BUYA PROF. DR. H. AHMAD SYAFII MAARIF, PEJUANG KEADILAN SOSIAL DAN KEMANUSIAAN
BUYA PROF. DR. H. AHMAD SYAFII MAARIF, PEJUANG KEADILAN SOSIAL DAN KEMANUSIAAN
Oleh: Dr. H. Shofwan Karim., MA., Isral Naska., MA. (Pusat Studi Islam dan Minangkabau-PSIM UM Sumbar) disampaikan dalam Seminar Nasonal Buya Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, M.A, Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Sijunjung, 14 Feb 2023.
"Hidup Indonesiaku yang Bersatu; Hidup Indonesia kita, Tanah Air buat semua -Buya Syafii Maarif-"
PENDAHULUAN
Setelah wafatnya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif -yang dikenal luas dengan panggilan Buya Syafii- pada Jumat 27 Mei 2022, banyak pihak yang berpendapat bahwa sosok tersebut layak diberikan gelar pahlawan nasional. Tentu saja hal tersebut baru dapat terjadi lewat prosedur yang telah ditetapkan, yang dimulai dengan proses pengusulan.
Pemerintah Kabupaten Sijunjung merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai pengusul pertama. Ada beberapa alasan untuk hal tersebut. Pertama, karena Buya berkampung di Calau Sumpur Kudus, yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Sijunjung. Kedua, Pemkab melihat bahwa Buya Syafii sebagai tokoh nasional yang tidak pernah kehilangan kepedulian terhadap daerah asalnya. Dalam banyak kesempatan, Buya Syafii menjadi fasilitator aktif dibangunnya berbagai sarana prasarana publik di Sijunjung, yang mana manfaatnya dirasakan semua pihak.
Setelah melakukan beberapa kali diskusi awal dengan pihak Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat, muncul pemahaman bersama bahwa Buya Syafii memang layak untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional. Niat pengusulan itu semakin kuat mana kala menyaksikan banyaknya forum-forum diskusi mengenang pemikiran dan jasa Buya Syafii, yang tidak hanya dilakukan di Sumatera Barat, tapi juga dilaksanakan oleh beberapa pihak dalam skala nasional. Sebuah diskusi online yang difasilitasi UM Sumatera Barat tanggal 05 Desember 2022, dimana hadir beberapa tokoh nasional seperti Frans Magnis-Suseno, Sudhamek AWS dan Zuhairi Misrawi, mengantarkan pada kesadaran yang lebih kuat akan kepahlawanan Buya Syafii
Makalah ini akan memaparkan definisi kepahlawanan Buya Syafii sebagai pahlawan kemanusiaan. Istilah tersebut dirasa sangat tepat sebagai payung dari pemikiran Buya Syafii yang menyasar banyak isu fundamental berbangsa dan bernegara. Dan yang tak kalah penting adalah, pemikiran tersebut diterapkan dalam pola laku yang membawa Buya menjadi sahabat dan teladan bagi banyak orang, tidak hanya bagi yang berasal dari Minangkabau dan Muhammadiyah, tapi juga dari berbagai organisasi, etnis hingga agama yang berbeda.
Makalah ini utamanya adalah studi naskah pemikiran Buya Syafii Maarif dalam isu kemanusiaan. Pernyataan beberapa tokoh disertakan untuk memperkuat argumentasi. Sebagai seorang penulis yang produktif, Buya Syafii telah menulis banyak buku dan ratusan artikel sepanjang karirnya. Dari keseluruhan buku tersebut, penulis melihat bahwa Islam Dalam Bingkai Kemanusiaan dan Keindonesiaan adalah magnum opus Buya Syafii. Buku tersebut seolah menjadi pasak dan episentrum dari tulisan beliau sesudah dan sebelum itu. Buku tersebut seumpama sumur abadi yang airnya adalah pokok pikiran Buya Syafii. Jika ingin tahu tentang Buya, maka timbalah air dari sumur tersebut. Dengan demikian, makalah ini -dengan segala keterbatasan- menjadikan buku tersebut sebagai rujukan utama dengan beberapa tulisan lainnya. Pendapat-pendapat tentang Buya Syafii akan ditambahkan untuk sebagai konfirmasi dari pikiran dan tulisannya. Buya adalah seorang man of words: ia menulis dan kata-katanya dapat dipegang.
RIWAYAT SINGKAT BUYA SYAFII MAARIF
Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif atau Buya Syafii lahir pada tanggal 31 Mei 1935 di Calau, Sumpur Kudus. Hari ini, Sumpur Kudus adalah sebuah nagari (desa) yang berada di wilayah administratif Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Buya Syafii lahir dari seorang ayah yang bernama Ma’rifah Rauf Datuk Rajo Malayu dan ibu yang bernama Fathiyah. Ia hanya memperoleh kasih sayang ibu hingga berusia satu setengah tahun. Buya Syafii meninggal dunia 4 hari sebelum mencapai usia 87 tahun, yaitu pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 di RSU PKU Muhammadiyah Gamping, Sleman, Yogyakarta, pada pukul 10.15 WIB.
Pertama kali memasuki sekolah formal saat berusia 7 tahun, yaitu pada tahun 1942 di sebuah Sekolah Rakyat di Sumpur Kudus. Pendidikan keagamaan dia dapati dari Madrasah Ibtidaiyyah Muhammadiyah yang diselenggarakan pada tiap sore hari. Di samping madrasah tersebut, sebagaimana lazimnya anak-anak laki-kali Minangkabau saat itu, malam hari Buya Syafii kecil belajar di sebuah surau di kampungya. Pendidikan di SR dia tamatkan pada tahun 1947, lebih cepat dari teman-temannya. Namun demikian, karena usaha gambir yang dijalankan ayahnya menurut akibat situasi perang kemerdekaan saat itu, ia tidak dapat langsung melanjutkan pendidikan. Baru pada tahun 1950, dia baru melanjutkan sekolah ke Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Lintau, sebuah daerah yang waktu itu dicapai dengan sehari berjalan kaki.
Masa-masa awal kehidupan sangat membentuk kepribadian dasar Buya Syafii sebagai pribadi kita kenal sekarang. Kecintaan yang begitu dalam pada tanah air tampaknya dibentuk oleh situasi yang ia lalu saat kecil. Di dekat rumah Buya Syafii terdapat sebuah rumah yang pernah menjadi posko persembunyian Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Buya Syafii melihat betul bagaimana pejuang-pejuang itu berupaya keras mempertahankan eksistensi Indonesia. Bahkan beliau menyaksikan langsung Syaruddin Prawiranegara berdiskusi tentang langkah perjuangan.
Merantau ke Jawa pada usia 18 tahun, tepatnya pada tahun 1953, adalah momen-momen penempaan berikutnya Buya Syafii. Setelah sedikit lika-liku kehidupan, ia akhirnya dapat diterima di Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta. Selama di sana ia menjadi semakin intens dengan Muhammadiyah, seperti terlibat dalam Hizbul Wathan, kepanduan Muhamamdiyah. Karir jurnalistik awal juga tumbuh di sana. Ia pernah menjadi pemimpin redaksi majalan Sinar, majalah pelajar Muallimin.
Setelah menyelesaikan pendidikan pada 12 Juli 1956, dia tidak dapat melanjutkan langsung pendidikannya karena masalah biaya. Apalagi satu tahun sebelumnya, yaitu pada 5 Oktober 1955, ayah Buya Syafii meninggal dunia. Namun demikian, ia berangkat ke Lombok sebagai anak panah Muhammadiyah untuk mengabdi di sana atas permintaan Konsul Muhammadiyah Lombok. Salah satu alasan khusus ia terpilih adalah karena Konsul tersebut mencari anak muda Minangkabau sebagai pengajar. Buya Syafii mengabdi sebagai pengajar di sebuah sekolah Muhammadiyah di Pohgading, Lombok Timur selama satu tahun. Ia menyempatkan diri pulang kampung sebentar saat pengabdian itu selesai, tepatnya pada bulan Maret 1957. Saat itu Buya Syafii berusia 22 tahun.
Tidak lama, Buya Syafii muda kembali merantau ke Jawa. Ia menunju Surakarta untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Ia memperoleh gelar sarjana muda di Universitas Cokroaminoto pada tahun 1964. Gelar doktorandus ia dapatkan dari IKIP Yogyakarta pada tahun 1968. Selama kuliah ia melanjutkan karir jurnalistiknya di Suara Muhammadiyah, bahkan sempat menjadi redaktur di sana. Selain itu, untuk membiaya hidup, ia melakukan beberapa pekerjaaan lainnya, seperti menjadi guru mengaji, buruh, lalu menjadi palayan toko kain pada tahun 1958. Ia mencoba berdagang kecil-kecilan setelah berhenti menjadi pelayan toko. Ia juga sempat menjadi guru honorer di Baturetno dan Solo.
Buya Syafii meneruskan pendidikan S2nya dalam ilmu sejarah di Departemen Sejarah Ohio University di Amerika Serikat. Gelar doktor ia peroleh dari program Studi Bahasa dan Perdaban Timur Dekat, Universitas Chicago. Di sana, bersama Amin Rais dan Nurcholis Madjid, ia meneliti di bawah bimbingan Fazlur Rahman. Ketiga sosok ini oleh Gus Dur dijuluki “Tiga Pendekar Chicago.
Karir akademis dan organisasi Buya Syafii setelah itu berjalan cemerlang. Dia memperoleh status guru besar di IKIP Yogyakarta. Selain itu menjadi ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dari tahun 1998 hingga 2005. Setelah menuntaskan jabatan di Muhammadiyah, Buya Syafii kemudian aktif di berbagai organisasi dan media. Maarif Insititut didirikan untuk mengembangkan pemikirannya. Selain itu ia juga aktif menulis pemikiran-pemikirannya di kolom Resonansi Republika. Selama hidup ia adalah penulis yang sangat produktif, menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang Islam dan Kebangsaan. Ini membuatnya kerap diundang untuk berbicara tentang isu-isu keIndonesiaan.
Pada tahun 2008, ia diganjar sebagai penerima Ramon Magsaysay Award dari pemerintah Philipina karena dipandang berkontribusi aktif mewujudkan kesetaraan dan perdamaian. Terdapat empat catatan penting yang menjadi pertimbangan Buya diberikan award. Pertama, ia dipandang berhasil menjadikan Muhammadiyah sebagai pilar penting transisi damai ke alam demokrasi ketika kejatuhan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Kedua, ia dipandang sebagai tokoh besar yang aktif menjembatani dialog antar agama di Indonesia, yang dianggap berhasil mereduksi konflik beragama. Ketiga, ia dicatat sebagai tokoh yang sangat lantang berbicara tentang terorisme, bahwa tindakan biadab itu bukan bagian dari ajaran Islam. Dan terakhir, ia dianggap sebagai tokoh penting yang menebarkan toleransi dan pluralisme di Indonesia, yang mana hal ini dianggap menciptakan kesetaraan dan keadilan di antara umat beragama di Indonesia.
Buku-buku yang ditulis Buya Syafii telah menginspirasi banyak tokoh di Indonesia untuk memperjuangkan isu-isu kemanusiaan dalam saluran-saluran kenegaraan dengan cara-cara yang beradab dan konstitusional. Sebagai tokoh Muslim, ia mengampanyekan agar umat Islam tiada henti berupaya menjalankan ajaran Islam yang dapat menjadi solusi bagi permasalahan semua pihak. Buku-buku tersebut adalah Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis (1975), Dinamika Islam (1984), Islam, Mengapa Tidak? (1984), Percik-percik Pemikiran Iqbal (1984), Islam dan Masalah Kenegaraan (1985), Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (1993), Islam, Kekuatan Doktrin, dan Kegamangan Umat (1997), Titik-titik Kisar di Perjalananku : Autobiografi Ahmad Syafii Maarif (2009), Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan : Sebuah, Refleksi Sejarah (2009), Politik Identitas dan Masa Depan Pluralisme Kita (2010), Memoar Seorang Anak Kampung (2013), Fikih Kebhinekaan (2015), Krisis Arab dan Masa Depan Dunia Islam (2018), Membumikan Islam (2019), dan Percaturan Islam dan Politik (2021)
BUYA SYAFII, KEADILAN SOSIAL DAN KEMANUSIAAN
Secara umum, kemanusiaan dapat dimaknai sebagai hal-hal yang berhubungan dengan hak-hak dasar manusia yang mesti dipenuhi, agar manusia dapat hidup secara terhormat dan bermartabat. Dalam perspektif Buya Syafii, kemanusiaan dipandang dalam bingkai Pancasila yaitu jenis pemahaman kemanusiaan yang beranjak dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berTuhan, beragama, dan berbudaya.
Perhatian Buya Syafii terhadap isu kemanusiaan di Indonesia secara umum mencakup dua aspek, yaitu keadilan sosial dan pendidikan. Keduanya dipandang sebagai prasyarat utama untuk menyelesaikan berbagai masalah bangsa, termasuk masalah radikalisme dan kekerasan.
Keadilan Sosial
Kehidupan manusia yang terhormat dan bermartabat adalah kehidupan manusia yang bebas dari berbagai ketidakadilan sosial, seperti lepas dari eksploitasi kelompok yang lebih superior atau dihormati tanpa memandang latar belakang suku, agama, ras dan kelompok. Keadilan sosial juga tentang bagaimana setiap warga negara mendapat perlakukan yang sama dan bebas dari diskriminasi dalam bentuk apapun. Dalah hal hubungannya dengan isu kemanusiaan, perwujudan keadilan sosial adalah cara konkrit untuk menghormati seorang dan sekelompok manusia.
Dalam memperjuangkan kemanusiaan, isu keadilan sosial adalah salah satu isu fundamental yang senantiasa menjadi perhatian Buya Syafii. Keadilan sosial adalah prasyarat yang diyakini Buya Syafii dapat menjamin kemanusiaan. Dengan kata lain, tanpa terwujudnya keadilan sosial manusia tidak dapat hidup dalam suasana dimana hak-hak mereka sebagai manusia terpenuhi dengan sebaik-baiknya.
Ada banyak tulisan dimana Buya Syafii mengartikulasikan pemikirannya tentang ini. Buya Syafii kerap menunjukkan kegelisahannya akan tidak kunjung terwujudnya sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Dalam kolom Resonansi di Republika yang berjudul Praksisme Pancasila, ia menulis: ““Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sebagai tujuan kemerdekaan bangsa sudah menjadi kenyataan? Jawabannya: sama sekali belum! Masalah keteledoran fundamental inilah yang mengganggu perjalanan sejarah modern Indonesia untuk maju lebih cepat dan percaya diri.”
Dalam tulisan yang sama Buya Syafii mencemaskan bahwa akan terjadi kerusuhan yang sangat merusak ketika perwujudan keadilan sosial berjalan tersendat-sendat. Dalam sebuah diskusi dalam acara yang dinamai Asian Youth Day, sebagaimana yang dikutip banyak media nasional, seperti Merdeka, Kompas, Tempo, dll, Buya Syafii menyampaikan bahwa kesenjangan sosial adalah salah satu faktor dasar yang menyebabkan tumbuh suburnya paham radikalisme dan intoleransi. Sebelum itu, Buya secara konsisten menyatakan pesan senada di berbagai kesempatan.
Dalam perspektif Buya, mewujudkan keadilan sosial di Indonesia adalah tugas semua pihak yang berdaya di Indonesia, tanpa terkecuali. Akan tetapi Buya melihat bahwa tanggung jawab yang lebih besar berada di pundak para politisi. Namun, ia menyayangkan bahwa para politisi yang punya tanggung jawab, wewenang dan kekuatan untuk menciptakan keadilan sosial “sukar untuk diajak bekerja sama.” Pernyataan ini mengindikasikan pemikiran Buya Syafii, bahwa kekuatan politik semestinya menghabiskan energinya untuk mewujudkan keadilan sosial.
Dalam berbagai tulisan, Buya Syafii menekankan bahwa pembangunan nasional semestinya diarahkan agar terwujudnya keadilan sosial lewat pemerataan pembangunan. Kemerdekaan berarti juga memerdekakan orang dari kemiskinan yang muncul dari sistem ekonomi yang hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Salah satu yang menjadi perhatian Buya Syafii dalam konteks ini adalah desa-desa. Indonesia, menurutnya Indonesia adalah “kumpulan dari ribuan desa yang hampir separuh adalah desa tertinggal.” Dalam Resonansi-nya di Republika, Buya Syafii menyebut bahwa nasionalisme politik telah berhasil memerdekakan manusia dari penjajahan fisik bangsa asing. Nasionalisme ekonomi yang sekarang diperlukan untuk memastikan terwujudnya keadilan sosial.
Keresahan Buya Syafii tentang keadilan sosial bertabur di hampir semua tulisannya, baik tulisan di media maupun di buku-buku. Sebagai seorang sarjanawan Muslim dan seorang Muslim yang taat, Buya melihat bahwa keadilan sosial salah satu tujuan mulia ajaran Islam. Sebuah tujuan yang dapat dinikmati siapa saja, apapun agama yang mereka anut. Umat Islam mesti mencurahkan tenaga dan perhatian agar semua pihak mendapat solusi dari masalah-masalah yang mereka hadapi, salah satunya ketimpangan sosial (Syafii Maarif, 2015).
Dalam diskusi online yang diadakan UM Sumatera Barat pada 05 Desember 2022, Sudhamek AWS menceritakan kesaksian betapa Buya sangat memperhatikan isu pemerataan ekonomi. Ia sering resah tentang gaji buruh yang tidak memadai untuk hidup layak. Sudhamek mengaku bahwa ia dan Buya telah lama berdiskusi tentang sistem ekonomi Pancasila dan sedang dalam upaya agar itu diterapkan dalam kehidupan bernegara lewat posisi mereka di BPIP. Akan tetapi upaya tersebut belum selesai seiring dengan wafatnya Buya Syafii. Sudhamek mengakatan “Salah satu perhatian beliau adalah mewujudkan cita-cita pendiri bangsa untuk membumikan pasal 33 UUD 1945 dan sila ke lima Pancasila. Beliau memesan supaya disusun suatu sistem ekonomi Pancasila.”
Wacana-wacana Buya Syafii tentang penerapan ajaran Islam di Indonesia dimana sikap toleransi, inklusif dan ramah menjadi karakter utama adalah wacana yang tidak terpisahkan dari konsep keadilan sosial Buya Syafii. Ia menyatakan bahwa:
“Keislaman dan keindonesiaan harus dianyam dalam satu hamparan luas yang menyediakan ruang gerak bagi semua warga secara adil. Tentu Islam yang ditawarkan adalah Islam yang toleran, inklusif, dan ramah terhadap siapa saja yang punya kemuan baik untuk membangun Indonesia sebagai sebuah perumahan yang asri bagi seluruh penghuni, warga negara maupun warga asing. Islam harus menjadi tenda besar bangsa. Sebagai tenda besar; pemimpin-pemimpin agama ini haruslah selalu menampakkan kearifan dengan kualitas tinggi” (Syafii Maarif, 2015, hal 39).
Buya Syafii menekankan bahwa kemajemukan adalah fakta sosial yang nyata di Indonesia, dan itu dianggap sudah menjadi ketentuan Tuhan. Berangkat dari ini dan berdasarkan pemahamannya terhadap ayat-ayat Alquran, Buya Syafii menulis:
”Dalam hal pluralisme (paham kemajemukan agama), Al-Quran tampaknya berangkat lebih jauh. Tidak saja orang harus mengakui keberagaman agama yang dipeluk oleh umat manusia, mereka yang tidak beragama pun harus punya tempat untuk melangsungkan hidupnya di bumi. Dalam masalah ini Alquran ternyata lebih toleran dibandingkan dengan kebanyakan umat Islam: memusuhi kaum ateis. Bahwa Alquran selalu mengajak manusia untuk beriman karena beriman itu teramat penting bagi perjalanan hidupnya sampai di akhirat, tapi jika mereka tetap memilih untuk tidak beriman, apakah harus dihukum berdasarkan agama? Memang iman memberikan keamanan ontologis kepada manusia dalam pengembaraan hidupnya yang sarat keguncangan dan tantangan, tetapi pertanyaannya, jika seseorang merasa tidak memerlukan keamanan ontologis itu, mau diapakan? Tugas para nabi dan pengikutnya hanyalah mengajak manusia untuk beriman kepada Allah dan hari akhir dengan cara-cara beradab, penuh kearifan, dan jauh dari paksaan” (Syafii Maarif, 2015, hal 167).
Tentang sikap ini Romo Frans Magnis-Suseno dalam risalahnya yang berjudul “Buya Ahmad Syafi’i Ma’arif: Pahlawan Nasional” memberikan kesaksian yang menggetarkan hati tentang sikap ramah Buya Syafii kepada orang yang berbeda agama. Ia menulis:
“Sekaligus Buya berhasil dalam hal yang sangat penting agar kita, bangsa yang majemuk, betul-betul bersatu: Buya adalah orang dengannya mereka yang berbeda agama merasa aman dan didukung. Buya memperkenalkan apa itu Islam. Ia memancarkan agamanya, Islam, sebagai agama yang simpatik, yang memberi semangat, yang positif, padanya semua, saya sebagasi orang Katolik, teman-teman beragama Buddha atau Hindu, dapat merasa aman. Buya bisa kritis terhadap pemerintah dan terhadap segala macam kemunfikan, tetapi ia selalu positif. Islam yang diperlihatkan Buya muncul sebagai kekuatan inklusif. Sebagai tokoh Islam Buya sekaligus terbuka bagi semua, dan bisa terasa oleh semua sebagai sahabat. Buya menolak segala kepicikan, ia tidak dapat mengerti mengapa atas nama agama orang lain dimusuhi. Sebagai orang Katolik saya merasa dekat dengan Buya, justru Beliau sebagai orang Islam.”
Buya Syafii sendiri hidup sebagai pribaid yang egaliter, demokratis, santun dan tidak pendemdam. Ia tampil secara tulus sebagai wujud hidup dari ide dan pemikirannya. Prof Haedar Nashir -tokoh yang sangat dekat dengan Buya Syafii- menyebut Buya Syafii sebagai rumah terbuka yang siapapun boleh datang dan berinteraksi dengan dirinya . Ia menulis: “Kelebihan Buya Syafii dalam mengusung interaksi dan pemikiran antariman dan atargolongan disertai ketulusan atau bersikap apa adanya, tanpa banyak retorika dan bumbu-bumbu simbolisme. Apalagi ada unsur politisasi, jauh panggang dari api. Sikap inkulisf yang alamiah seperti inilah yang membuat Buya memperoleh trust atau kepercayaan tinggi di masyarakat luas, termasuk di kalangan pemuka agama-agama dan tokoh bangsa lainnya”
Jadi, konsep keadilan sosial yang diperjuangkan Buya Syafii lewat tulisan-tulisan dan lakunya adalah jenis keadilan yang menyeluruh. Pada saat-saat tertentu, dia melihat keadilan sosial dari perspektif ekonomi. Sistem ekonomi harus dibangun dengan niat untuk memperhatikan kepentingan ekonomi semua orang, tidak hanya sekelompok orang serakah yang dikenal luas sebagai oligarki.
Pada saat lainnya, ia melihat keadilan sosial sebagai prinsip yang menjiwai interaksi antara orang-orang dari latar belakang yang berbeda. Semua orang, sepanjang memiliki niat baik terhadap kemajuan bangsa harus dihargai dan dihormati. Sesama umat beragama (theist) harus hidup berdampingan satu sama lainnya, saling menghargai dan menghormati tanpa perlu mengorbankan keyakinan pribadi. Bahkan seorang tidak percaya Tuhan pun (atheist) juga mesti dihormati hak hidupnya, sepanjang sama-sama sepakat untuk memajukan masyarakat. Inilah semangat dasar narasi Buya Syafii tentang toleransi dan pluralisme.
Pendidikan
Ketika berbicara tentang pendidikan, Buya Syafii berpijak dari latar belakangnya sebagai seorang cendikiawan Muslim yang berkepentingan agar ajaran Islam menjadi solusi bagi masalah kemanusiaan di Indonesia, utamanya adalah masalah kesenjangan sosial. Pemikiran Buya Syafii tentang pendidikan adalah konsekuensi logis dari keprihatinan beliau terhadap isu kemanusiaan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Baginya, isu kompleks tersebut hanya dapat diselesaikan oleh-oleh mereka yang tercerahkan lewat proses pendidikan.
Bagi Buya Syafii pendidikan harus substantif, yaitu proses terencana yang diupayakan untuk menciptakan apa yang dia sebut sebagai “manusia baik,” yaitu mereka yang (a) cerdas, (b) merdeka dan (c) tulus. Tentang ini Buya Syafii menulis” Pendidikan yang lebih berorientasi kepada bentuk formal, tetapi mengabaikan substansi untuk menciptakan manusia baik yang cerdas, merdeka dan tulus hanya akan melahirkan para penganggur, sekalipun menyandang sederetan titel.” (Syafii Maarif, 2015, hal 39).
Dalam sudut pandangnya sebagai muslim, Buya Syafii melihat bahwa pendidikan berhubungan erat dengan upaya untuk kontekstualisasi ajaran Islam di Indonesia. Ia meyakini bahwa agar Islam menjadi rahmat dan solusi bagi semua pihak, dapat menjadi jalan keluar dari masalah-masalah kemanusiaan, maka umat Islam harus memiliki kemampuan ijtihad. Ia menulis:
“Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai sesuatu yang hidup dan menghidupkan pada masa kita tidaklah mungkin jika kita tidak berani menilai secara kritikal seluruh pemikiran Muslim masa lampau yang memang kaya itu. Dengan keberanian pula kita ambil mana yang relevan dengan masa dan kepentingan kita stelah kita uji dengan ajaran Alquran dan Sunnah berdasarkan hasil ijtihad kita dengan merujuk kepada kedua sumber pokok itu” (Syafii Maarif, 2015, hal 270).
Pendidikan dalam perspektif Islam menjadi sangat penting bagi Buya Syafii dalam konteks ini. Pendidikan Islam mesti memberi pengetahuan dan menumbuhkan kemampuan berpikir kritis. Ia menulis:
“pekerjaan ijtihad tidak diragukan lagi sebagai pekerjaan besar yang memiliki cakrawala pandangan yang luas, dalam dan cerdas... Sebagai kunci penting untuk kerja ijtihad itu, maka pengetahuan bahasa Arab sangatlah mutlak di samping pengenalan terhadap rekam-jejak sejarah Islam sejarah masa dini sampai sekarang dengan sikap kritikal.” (Syafii Maarif, 2015, hal 39).
Buya Syafii juga memandang pendidikan dalam skala yang lebih luas, yaitu mencakup semua hal fundamental bagi kemajuan bangsa. Ia merasakan keresahan yang mendalam tentang kualitas Umat Islam sebagai umat mayoritas. Umat yang seharusnya menjadi lokomotiv kemajuan bangsa, justru berada dalam keadaan sebaliknya. Ia menulis
“Sudah sejak lama kita merisaukan kesenjangan yang parah antara jumlah mayoritas umat Islam Indonesia dan kualitas kehidupan mereka yang tertinggal jauh di buritan pada hampir semua bidang, khususnya di bidang ilmu, teknologi dan ekonomi. Oleh sebat itu, untuk melangkah ke depan, kulaitas ini harus mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemimpin Islam Indonesia agar kesenjangan itu secara berangsur dan sadar dapat dipertautkan. Posisi mayoritas tunakulitas akan menjadi beban Islam sebagai agama yang ingin membangun peradaban asri yang berkualitas tinggi di muka bumi” (Syafii Maarif, 2015, hal 224).
Lebih jauh, Buya Syafii adalah salah satu tokoh besar yang menyerukan agar dihentikannya dikotomi pendidikan agama dan umum dan mengusulkan penerapan konsep the Unity of Knowledge (kesatuan ilmu pengetahuan). Ia menulis:
“Dalam konsep ini, apa yang dikenal sebagai konsep pendidikan sekuler dan konsep pendidikan agama telah kehilangan relevansinya. Seluruh cabang ilmu pengetahuan dalam konsep ini bertujuan untuk membawa manusia mendekati Allah, sebagai sumber tertinggi dan segala-segalanya. Dalam ungkapan lain, sebutan serba Islam untuk berbagai cabang ilmu pengetahuan tidak diperlukan lagi, seperti kedokteran Islam, psikologi Islam dan sebagainya” (Syafii Maarif, 2015, hal 231).
Jika ditelusuri lebih dalam, pendidikan dalam perspektif Buya Syafii adalah untuk menjaga harkat dan martabat manusia Indonesia (Syafii Maarif, 2015, hal 225-230). Ia menekankan bahwa bangsa Indonesia tidak akan mampu mencapai posisi terhormat di tengah pergaulan bangsa-bangsa dunia tanpa sistem pendidikan yang berkualitas. Ia merisaukan HDI (Human Development Indeks) Indonesia yang berada pada posisi yang sangat bawah. Ia menghimbau agar pendidikan dapat terjangkau oleh seluruh masyarakat Indonesia, tanpa mengorbankan kualitas. Peran guru juga menjadi perhatian. Bagi Buya Syafii, guru harus sejahtera dan berkualitas, dan bertanggung jawab.
Ia juga menghimbau agar pemerintah betul-betul memperhatikan sekolah-sekolah swasta karena telah membantu pemerintah. Baginya, bantuan terhadap sekolah swasta adalah bentuk tugas pemerintah dalam menjalankan perintah UUD. Dengan cara berpikir seperti ini, pemerintah tidak boleh berada pada posisi jumawa karena merasa telah memberikan bantuan. Tentang ini ia menulis:
“Jika kita sebut itu bantuan negara, itu memang menjadi kewajibannnya, karena bukankah menurut Pembukaan UUD, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa adalah tugas pemerintah? Dengan demikian, pihak swasta telah membantu pemerintah dalam proses pencerdasan ini. Maka bantuan yang diberikan bukan karena kebaikan pemerintah, melainkan semata-mata karena menjalankan perintah UUD. Oleh karena itu, pihak swasta tidak perlu merasa rendah diri ketika menerima bantuan/subsidi dari negara untuk kepentingan pendidikan yang berada di bawah tanggung jawabnya. Bantuan negara untuk pendidikan swasta bukan karena kebaikan hati, melainkan karena kewajiban konstitusi” (Syafii Maarif, 2015, hal 230).
Tulisan-tulisan Buya Syafii tentang pendidikan tidak hanya berhenti di atas kertas saja. Sepanjang hidupnya, Buya Syafii melakukan banyak hal untuk pendidikan. Di Sumpur Kudus misalnya, Buya Syafii ternyata mengusahakan beasiswa untuk puluhan anak kampung yang berpotensi untuk dapat melanjutkan pendidikan di universitas-universitas terbaik di Indonesia. Selain itu ia juga mengupayakan juga berdirinya sebuah SMK pariwisata di Sumpur Kudus, agar anak-anak yang lebih kental kemampuan vokasinya dapat segera mendapat keahlian yang diperlukan untuk bisa cepat berdaya secara ekonomi. Di kota Padang, Buya Syafii adalah aktor utama dari revitalisasi Pondok Pesantren Hamka. Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta adalah lembaga pendidikan yang banyak sekali mendapat bantuan lewat upaya Buya Syafii.
Kesaksian Zuhairi Misrawi, cendikiawan muda NU, menyebutkan bahwa Buya adalah seorang ulama lintas golongan yang sangat peduli dengan anak muda. Ia betul-betul mengambil peran sebagai pendidik bagi semua orang. Buya Syafii sangat memperhatikan betul perkembangan generasi muda, apapun latar belakangnya “Dia adalah guru untuk semua orang. Dia adalah tokoh Muhammadiyah yang saya perlukan selayaknya kiyai di NU, saya minta pendapatnya dan saya cium tangannya.” Begitulah kurang lebih kata Zuhairi dalam sebuah diskusi online. Dalam banyak tulisan digambarkan bagaimana Buya Syafii betul-betul memperhatikan pendidikan dan menempatkan diri sebagai guru bagi semua orang. Ia digambarkan sebagai guru yang jujur dalam bertanya dan menuntut murid-muridnya berpikir dan menjawab. Salah satu tulisan yang sangat bagus menggambarkan itu adalah oleh Daryono. Tentang Buya Syafii, ia menulis
“Buya memang bukan cuma seorang pengajar. Buya adalah seorang pendidik. Ia bukan hanya memberikan kunci atas tumpukan lembaran soal-soal. Ia mengajark kita untuk tidak begitu saja mempercayai sesuatu, tidak pasrah mengikuti suara-suara riuh rendah kerumunan, dan bukan cuma menaman dan memanen, tetapi harus mencangkul dan menggali. Buya mengajar kita untuk terus merdeka sebagai manusia” (Daryono, 2021, p. 264)
KESIMPULAN
Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif adalah seorang pahlawan kemanusiaan Indonesia. Ia secara aktif mengampanyekan ide-idenya lalu berlaku secara konsisten untuk mewujudkan ide tersebut. Isu kemanusiaan dalam dunia pikir dan laku Buya Syafii berpusat pada dua sub-isu mendasar, yaitu keadilan sosial dan pendidikan. Baginya, kedua hal ini adalah prasyarat agar manusia menjadi sebenarnya manusia.
Reputasinya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke 13 (1998-2005) memberi modal besar untuk dirinya menjadi tokoh dan guru bagi semua orang. Menjadi akademisi dan aktivis Bangsa dengan latar belakang Minangkabau dan mantan wartawan, membuat Buya Syafii dapat mengkomunikasikan ide-ide besarnya dengan diksi menarik, lugas dan dapat dipahami oleh banyak kalangan. Ini membuat dirinya meraih berbagai pengakuan internasional ketika hidup, seperti dipercaya sebagai presiden World Confrence of Relgion and Peace (WCRP) hingga meraih Ramon Magsaysay Award. Pengakuan sebagai Bapak Bangsa adalah punca dari reputasi seorang Buya Syafii.
Dengan semua reputasi yang telah terbangun, penulis berkesimpulan bahwa sangat layak kiranya Buya Syafii memperoleh status kepahlawanan. Hal ini penting agar teladan dan warisan Buya Syafii dapat lebih diabdikan sehingga terus membawa inspirasi kebaikan pada bangsa dan negara, hingga kapanpun.
REFERENSI
Buya Syafii sebut radikalisme tumbuh subur karena kesenjangan sosial | merdeka.com. (n.d.). Retrieved December 20, 2022, from https://www.merdeka.com/peristiwa/buya-syafii-sebut-radikalisme-tumbuh-subur-karena-kesenjangan-sosial.html
Daryono, I. A. (2021). Socrates Van Nogotirto. In Mencari Negarawan. JIBPost.
developer, mediaindonesia com. (2017, November 6). Buya Syafii: Sila Kelima Pancasila Kunci Tangkal Radikalisme. https://mediaindonesia.com/nusantara/130799/buya-syafii-sila-kelima-pancasila-kunci-tangkal-radikalisme
Magnis-Suseno, F. (2022). BUYA AHMAD SYAFI’I MA’ARIF: PAHLAWAN NASIONAL. -.
Nasionalisme Ekonomi dan Kemerdekaan Bangsa. (2017, June 20). Republika Online. https://republika.co.id/share/orsn38319
Nasir, H. (2021). Buya Bagai Rumah Terbuka. In Mencari Negarawan. JIBPost.
Naska, I. (Director). (2022, Desember). Workshop Penulisan Naskah Buya Syafii Maarif Sebagai Pahlawan Nasional-UM Sumatera Barat. UM Sumatera Barat.
Praksisme Pancasila (I). (2017, October 17). Republika Online. https://republika.co.id/share/oxx10b440
Praksisme Pancasila (II). (2017, October 24). Republika Online. https://republika.co.id/share/oya49d440
Syafii Maarif, A. (n.d.). Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah (2015th ed.). Mizan.
Komentar