihak selain BWI, termasuk di dalamnya Muhammadiyah, serius menggarap wakaf uang60.

Wallahu a’lam.

Catatan kaki. 

1              Lahir di Jakarta, 6 Maret 1992. Alumnus Fakultas Syariah LIPIA tahun 2016. Ketua bidang pengkajian agama PC Pemuda Muhammadiyah kec. Beji, Depok dan pengurus Korps Muballigh Muhammadiyah Depok bidang pelayanan masyarakat. NBM: 1291420.

2              Dikatakan di dalamnya: “Wakaf uang hukumnya jawaz (boleh).”

3              Sekitar empat tahun lalu, situs resmi saudara-saudara Nahdhatul Ulama (NU) merilis artikel yang menguatkan pendapat pihak yang menilainya sah. Lihat: http://www.nu.or.id/post/read/53746/penjelasan-mengenai-wakaf-uang , diakses terakhir kali pada pukul 07.07 WIB, 29 Desember 2018. Lalu sekitar sembilan bulan silam situs resmi NU kembali menerbitkan tiga serial artikel tentang wakaf uang yang dinyatakan di sana bahwa secara fikih turats wakaf uang tidak sah tetapi dengan rekayasa fiqih syafiiyyah, wakaf uang sah sebagai wakaf tunai dalam bentuk modal. Lihat: http://www.nu.or.id/post/read/87794/penjelasan-tentang-wakaf-tunai-dalam-islam-1 , http://www.nu.or.id/post/read/87795/penjelasan-tentang-wakaf-tunai-dalam-islam-2 , dan http://www.nu.or.id/post/read/87796/penjelasan-tentang-wakaf-tunai-dalam-islam-3-habis , yang kesemuanya terakhir diakses pada pukul 08.05 WIB, 29 Desember 2018. Dengan penuh takzim kepada tulisan-tulisan tersebut, menurut hasil kajian penulis di artikel ini, sebenarnya wakaf tunai itulah yang dimaksudkan oleh ulama-ulama yang mengesahkan wakaf uang, jadi perbedaan tarjihnya tidak substansial. Wallahu a’lam.

4              Majelis Tarjih PP Muhammadiyah. Himpunan Putusan Tarjih. Yogyakarta: Penerbit Suara Muhammadiyah, 2017. (1/272)

5              Sabtu, 29 Desember 2018 di Kantor BWI Provinsi DKI Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

6              Penulis juga telah memperhatikan ulasan dari Ustadz Drs. Nurdin Hasan, M.Ag dari PDM Malang pada tahun 2010 dalam tulisan beliau berjudul ”Wakaf Uang Tunai” http://muhammadiyahmalang.blogspot.com/2010/03/wakaf-uang-tunai.html , diakses terakhir kali pada 08.38 WIB, 29 Desember 2018.

7              Al-Jawhari, Ismail bin Hammad. Ash-Shihah. Beirut: Darul ‘Ili lil Malayin, 1990 M. (4/1445)

8              Al-Ba’li, Muhammad bin Abil Fath. Al-Mathla’. Beirut: Al-Maktabul Islami, 1401 H. (hlm. 285)

9              Al-Marghinani, Ali bin Abi Bakr. Al-Hidayah. Beirut: Al-Maktabah Al-Islamiyyah, tanpa tahun. (3/13)

10           Al-Haththab, Muhammad bin Muhammad. Mawahibul Jalil. Beirut: Darul Fikr, 1973 M. (6/18)

11           Al-Haitami, Ahmad bin Hajar. Tuhfatul Muhtaj. Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2011 M.  (3/246)

12           Ibnu Qudamah, ‘Abdullah bin Ahmad. Al-Mughni. Beirut: Darul Kitabil ‘Arabi, tanpa tahun. (6/185)

13           https://kbbi.web.id/wakaf , diakses terakhir kali pukul 13.38 WIB, 29 Desember 2018.

14           Lihat: http://muhammadiyahmalang.blogspot.com/2010/03/wakaf-uang-tunai.html diakses terakhir kali pada pukul 18.44 WIB, 29 Desember 2018.

15           Al-Bukhari, Muhammad bin Isma’il. Shahih Al-Bukhari. Jeddah: Darul Minhaj, 2008 M. (5/8)

16           Muslim, Abul Husain ibnul Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya Turats ‘Arabi, tanpa tahun.  (3/1255)

17           An-Nawawi, Yahya bin Syaraf. Syarah Shahih Muslim. Kairo: Al-Mathba’ah Al-Mishriyyah, tanpa tahun. (11/85)

18           Lihat: HPT, op.cit. (1/274)

19           Al-Fairuzabadi, Muhammad bin Ya’qub. Al-Qamus Al-Muhith. Beirut: Muassasah Ar-Risalah, 2014 M.  (hlm. 354)

20           Abdul Hafidzh, Hail. Taghayyurul Qimatisy Syira-iyyah Lin-Nuqudil Waraqiyyah. Virginia: IIIT Publisher, 1999 M. (hlm. 3)

21           Al-‘Utsmani, Muhammad bin ‘Abdirrahman. Rahmatul Ummah fikhtilafil Aimmah. Kairo: Al-Maktabah At-Tauqifiyyah, tanpa tahun. (hlm. 174)

22           Lihat: Abdurrahman, Asjmuni. Manhaj Tarjih Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010. (hlm. 13 dan 202).

23           Al-‘Imrani, Yahya bin Abil Khair. Al-Bayan. Jeddah: Darul Minhaj, 2009 M.  (8/62)

24           Al-Qalyubi & ‘Umairah, Hasyiyah ‘ala Kanzir Raghibin. Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiyyah, 2006 M. (3/99).

25           Ibnu Qudamah, op.cit. (8/229)

26           Abu As-Su’ud, Muhammad bin Muhammad. Risalah fi Jawazi Waqfin Nuqud. Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997 M. (hlm. 18).

27           Ibnu ‘Abidin, Muhammad Amin bin Umar. Raddul Muhtar. Damaskus: Dar ‘Alamil Kutub, 2003 M. (6/557).

28           Al-Haththab, op.cit. (6/22)

29           Lihat: Ibnu Qudamah, loc.cit.

30           Lihat: Al-‘Utsmani, loc.cit.

31           Lihat: Abu As-Su’ud, loc.cit.

32           Lihat: Al-Mawardi, Ali bin Muhammad. Al-Hawi Al-Kabir. Beirut: Darul Fikr, 2004 M. (7/519)

33           Lihat: Ibnu ‘Abidin, loc.cit.

34           Lihat: Mawahibul Jalil (6/22)

35           Al-Mawardi, loc.cit.

36           Lihat: Al-Bukhari, op.cit. (4/12)

37           Ibid.

38           Lihat: Ibnu Taimiyyah, Ahmad bin ‘Abdil Halim. Majmu’atul Fatawa. Beirut: Darul Wafa, 2007 M. (31/234)

39           Lihat: Ibnu Qudamah, loc.cit.

40           Lihat: Ibnu ‘Abidin, op.cit. (6/558)

41           Ibid.

42           Lihat: Abu As-Su’ud, op.cit. (hlm. 30).

43           Lihat: Al-Bukhari, op.cit. (5/13)

44           Lihat: https://ekonomi.kompas.com/read/2018/10/15/193728426/seberapa-besar-potensi-wakaf-uang-di-indonesia, diakses terakhir kali pada pukul 06.30 WIB, 29 Desember 2018.

45           Lihat: Ibnu ‘Abidin, loc.cit.

46           Lihat: Ibnu Taimiyyah, Ahmad bin ‘Abdil Halim. Al-Ikhtiyarat. Kairo: Darul Hilal, 1404 H.  (hlm. 146)

47           Lihat: Ibnu ‘Abidin, loc.cit.

48           Lihat: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20181014152641-532-338378/pemerintah-rilis-sukuk-berbasis-wakaf-tunai-desember-2018 , diakses terakhir kali pada pukul 06.57 WIB, 29 Desember 2018.

49           http://muhammadiyahmalang.blogspot.com/2010/03/wakaf-uang-tunai.html , diakses terakhir kali pada 08.38 WIB, 29 Desember 2018.

50           Lihat: http://bwi.or.id/index.php/in/wakaf-uang-cara-wakaf-84.html , diakses terakhir kali pada pukul 06.41 WIB, 29 Desember 2018.

51           Al-Bukhari, op.cit. (4/12)

52           Malik, Malik bin Anas. Al-Mudawwanah Al-Kubra. Riyadh: Mathba’ah As-Sa’adah, 1324 H. (1/343)

53           Ibnu Taimiyyah. Majmu’atul Fatawa (31/234)

54           Ad-Dasuqi, Muhammad ‘Arafah. Hasyiyatud Dasuqi ‘ala Asy-Syarhil Kabir. Aleppo: Maktabah Al-Baabiyy, tanpa tahun. (4/77)

55           Khalifah, Haji. Kasyfudz Dzhunun. Beirut: Dar Ihya Turats Arabi, tanpa tahun. (1/898)

56           Ibnu Abidin, op.cit. (4/364)

57           Lihat: Khalifah, Haji, op.cit. (2/10)

58           Ibnu ‘Abidin, loc.cit.

59           Lihat: Barzanji, Jamal. Al-Waqful Islami wa Atsaruhu fi Tanmiyatul Mujtama’. Kuwait: Wizaratul Awqaf, 2006 M. (hlm. 136).

60           Lihat: http://bwi.or.id/index.php/asdfsdaf/1-beritawakaf/780-muhammadiyah-canangkan-wakaf-uang.html , http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/12/27/gerakan-wakaf-tunai-sebagai-alternatif-hadapi-ekonomi-kapitalisme/ , dan http://www.suaramuhammadiyah.id/2018/05/27/muhammadiyah-sumsel-launching-wakaf-tunai/ , semuanya diakses terakhir kali pada pukul 08.27 WIB, 29 Desember 2018.



https://santricendekia.com/argumentasi-keabsahan-wakaf-uang-dalam-hpt/?fbclid=IwAR204JeJSEwLQD1CsOuQBtEz_ol2xVrmmvgohxEHGHw_DJWMTeGnxC1qkMI




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan