PERSATUAN ATAU PERSATEAN NASIONAL?
RESONANSI Ahmad Syafii Maarif
PERSATUAN ATAU PERSATEAN NASIONAL?
(I)
Sekitar tahun 1921, ketika pertengkaran keras antara CSI (Centraal
Sarekat Islam) dan PKH (Partai Komunis Hindia), Tan Malaka (2 Juni 1897-21 Feb.
1949), seorang tokoh Marxisme legendaris yang tidak anti Islam berupaya melerai
konflik itu. Sikap Abdoel Moeis, tokoh CSI, malah sebaliknya, agar SI dan PKH
tidak lagi bekerja sama. Dalam suasana panas ini, Tan Malaka merasa tertolong
oleh tokoh Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikusoemo (24 Nop. 1890-4 Nop. 1954) yang
justru membelanya. Seperti kita maklum, baik Tan Malaka maupun Abdoel Moeis
sama-sama berasal dari Ranah Minang, tetapi berbeda ideologi dan sikap politik.
Rupanya Ki Bagoes melihat bahwa
perpecahan antara kedua partai akan sangat melemahkan perjuangan untuk menuju
kemerdekaan tanah air. Kita kutip Tan Malaka:
Untungnya, Haji Hadikusumo, pemimpin
Muhammadiyah, cepat maju ke depan,
dan menyatakan setuju dengan pidato
saya. Ia pun menjunjung tinggi persatuan
di antara rakyat tertindas. Ia berani
menyatakan sebagai penutup pidatonya bahwa barang siapa yang memecah-belah
pergerakan rakyat, bukanlah seorang Muslim sejati. (LIh. Harry A. Poeze, Tan
Malaka, Pergulatan Menuju Republik, jilid I. Jakarta: Grafitipers, 1988,
hlm. 211).
Tentu
sebuah pendapat yang dilontarkan dipengaruhi oleh waktu dan tempat.
Moeis, novelis-politikus dan penulis Salah Asuhan itu
yang pengetahuan agamanya tidak seluas Ki Bagoes, malah menentang kerjasama
antara pihak komunis dengan pihak Islam. Pernyataan Ki Bagoes tentang orang yang
memecah pergerakan rakyat “bukanlah seorang Muslim sejati” adalah sebuah
keberanian tingkat tinggi di era itu. Dengan bantuan Ki Bagoes Tan Malaka
rupanya merasa berasa di atas angin dan senang sekali.
Usia keduanya berbeda tujuh tahun. Keduanya ingin agar buhul
persatuan rakyat tidak berubah menjadi persatean rakyat. Itulah seni politik
sepanjang zaman yang bisa memunculkan sikap berbeda, seperti yang ditunjukkan
Moeis, tergantung kepada bacaan peta masing-masing dengan syarat membudayakan
sikap lapang dada dan tanggung jawab untuk meraih tujuan yang lebih besar:
kemerdekaan tanah air. Tampaknya Ki Bagoes mendasarkan pendiriannya kepada
tujuan jangka panjang itu, sekalipun dia faham bahwa sebagai filosofi ajaran
Islam dan Marxisme tidak akan pernah bertemu.
Dalam bacaan saya, semua para pendiri bangsa telah menjadikan
kredo persatuan sebagai senjata yang paling ampuh untuk meraih tujuan
perjuangan nasional, sekalipun tidak jarang perbedaan pendapat di antara mereka
cukup tajam. Generasi yang lebih muda seperti Soekarno dan Mohammad Hatta juga
berbeda pendapat tentang pembubaran PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh
Sartono tahun 1930 dan kemudian membentuk partai baru Partindo (Partai
Indonesia). Soekarno tampaknya tidak keberatan, sedangkan Hatta mengeritiknya
sebagai suatu yang “memalukan dan perbuatan itu melemahkan pergerakan rakyat.”
(lih. Mohammad Hatta, Memoir. Jakarta: Yayasan Hatta, 2002, hlm. 243).
Apa kata Bung Karno tentang kredo persatuan yang dilancarkan PNI
untuk melumpuhkan politik devide et impera (pecah-belah dan kuasai) dari
pihak kolonial? Ini kutipannya:
PNI menjawab politik devide
et impera itu dengan mendengungkan tekad persatuan Indonesia,
menjawab politik yang memecah belah itu dengan adanya mantram nasionalisme
Indonesia yang merapatkan barisan. Dari zaman sampai zaman sekarang
berabad-abad rakyat kami itu kemasukan baji pemecah, tak henti-hentinya baik
zaman kompeni maupun zaman modern. Memang di dalam perceraian dan dalam
ketidakrukunan itulah letaknya kelemahan kami, di dalam perceraian kami itulah
letaknya kemenangan musuh, “verdeel en heers” [pecahkanlah, nanti kamu
bisa memerintahinya] itulah mantra tiap-tiap rakyat yang mau mengalahkan rakyat
lain…(Lih. Soekarno, Indonesia Menggugat: Pidato Pembelaan Bung Karno di
Muka Hakim Kolonial. Yogyakarta: Aditya Media-Pustep UGM, 2004, hlm. 134.
Cetak miring sesuai dengan sumber aslinya.
Bung Karno
yakin betul dengan filosofi pribasa: bersatu itu teguh, bercerai itu runtuh. Kredo
persatuan dipegang Bung Karno sampai akhir hayatnya, setidak-tidaknya secara
verbal.
(Resonansi untuk 16 Mei 2017)
Komentar