Hikmah Ramadhan.1429.Kesalehan Sosial

Kesalehan Sosial

Oleh Shofwan Karim

Di ujung tubir senja akhir Sya’ban, maka berniatlah kaum beriman untuk berpuasa sebulan Ramadhan. Tak lain, nereka mendambakan diri menjadi kaum muttaqin (QS, 2: 183). Para muttaqin berharap dapat menghimpun dua kesalehan: nafsi dan jama’i. Yang pertama kesalehan individu atau kata KH Mustofa Bisri kesalehan ritual, ibadah dalam rangka habl min Allah; dan kedua kesalehan sosial, habl min al-nas. Keduanya, seyogyanya tawazzun, berimbang dan syumuli, menyeluruh dan terpadu. Shaum dan qiyam al-Ramadhan menghimpun semua daya melatih badan dan jiwa. Antara konsep fikih dan tasawuf, ibadah syariat, hakikat dan makrifat.

Para fuqaha pada tahap tertentu membatasi definisi awam tentang puasa sebagai menahan dalam makna fisik. Tetapi kaum sufi, hakiki dan bathini, lebih menekankan tawazzun, keseimbangan antara puasa badan dan jiwa. Karena itu Imam Al-Ghazali menyebut puasa kaum khawash al-khawash adalah level tertinggi, sehingga puasa adalah upaya paling prima untuk membersihkan pikiran, perasaan, hati, jiwa atau dhamir.

Tentu saja apa yang dinisbatkan kepada pemahaman kaum fuqaha dan shufi itu tadi, sesuatu yang niscaya dan afirmatif . Saleh secara individual paling tidak berkelanjutan dan khusyuk dalam ibadah, taat dalam menjalankan perintah Allah dan berhenti dari segala yang dilarang-Nya; memelihara diri dari segala yang tercela, bersungguh-sungguh dalam kebaikan, dan rendah hati atau wara’; sambil berusaha untuk menambah rezeki tetap merasa cukup dengan nikmat yang telah dianugrahkan Allah atau qanaah; berani atau syaja’ah dalam menghadapi kesulitan, rintangan dan resiko kehidupan.

Pada dimensi lain, dan ini yang amat alit dan rumit adalah menjadikan puasa dan qiyamu Ramadhan sebagai ujud nyata kesalehan sosial. Di antaranya menumbuhkan dan memelihara sikap dan perilaku yang positif di tengah publik. Misalnya rafiq (santun), tasammuh (toleransi, lapang dada), mau berbagi dan sikap kedermawanan serta ikhlas dalam beramal. Puasa merupakan pemaksaan rasa miskin kepada semua kaum beriman, sebagai repleksi untuk diproyeksikan kepada orang dan kelompok sosial lain yang tidak berpunya. Betapa yang miskin itu merasa lapar, haus, dahaga, letih dan lelah, tetapi tidak merampok, tidak maling dan tidak korup.

Semakinlah kita menjadi miris, bila suatu komunitas tidak punya kohesi sosial yang padu hanya gara-gara ketimpangan ekonomi. Karena itu sikap taawwun, tolong menolong dan bantu membantu dalam kebaikan termasuk rezeki yang halal, politik yang berbudaya dan etis, harmoni sosial, rukun dalam kekeluargaan, semuanya merupakan pencerminan kesalehan sosial. Semakin banyak kaum berpunya berpihak atau pro-dhuafa, fakir dan miskin, seyogyanya semakin kokoh kehesi sosial itu.

Dari dimensi lain, kesalehan sosial, sebenarnya secara built-in (terbangun dari dalam) sikap keberagamaan atau religiusitas itu sendiri. Menghormati dalil yang dipegang oleh kelompok komunitas tertentu dalam beribadah dan beramal sesuai ilmu dan keyakinan yang berdasarkan dalil yang kuat (rajih), agaknya termasuk di dalam bingkai kesalehan sosial. Setelah wafatnya Rasulullah saw, dan selesainya priodesasi kekhalifahan khulafaurrasyidin, telah terjadi perbedaan penafsiran, pemahaman dan pelaksanaan beberapa konsep dan bentuk ibadah mahdhah dan muamalah atau ibadah sosial. Bahkan di dalam konteks fikih dan syariat secara umum serta akidah ushuliyyin pun sudah dimaklumi adanya beberapa mazhab. Menghormati pendapat-pendapt yang majemuk demikian pun agaknya tidak lepas dari bingkai kesalehan sosial. Oleh karena itu, perbedaan dimulainya awal Ramadhan, awal Syawal dan Zulhijjah untuk menentukan awal puasa, Idul Fitri dan Idul Adhha, merupakan dimensi lain dari kesalehan sosial. Justeru bila hal itu masih dipersoalkan oleh kalangan tertentu, substansinya dalam kesalehan sosial menjadi tidak relevan lagi. Yang pokok, rujukan pendapat dan praktik produk itu semuanya, haruslah al-Quran , sunnah shahihah dan ilmu pengetahuan yang syah. Penghormatan yang proporsional atas perbedaan-perbedaan itu, menambah makna kaitan puasa sebagai ibadah ritual yang individual, sekaligus repleksi ibadah untuk kesalehan sosial. Allah A’lam bi al-Shawab.*** Printed matter, Published on Padang Eskpres, August 31, 2008

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan