Pesantren Wahana Kaderisasi Ulama






https://drive.google.com/file/d/0B-zRqiPhkrMARTdxMjh6dVhPVDMyMU51bDVoZlBNbVpka2lz/view?usp=sharing

Revitalisasi Pesantren di Minangkabau Wahana Kaderisasi Ulama (1)

Oleh Shofwan Karim (2)

Beberapa sumber dan literatur menunjukkan bahwa secara terminologis istilah pendidikan pesantren, menurut corak dan bentuknya yang asli adalah suatu sistem pendidikan yang berasal dari India. Pesantren pada mulanya, sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, adalah sistem pendidikan yang digunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu dan Budha. Oleh karena agama Hindu dan Budha lebih duluan masuk dan berkembang di Nusantara, maka setelah Islam masuk dan tersebar di wilayah ini, sistem tersebut kemudian diambil oleh Islam.

Istilah pesantren sendiri bukan berasal dari istilah Arab, melainkan India (Karel A Steenbrink,1986).Dalam kaitan transformasi pendidikan agama ini, istilah orisinal lokal yang bukan dari istilah Arab sudah biasa digunakan seperti halnya istilah mengaji, langgar di Jawa, atau surau di Minangkabau, (Silfia Hanani, 2002:68) Rangkang, Meunasah dan Dayah di Aceh dan sebagainya. Menurut Manfred dalam Ziemek (1986) kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Dia menganggap bahwa pesantren dimodifikasi dari model Hindu (Wahjoetomo, 1997: 70). Zamakhsari Zofir (Zamakhsari,1983) berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru mengaji.

Bagaimanapun, dalam corak yang paling akhir, secara umum pondok pesantren di Indonesia terbagi kepada 3 tipe: Salafiyah ( yang hanya mempelajari agama saja); kombinasi (madrasah dan pondok dalam satu komplek dengan memasukkan ilmu umum, seperti madrasah secara umum) ; dan ashriyah, khalaf atau moderen ( agama dan umum secara seimbang dan dikelola secara manajemen modern). Pada sisi lain sebenarnya 3 tipe ini bisa disederhanakan menjadi 2 tipe saja yaitu : salafiyah (yang teradisional) dan tipe khalaf yang moderen itu.

Sebenarnya, istilah pesantren ini menjadi populer setelah pertengahan tahun 1960-an. Boleh jadi orde baru yang mengagungkan masa lalu dan ada semacam “politik pendidikan” dan suka memakai istilah lama dalam budaya Jawa, sehingga istilah pesantren menjadi populer. Padahal sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan tradisional di Indonesia lebih mengenal sebutan pondok, surau, rangkang, meunasah, dan dayah dan seterusnya seperti disebut terdahulu. Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang tidur, asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya (Zamahsyari Dhofir, 1982: 18).


Di Jawa, pada hakikatnya sebuah pesantren merupakan asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal. Disamping itu juga ada fasilitas ibadah berupa masjid. Biasanya komplek pesantren dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi arus keluar masuknya santri. Dari aspek kepemimpinan pesantren, kyai memegang kekuasaan yang hampir-hampir mutlak.

Dengan demikian maka di antara komponen-komonen pokok yang terdapat pada sebuah pesantren adalah; (1) pondok (asrama santri), (2) masjid, (3) santri, (4) pengajaran kitab-kitab klasik/kitab kuning, (5) kiai dan ustadz (6) madrasah/sekolah (Depag, 2003: 8) serta (7) sistem tata nilai (salaf/ tradisional-khalaf/modern) sebagai ruh setiap pesantren. Pada pesantren-pesantren tertentu terdapat pula di dalammya madrasah atau sekolah dengan segala kelengkapannya (kombinasi).

Mengapa pesantren dapat survive (bertahan) sampai hari ini, ketika lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional pda lembaga seumpamanya di Dunia Islam lainnya tidak dapat bertahan menghadapi perubahan atau modernitas sistem pendidikannya. Secara implisit pertanyaan tadi mengisyaratkan bahwa ada tradisi lama yang hidup ditengah-tengah masyarakat Islam Indonesia yang di dalam segi-segi tertentu masih tetap relevan. Di Minangkabau istilah surau sudah lama digunakan. Akan tetapi seperti sudah disinggung di atas tadi karena adanya keinginan keseragaman dan adanya keharusan oleh pemerintah yang harus disebut mata anggarannya, misalnya bantuan untuk pondok pesantren, maka istilah pesantren di jawa meluas ke hampir seluruh wilayah tanah air Indonesia, termasuk Sumatera Barat. Maka istilah-istilah lama seperti surau inyiak Canduang, surau inyiek Parabek, surau inyiek Jaho, surau Jambatan Basi dan seterusnya diganti menjadi istilah Pesantren tadi. Sebenarnya mendahului istilah pesantren ini, istilah madrasah sudah ada. Tetapi madrasah lebih kepada sekolah yang tidak mewajibkan siswanya tinggal di menetap di lokasi. Sementara istilah pesantren, lebih diutamakan kalau muridnya, siswanya atau santrinya di samping sekolah belajar agama di tempat itu, juga bertempat tinggal di lokasi tempat belajar tadi.

Sebenarnya istilah pesantren, madrasah atau surau, atau sekolah, secara institusional memiliki perbedaan karakter. Tetapi di dalam tulisan ini karena pertimbangan praktis dan efisiensi tidak dibahas. Yang ingin selanjutnya didiskusikan di sini adalah, apakah lembaga pendidikan pesantren mungkin menjadi wahana atau tempat penggodokan calon-calon kader ulama.

Tentu tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Secara normatif seharusnya pesantren memang menjadi wahana keaderisasi ulama. Tetapi secara faktual, bagaimana? Apalagi sampai sekarang sosok dan kompetensi ulama yang didambakan oleh masyarakat belum ada kesepakatan umum yang memadai sebagai standar. Pada kalangan tertentu nomenklatur ulama lebih dipahami sebagai orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama yang dalam, bukan sekadarnya saja. Mereka taat beribadah, memiliki sifat-sifat wara’ (sungguh dan rendah hati) memiliki integritas pribadi yang tinggi, qanaah atau mencukupi kepentingan dunia secara sederhana dan tidak berlebihan apalagi terkesan mewah. Ulama menjadi mumpuni (disegani) dan memiliki percaya diri yang tinggi serta kharisma, wibawa dan akhlak yang mulia. Lebih dari itu diri dan keluarganya tidak punya aib dan cela etika, sosial dan ekonomi. Tentu saja di dalam pergaulan sosial, sosok ulama yang diidamkan adalah yang uswatun hasanah, ikutan ummat, pergi tempat bertanya, pulang tempat berberita. Mereka yang hanya punya ilmu, berakhlak dan integritas saja bukan dari kalangan yang berkecimpung di dalam soal-soal agama dan keagamaan, ghalibnya mungkin disebut para sarjana, ilmuwan atau cendekiawan (zu’ama) saja.

Pada pihak lain ada obsesi ummat yang menggebu-gebu, bahwa yang dimaksud ulama itu adalah tokoh identifikator seperti Inyiak H. Agus Salim, Buya HAMKA, Buya AR Sutan Mansyur, Buya HMD Dt. Palimo Kayo, belakangan H. Harun el-Maany di Kauman Padang Panjang. Atau mendahului generasi ini, yang diinginkan adalah ulama seperti ayahnya HAMKA, Inyiak Rasul atau HAKA (Haji Abdul Karim Amarullah); Inyiak Ibrahim Musa atau Inyiak Parabek; Inyiak Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, Inyiak Sulaiman al-Rasuli atau Inyiak Canduang; Inyiak Jaho, Thaib Umar di Sungayang dan seterusnya.

Menurut hemat penulis, mayoritas atau kalau bukan semuanya, para ulama-ulama besar tadi, secara utuh menurut biografi yang terbaca, dikenal bukan karena lahir dari sebuah pesantren, surau, madrasah atau sekolah, tetapi setelah mengalami penjelajahan dan eksplorasi ilmu melalui pendidikan di berbagai tempat, baik formal maupun informal dengan kesempurnaan upya mereka ber-autodidak . Dimulai pendidikan awal dari keluarga yang pada umumnya, ayah mereka sudah ulama dalam ukuran yang relatif mumpuni (punya nama, disegani dan berwibawa) di masanya, kemudian memang mereka menuntut ilmu ke berbagai surau dan lalu sebagai lanjutan yang lebih dalam mereka menyauk ilmu ke sumbernya di Timur Tengah untuk memperdalam ilmu agamanya. Kemudian mereka pulang dan menjadi tempat ummat mengadukan soal-soal kegamaan dan kehidupan. Lebih dari itu mereka lebih kepada auto didak. Di antara mereka (sebagian besar) berbasis madrasah atau surau atau lembaga pendidikan tempat pusaran kehidupan. Zainudin Labay el Yunusi, berdua dengan saudara perempuannya Etek Rahmah El-Yunusiah yang satu-satunya ulama perempuan diberi gelar Syaikhakh oleh Universistas Al-Azhar Kario, Mesir (1960-an). Kedua besaudara ini mendirikan madrasah Diniyah Putra dan kemudian Diniyah Putri. Inyiak Rasul mendirikan Thawalib Padang Panjang sementara Inyiak Parabek dan Inyiak Canduang mendirikan madrasah di parabek dan di Candung, begitu pula inyiak Jaho di Jaho Padang Panjang. Abdullah Ahmad dengan PGAI dan Adabiyahnya. Inyiak Jambek dengan surau inyiak Jambek yang dikenal itu.


Apabila padanan klasik tadi yang disebut ulama yang dijadikan rujukan dewasa ini, maka menjadikan pesanatren sebagai wahana kaderisasi ulama meminta beberapa hal yang harus dipertimbangkan berikut ini. Pertama, pesantren sekarang harus memiliki tokoh ulama besar atau guru besar seperti kiyai kalau di Jawa. Tokoh ini bukan saja menjadi guru yang mengajarkan ilmu, tetapi langsung menjadi role-model bagi para santrinya sekaligus soko gru atau tonggak utama bagi ustaz dan ustazah serta guru di pesantren tersebut. Menurut hemat penulis, tokoh yang seperti disebutkan tadi itu yang langka (untuk tidak menyebutkan tidak ada) sekarang ini di pesantren, di Sumbar. Pada pondok pesantren ini harus ada semacam kiyai tadi yang di sini boleh disebut Buya, Tuanku atau Inyiak. Beliau-beliau itulah yang menjadi motor penggerak, oran tua dan tokoh utama pemilik otoritas penuh pengendali ilmu, moral, akhlak dan kharisma sebuah pesantren.

Kedua, soal subyek ilmu dan kurikulum yang diajarkan. Sudah dimaklumi, bahwa apapun pesantrennya, sekolah dan madrasahnya dewasa ini yang ingin tamatan atau lulusannya mendapat civil effect dan pengakuan pemerintah, seyogyanyalah menggunakan kurikulum resmi pemerintah yang menggabungkan ilmu agama dan ilmu umum. Seberapa jauh tingkat daya serap santri, siswa atau murid mampu mengikuti dan menguasai mata pelajaran yang sangat banyak tersebut, tentu perlu direnungkan. Bila sosok ulama klasik masa lalu yang akan dilahirkan, maka mata belajaran atau subyek ilmu-ilmu yang diajar dan dipelajari harus diseleksi sedemikian rupa dan yang paling utama adalah ilmu-ilmu agama itu sendiri yang diprioritaskan. Ulumul qur’an dan ulumul hadist, fikih dan ushul fikih, tauhid, ilmu tasawuf, ilmu akhlak dan seterusnya. Semua itu harus secara simultan lebih intensif menguasai Bahasa Arab, sehinggga pada kelas tertentu sudah mampu menguasai kitab gundul atau kitab kuning secara memadai. Kompetensi penguasaan ilmu dan ilmu alat yang disebut Bahasa Arab itu, tidak bisa ditawar-tawar, alias sudah suatu kewajiban utama. Sejauh ini, untuk mendukung optimasi kompetensi sebagai kader ulama, mata pelajaran pendukung seperti matematik, dan dasar-dasar ilmu ekonomi, perlu dipertimbangkan pula untuk mampu menjadi bekal nanti ketika pada saatnya para santri yang selesai belajar di pesantren ini menjadi tempat ummat bertanya kelak untuk menghitung pembagian harta warisan, ilmu faraidh, pembagian zakat, infak dan sadakah serta penggerak dan inspirator ekonomi syariah di kemudian hari. Rasanya, ilmu-ilmu umum dan humaniora seperti sejarah, ilmu kewarganegaraan dan lain-lain tadi harus diseleksi sedemikian rupa, sehinggga ketersediaan waktu, serta kekuatan daya tangkap santri terhadap ilmu-ilmu pokok agama lebih kondusif dibandingkan dengan segala macam ilmu harus dijejalkan ke otak mereka.


Di balik itu, yang perlu sekarang adalah tekad, keberanian, kerja keras, kerjasama dan sama-sama bekerja untuk merevitalisasi pesantren sebagai wahana kaderisasi ulama. Untuk ini perlu beberapa langkah. Pertama, perubahan reorientasi institusional. Institusi pesantren seharusnya memang bertujuan untuk tafaqquh fi al-din (QS). Selama ini, secara selintas untuk Sumbar, kelihatannya pesantren sama saja dengan madrasah agama yang penguasaan ilmu pengetahuan umum kurang, ilmu dan pengetahuan agama juga kurang. Ada resiko memilih yang perlu diambil. Bila sebuah pesantren diharapkan menjadi wahana kaderisasi ulama, maka pilihan lain tidak ada kecuali memberikan porsi dominasi subyek ilmu-ilmu agama yang standart yang dominan. Kedua, input atau calon santri yang masuk harus yang punya niat dan kecerdasan yang mendukung untuk benar-benar belajar agama dan kalau mungkin, ada dalam hati mereka yang paling dalam untuk menjadi pewaris nabi, al-ulama warastatul anbiya’. Kenyataan sekarang, sekolah agama atau pesantren oleh sebagian besar generasi muda menjadi alternatif terakhir. Akibatnya, seperti yang disitir Nurckholish Madjid (2003):

“ sering kali terjadi orang-orang yang tidak lulus tes masuk perguruan tinggi kemudian lari ke pesantren untuk menjadi santri dan kemudian menjadi ulama. "Dengan demikian, terkesan bahwa orang-orang yang menjadi ulama adalah manusia-manusia sisa yang potensinya rendah. Akhirnya malah menjadi ulama-ulama yang kurang pandai." (http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0311/14/daerah/688368.htm)

Ketiga, perlu dipikirkan sinerjisitas dan hubungan yang erat, terkait dan saling menguntungkan antara pesantren dengan perguruan tinggi agama seperti IAIN dan Universitas Islam yang memilki fakultas dan program studi yang mendukung pendidikan lanjutan kaderisasi ulama. Apabila lulusan pesantren yang sudah kuat dasar-dasar ilmu agamanya melanjutkan ke perguruan tinggi Islam yang subyek studinya bertumpu pada perangkat keras ilmu-ilmu agama Islam seperti ulumul qur’an, ulumul hadist, fikih, ushul fikih, tauhid, akhlak, tasawuf dan filsafat, maka ada optimisme yang realistis untuk melahirkan ulama-ulama pada waktunya kelak.

Di sinilah tantangan baru harus berani dihadapi. Apakah sosok, kompetensi dan profile ulama yang diharapkan ummat ke depan masih yang klasik atau sudah berubah kepada yang lebih alit, kontemporer (kekinian) bahkan avant-garde (perintis ke depan/pelopor). Diramalkan, dan kelihatannya sekarang sudah semakin jelas, pengaruh media grafika dan elektronika serta perkembangan teknologi komunikasi-informasi (information communication technology/ICT) amatlah dominan dalam kehidupan sosial dan masyarakat, ummat dan bangsa sehari-hari dewasa ini. Baik pada skala dan radius lokal, nasional, regional lebih-lebih mondial atau internasional. Oral media atau mimbar langsung tatap muka, masih tetap dominan dan bertahan dan itu tampaknya lebih kepada konsumen generasi tua. Untuk generasi muda, perkembangan ICT dan media ini amatlah perlu dicermati dan diarifi dengan cerdas. Maka kompetensi ulama harus diberi bobot baru, di samping menguasai kitab kuning, ulumul qur’an, ulumul hadist, fikih, ushul fikih, tasawuf, tauhid dan filsafat dan Bahasa Arab, maka kapabilitas menggunakan bahasa asing lainnya seperti Bahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Perancis dan seterusnya serta penguasaan ICT serta media tadi, merupakan tuntutan afirmatif yang tidak bisa diabaikan. Mimbar langsung di Masjid dan Mushalla, sudah semakin diinterfensi oleh audio (radio), audio-visual (TV), dan virtual world , dunia maya electronic- internet. Yang disebut paling belakangan ini para ulama harus mencoba memberikan bimbingan kepada ummatnya melalui jagat raya yang lebih komplit melalui cellular phone dengan sms, tayangan audio-visiual, website dan blog di dunia maya tadi .

Dengan demikian, maka wacana atau diskursus tentang pesantren sebagai tempat penggodokan kaderisasi ulama, perlu menekankan bahwa pengajaran ilmu di sini harus diseiringkan dengan penguasaan perangkat ICT dan media tadi. Dengan demikian, tentulah diperlukan laboratorium bahasa, laboratoium komputer, perpustkaan konvensional dengan kitab-kitab dan buku-buku putih dan kuning serta diseiringkan bahkan harus disejajarkan dengan keberadaan perpustakaan moderen digital yang on-line dengan seluruh jaringan koneksi internet di dunia. Itu semua tentulah tantangan yang amat besar. Sanggup atau tidak, secara ainul dan haqqul yakin semua pesantren dengan perangkat-perangkatnya (pengelola, manajemen, yayasan dan guru serta, buya dan inyiak) akan menghadapi situasi dan kondisi yang amat berubah dan sudah serta sedang berubah ini. Wa Allah a’lam bi al-shawab.***




[1] Untuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional, “Urang Minang Baralek Gadang”. Tulisan ini dalam versi yang agak panjang pernah disampaikan pada Workshop Revitalisasi Pesantren sebagai Wahana Kaderisasi Ulama, 9 Oktober 2008 diselenggarakan oleh Pondok Pensantren Diniyah Pasie, Candung, Agam.

[2]Shofwan Karim, lengkapnya DR. Drs. H. Shofwan Karim Elha, BA. MA., adalah Dosen IAIN IB Padang, Rektor Universitas Muhammadiyah Sumbar dan Sekretaris ICMI Orwil Sumbar serta Komisaris PTSemen Padang. Pendidikan, BA (1976) dan Drs (1982) IAIN Imam Bonjol Padang. MA (1991) Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. DR (2008) Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan