London-Kualalumpur

Surat Shofwan Karim London-Kualalumpur (3) :

Pandangan Barat terhadap Demokrasi dalam Islam

Sahabat-sahabatku di meja Redaksi. Seminar yang dibuka oleh Ketua PUM A Ghani itu mulai membentangkan hal-hal yang ideal dan yang realita. Secara ideal Islam dan demokrasi bersesuaian. Secara reliata, banyak kalangan internal Islam yang menolak apa lagi kalangan di luar Islam. Sementara itu muncul keraguan. Apakah Islam yang sesuai dengan demokrasi itu merupakan imitasi kepada demokrasi cara Barat. Ataukah ada alternatif lain sehingga demokrasi dalam Islam mempunyai kaidahnya sendiri. Lalu bagaimana pengalaman berdemokrasi di negara-negara Islam terutama di negeri serantau Asia seperti di antaranya Malaysia, Indonesia, Singapura, Thailand dan lainnya.

Sementara itu, kenyataan menunjukkan bahwa demokrasi sudah menjadi pilihan dunia dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada negara-negara berpenduduk mayoritas Islam tentu saja persoalan dihadapkan kepada institusi madani atau civil society setempat menjadi faktor dominan yang amat diharapkan dalam menggerakan roda demokrasi.

Di Malaysia dan Indonesia, misalnya.Apakah partai-partai Islam dan gerakan Islam lain yang secara langsung dan tidak langsung telah menyandang peranan itu secara signifikan. Ataukah hanya menjadi mangsa oleh kekuatan-kekuatan lain. Lalu di dalam pengertian yang lebih substantif, apakah Islam menjadi arus utama dalam kehidupan demokrasi di negeri mayoritas umat Islam itu. Bagi negeri mayoritas Islam ini , apakah sistem Pemilu mereka sudah memadai ataukah harus direformasi.

Sebaliknya pada negeri-negeri minoritas umat Islam, seperti Thailand dan Singapura, apakah yang dapat dilakukan mereka dalam keikut sertaan jalannya roda demokrasi di negeri mereka. Lalu , sebagai warga dunia global, apakah dampak pandangan dunia Barat terhadap dunia Islam, sebelum dan sesudah peristiwa 11 September 2001. Apakah orang Barat dan pakarnya mempercayai bahwa Islam memiliki prinsip demokrasi. Lebih dari pada itu, seminar ingin menilai peranan masa depan gerakan Islam dalam mengukuhkan amalan demokrasi yang sehat sesuai dengan perkembangan terkini.

Seminar ini menjadi agenda pertama dari institusi baru di Malaysia. Institusi itu adalah Sekretariat Himpunan Ulama Rantau Asia (SHURA) yang baru di kukuhkan secara resmi 22 Juli lalu. Untuk seminar ini, SHURA bekerjasama dengan Teras Pengupayaan Melayu (TERAS) dan Jama’ah Ishlah (reformasi) Malaysia (JIM). Pemakalah datang dari Geogre Town University, Univertas Islam Antar Bangsa dan bebrapa universitas di lainnya serta bebrapa partai politik, organisasi Islam, wartawan, aktivis dan LSM/NGO Asia

Menurut Prof Dr Osman Bakar, kalaulah seminar ini diadakan di Washinton DC, maka akan diliput oleh CNN dan media puncak dunia lainnya. Karena seminar sangat menarik oleh orang barat. Tajuk saja menarik bagi berbagai media. karena berbagai tanggapan. Mereka di Barat beranggapan bawahwa Islam dan demokrasi tidak relevan.

Di AS, ulama itu disebut muslim cleric. Jadi sebagian besar mereka melihat ulama hanya sebagai petugas praktis membimbing ibadah dalam makan sempit saja. Jadi kalau ulama bicara soal demokrasi, politik dan kaitanyua dengan nusantara, itu adalah sesuatu yang baru.

Lalu karena kasus Abu Bakar Baasyir sudah mendunia akibat hembusan media global, maka kata jama’ah Islamiyah menjadi amat peka di telinga mereka. Lalu, guru besar George Town University Weashington DC yang mantan aktivis Islam ABIM semasa Anwar Ibrahim itu menruskan. Fenomena PKS Indonesia di bawah Presidennya Hidayat Nur Wahid juga mencengangkanorang Amerika. Partai Islam itu akan merebut kekuasan politik di Indonesia dan hendak kemana arahnya ?

Sebaliknya, kini tumbuh bagai cendekiawan intelektual baru yang mengkaji Islam pasca peristiwa 11 September. Di samping mereka yang mencari keburukan Islam, banyak pula yang telah menemukan kekuatan dan hal positif tentang Islam. Mereka ini lebih moderat dan independen, kalau tidak bisa disebut lebih objektif. Seperti John Voll dan John Esposito dan lain-lain.

Mereka yang benci kepada Islam mendasarkankepada konteks dokrin Islam yang mereka salahfahami.. Misalnya mereka tidak faham apa itu ayat jihad. Mereka hanya melihat jihad sebagai bom mobil, bom bujnuh diri, teror dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi pihak yang berfikir seperti itu, jumlah tujuh juta umat Islam di Amerika kini dianggap membahayakan masa depan mereka.

Sebaliknya mereka yang positif terhadap Islam. Mereka mencari dan melahap sebagian besar literatur Islam. Kian lama kian simpati. Bahkan semakin banyak yang menemukan kebenaran Islam. Di dalam hubungan dengan demokrasi, mereka yang negatif terhadap Islam menganggap Islam tidak relvan dengan demokrasi. Kata mereka, tidak ada contoh demokrasi di negara Islam.

Sementara mereka yang positif, beranggapan ada nilai-nilai demokrasi dalam Islam. Nilai-nilai itu diterapkan sesuai kondisi mereka . Mereka ini menganggap Turki, Malaysia dan Indonesia adalah negeri muslim yang mengarah ke situ. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan