Transformasi Peran Ulama




Jum'at, 6/8/2010
Komentar Singgalang
Transformasi Peran Ulama
Oleh Shofwan Karim
   
Alquran menyatakan bahwa ulama itu adalah pewaris para Nabi. Harus dipahami yang diwariskan bukan status kenabian tetapi peranannya dalam kehidupan ummat manusia. 

Setelah Rasulullah Nabi Muhammad saw. wafat, maka tidak ada lagi Rasul dan Nabi, karena Nabi Muhammad adalah Nabi penyudahan atau terakhir.
   
Oleh karena itu yg diwariskan kepada ulama adalah tugas dan peranan menjaga agama, ummatnya dan harakat keislaman.  Tentu saja ada tuntutan yg lebih dari itu. 

Misalnya pendapat yg menyatakan bahwa Nabi Muhammad bukan saja utusan Allah untuk mengembangkan dan menjaga agama, ummat dan kemanusiaan, tetapi menjadi panglima perang,  pemimpin negara dan pemerintahan di City-State (Negara-Kota) Madinah dan pemimpin umat manusia antar komunitas (di Kota Nabi ini hidup pula komunitas Yahudi, Nashrani, Zoroaster dan golongan lain). 

Karena itu  Nabi memerankan dwi-fungsi: agama dan urusan dunia. Yang kedua ini mencakup  kemanusiaan, negara dan pemerintahan, pertahanan, sosial, ekonomi dan kesejahteraan serta hubungan internasional. 

Maka dikalangan modernis muslim pendapat tentang profil ulama itu cukup beragam. Di dalam kenyataan sejarah, telah terjadi transformasi peranan ulama dari zaman ke zaman. Mulai dari formasi tradisional ke formasi modernis.

Pertama, ulama cukup menjadi ustazd, buya atau muballigh yg datang ke jamaah atau jamaah yg datang belajar atau minta fatwa. Soal kehidupannya, serahkan kepada inisiatifnya yang lain, atau profesi sampingannya atau profesi  utamanya yang lain. 

Bagi pemahaman yang satu ini,  ulama bukan profesi tetapi fungsi pengabdian non-ekonomik. Bahkan ada anggapan  bahwa ulama tidak pantas dibayar kalau datang memberikan pengajian. Pengajian hanyalah tugas sucinya.  

Pendapat lain,  fungsi, tugas dan peranan ulama harus dilakukan reinterpretasi ulang dan bersesuaian dengan tuntutan  kehidupan modern. 

Mungkin begini. Ulama pada dasarnya sesuai makna generik adalah orang berilmu. Karena itu tugasnya ialah mengamalkan ilmunya dan mengajarkan ilmunya itu kepada warga ummat dan generasi mudanya.

Tetapi peranan itu dalam kenyataan dalam sejarah komunitas Islam, amatlah transformatif, komplek dan berubah-ubah. 

Sejak wafatnya Rasullah, masa Sahabat Khulafa al-Rasyidun,  masa Dinasti Umayah, Abbasiyiah, Fathimiyah, Dinasti Turki Usmani, Dinasti Shafawiyah di Persia, Dinasti Mughal di anak benua India, ulama dituntut lebih luas dari hanya berilmu dan pengajar atau tempat bertanya ummatnya.  
    
Kalau di masa Khalifah Rasyidin Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, khalifah masih mendekati fungsi, tugas  dan peranan kenabian. Transformasi terjadi  setelah itu. Era  pasca Khulafa al-Rasyidun ini, mulai dari Daulat-Dinasti tadi sampai bubarnya Dinasti Khalifah Turki Usmani  1924. 

Ada persepsi bahwa ulama menjadi partner khalifah, Amir dan Sultan di masa dinasti dinasti tadi. Sebalikna ada persepsi bahwa ulama menjadi topeng khalifah atau pemerintahan untuk melegalisasikan kebijakan dalam bentuk fatwa-fatwa ulama. 

Pada era dan masa lain, pada berbagai negara dunia Islam setelah kemerdekaan yang direbut dari kaum penjajah Barat sejak awal sampai pertengahan abad-20, ulama mengubah posisi dalam segala versinya.

Ada ulama yang di belakang atau bahkan di samping pemerintah, ada pula masanya ulama berhadap-hadapan dengan pemerintah alias "lawan" pemerintah.  

Kita menganggap transformasi peranan ulama yang substantif adalah memelihara agama dan menjaga nilai kedamaian dan kemanusiaan tanpa harus memihak menurut arah angin.***
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan