NU Multipolar, Muhammadiyah Wujud Hayati dan Habibat
Oleh
Shofwan Karim
Salah satu testimoni Yahya Cholil Tsaqub sebagai “Panglima” PB NU 2022-2027 adalah gambaran kepemimpinan yang merangkum cakupan multi polar. Yaitu mengambil semua unsur dan ketegori potensi tokoh NU. Mereka bergabung ke dalam 184 personalia pada posisi Tanfiziyah (Eksekutif), Mustasyar (Penasihat Syuriyah), Syuriah ( Majelis Tinggi dan Legislatif), Katib (Deputi) dan A’wan (Pembantu Umum) . Hal itu disampaikannya kemarin lalu (12/1/2022), sebagai salah satu tekad dan asa masa kepemimpinannya bersama Rais ‘Am Syuriah terpilih, KH Miftachul Achya, 2022-2027.
Tercermin
dari nama-nama tokoh dari berbagai provinsi di Indonesia yang diambil dari PW
NU. Begitu pula tokoh partai politik
dari PKB, PPP, Golkar dan PDIP. Bertambah banyak tokoh pemimpin wanita NU.
Tokoh wanita ditarik banyak ke atas dengan tidak membiarkan mereka, para Nyai
yang berkualitas itu selama ini hanya di Muslimat NU.
Untuk tokoh
dari provinsi, sekedar contoh Suleman Tanjung, M.Pd sekarang menjadi Wakil
Sekjen. Wartawan senior itu masih Sekretaris
PW NU Sumbar . Prof. Dr. Asasriwarni Ketua
Syuriah PW NU Sumbar, menjadi A’wan
Pusat dan Aswandi Rahman, Bendahara PW NU Sumbar menjadi salah seorang Bendahara
PB NU, 5 tahun ke depan.
Tentu saja
semua Ormas Islam di Sumbar mengucapkan selamat. Dalam hal ini Pimpinan Wilayah
dan warga Muhammadiyah Sumbar menyambut baik kepemimpinan nasional baru NU ini.
Multi polar
ini merupakan gaya baru dari wujud-hayati dari fitrah kelahiran Jam’iah
Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama) yang bediri 31 Januari 1926. Pada masa awal
NU hanya kawah perjuangan ulama yang berbasis di Pesantren . Akan tetapi
habitat lingkungan berubah.
Sama dengan
Muhammadiyah sebagai persyarikatan dan NU
sebagai jam’iah, selalu di samping mempunyai wujud-hayati asal, kemudian berubah dengan perkembangan habitat
lingkungan terbatas yang menjadi tak
terbatas.
Maka bila
kita ingin mengapresiasi Muhammadiyah dan NU, tentu harus ditilik dan didalami,
meski bersifat ikhtisar terhadap dua organisasi terbesar yang disebut bukan
hanya di Indonesia bahkan dunia ini.
PWM dan
PWNU ada disemua provinsi Indonesia. Di Mancanegara di lima benua ada Pimpinan
Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) dan PCINU. Lembaga pendidikan Muhammadiyah
ada di Mesir, Malaysia dan Australia dan segera di Palestina.
Begitu pula
NU ada Masjid NU di Tokyo Jepang. Mahasiswa Muhammadiyah - NU ada di berbagai
perguruan tinggi di dunia. Pekerja migran Muhammadiyah-NU ada puluhan ribu
bahkan ratusan ribu di Saudi Arabia, Malaysia, Singapura, Taiwan, Korea, China
dan Hongkong.
LazisMu,
MDMC dan LazisNU ikut membantu musibah kemanusiaan di Palestina dan Miyanmar,
Bangladesh dan Pakistan. Misi dan dialog antar lintas umat di dalam dan luar
negeri, pertemuan ulama sedunia dan lainnya sejak dulu sampai sekarang sangat
aktif diikuti Indonesia yang di situ selalu aktif tokoh Muhamadiyah dan NU bersama-sama.
Muhammadiyah
dan NU adalah wujud gerakan masyarakat
kewargaan (MK) - Civil Society.
Di dalam negara demokrasi, menghargai wujud
hayati dan habitat MK merupakan unsur hakikat demokrasi itu
sendiri.
MK itu di
samping orang-perorang, ada yang berhimpun secara kolegial dan komunal. Di
antaranya berbentuk Organisasi
Masyarakat (Ormas), LSM, Yayasan dan himpunan sosial lainnya.
Ormas belum
temasuk dalam konsep pembagian kekuasaan
negara Trias Politica pada masa lalu. Montesquieu
(1689-1765) dalam Trias Politica mendistribusikan kekuasaan negara kepada 3 ranah: (1) pelaksana undang (eksekutif), (2) pembuat undang-udang (legislatif), dan (3) pengawas undang-undang-kehakiman (yudikatif). Sampai pertengahan abad lalu tak begitu
diperhitungkan keikut-sertaan MK
sebagai pilar diluar 3 kategori tadi.
MK dalam hal ini Ormas sebenarnya merupakan lembaga swadaya yang bersifat inisiatif rakyat
sukarela tanpa embel-embel. Oleh karena itu partisipasi mayarakat di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai Ormas tak bisa diabaikan.
Setelah tahun
1970-an atau sejak 50 tahun lalu, di dalam praktiknya pilar demokrasi itu tidak
hanya Trias Politica tadi. Beberapa pakar menambah dua lagi,
yaitu MK atau Ormas serta Media Massa. Karena Ormas sesuai aturan, juga
menjalankan program nyata kehidupan dan
pembangunan bangsa dalam berbagai bidang.
Melengkapi
itu media massa, di samping berfungsi sebar informasi, media pendidikan, media hiburan,
media komersial-iklan, lebih-lebih lagi ikut menyalurkan aspirasi dan mengawasi pelaksanaan
pembangunan.
Ormas dan
mass-media adalah wujud-hayati bukti
lain sebagai partisipasi langsung
dan konkret kerja serta pengawasan oleh rakyat terhadap penyelenggara
negara.
Akan halnya
Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan NU adalah bagian 67 Organisasi
yang mendukung MUI dan mereka duduk di situ atas nama Ormas masing-masing.
Ke-67 Ormas itu mempunyai hayati dan habitatnya sendiri. Tanpa
Ormas, MUI kehilangan wujud-hayatinya.
Di antara
banyak Ormas itu, sekedar contoh adalah Muhammadiyah dan NU. Muhammadiyah lahir
18 November 1912 dan NU lahir 31 Januari 1926.
Kedua Ormas
itu didirikan oleh ulama dan tokoh sentral bersama-sama ulama dan tokoh para
sahabatnya secara kolektif.
Walaupun
begitu tetap saja dalam wacana publik
yang ditonjolkan sebagai pendiri Muhammadiyah adalah KH Ahmad Dahlan
(1868-1923) .
Begitu pula
NU didirikan oleh KH Hasyim Asy’ari (1871-1947). Kedua mereka berasal dari satu
orang kakek, yaitu Maulana Ainul Yakin bin Maulana Ishak.
Dahlan
yang masa kecilnya bernama M Darwis (usia 16) dan Hasyim Asy’ari (usia 14) sama nyantri belajar Qur’an, hadist, fikih, tasawuf dengan guru yang sama Ustazd Shaleh pada
Pesantren Kiyai Murtadho, mertua Shaleh.
Menunjukkan
keakraban di antara mereka, Darwis memanggil Adik Hasyim dan Hasyim memanggil
Mas Darwis. Hal itu berlanjut .
Guru mereka
di Mekah sama, yaitu ulama Minangkabau Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860—1916). Di sana keduanya (1893-1890) dan tentu bersama ulama lain
bersentuhan bukan hanya dengan pemikiran yang hidup di Semenanjung Arabia, tetapi juga membaca kitab, beririsan dengan
pemikiran serta diskursurs ulama yang
kala itu berorientasi kemajuan, ilmu pengetahuan dan peradaban dalam membumikan
Quran dan sunnah.
Kala itu
ada tokoh Mesir, Turki,
Syria, Iran, Afghanistan dan
India. Di antaranya yang amat popoler Jamaluddin al-Afghani ( 1838-1897) dan Muhammad
Abduh ( 1849-1905) serta Rasyid Ridha (1865-1935). Belakangan ketiganya bersama ulama sealiran dianggap tokoh modern dalam pemikiran dan
gerakan dunia Islam .
Setelah
beberapa masa pulang dari Mekah itulah
keduanya mendirikan Muhammadiyah dan NU.
Secara
hayati Muhammadiyah berarti pengikut Muhammad lahir untuk menyebarkan ajaran
Islam yang di bawa Nabi Muhammad Rasululllah saw. Kegiatan awal adalah
pendalaman agama dengan halaqah, lingkaran pengajian Quran, makna, tafsiran dan
bagaimana membumikannya.
Menggesa
pemikiran rasional dan berkemajuan. Menggerakkan amal, ikhtiar dan usaha
mempaktekkan ajaran Quran dan Hadist
dalam kehidupan kemanusian secara nyata.
Apa yang
disebut dalam Quran untuk beberapa yang mungkin harus menjadi bukti tampak dan
terukur. Bukan semata nasihat, taushiyah,
kabar gembira, kabar pertakut, apalagi
bualan semata.
Misalnya memahami praktik Surat al-Maun. Apa kaitan mendirika,
mengerjakan shalat dengan kepedulian kepada anak yatim dan orang miskin.
Hubungan shalat dengan membantu orang yang lain yang membutuhkan secara bekelanjutan.
Maka secara hayati, Muhammadiyah adalah geakan keagamaan, social,
kejahteraan, ilmu pengetahuan,
pendidikan dan kemanusiaan.
Sejalan
dengan Muhammadiyah dalam soal mahami
makna Islam dan masyarakat serupa tetapi di sana sini ada variasi, maka
lahirlah Nahdhatul Ulama. Artinya
kebangkitan para ulama. Gerakan para ulama dalam pendidikan. Muhammadiyah berbasis
pengajian dan halaqah searta sekolah dan madrasah.
Sedangkan
NU berbasis Pesantren dan Kiyai sebagai figur sentral. Melakukan pengajian
khusus. Muhammadiyah mempopulerkan dakwah lisan dengan siaran langsung tatap
muka dalam jumlah besar yang disebut Tabligh.
NU
belakangan juga begitu. Tetapi habitat
berkembang. Dari semula secara hayati Pesantren
adalah basis NU dan Madrasah atau sekolah basis Muhamadiyah. Belakangan
keduanya saling mengisi. Muhammdiyah semakin gencar mengambangkan pesantren di
samping sekolah dan madrasaah. Begitu pula NU gencar mengembangkan sekolah dan
madasarah di samping pesantren.
Ada 172
Perguruan Tinggi dan Universitas
Muhammadiyah-Aisyiyah. Ada puluhan Perguruan Tinggi dan Universitas NU.
Sampai
beberapa dekade awal, secara umum Muhammadiyah disebut sebagai Gerakan
modernisme Islam karena selalu menggali ajaran Islam menurut ilmu pengetahuan, logika dan budaya modern yang tak bertentangan
dengan Quran dan Sunnah.
Mereka
tidak menolak mazhab fikih tetapi tidak
mewajibkan mazhab tertentu dalam ibadah dan muamalah.
Sementara
NU memilih salah satu Mazhab fikih.
Muhammadiyah terus memperbaharui pemahamannya dalam agama hampir
meliputi semua bidang yang menjadi lahan ijtihad muamalah, memurnikan akidah dan ibadah dalam
kajian Tarjih dan Tajdid.
Begitu pula
NU selalu meninjau dan membahas ulang paham lapangan ijtihad muamalah
mereka yang disebut “bahtsul masaail”.
NU pada eksistensi awal atau hayatinya memilih salah satu dari Mazahab Fikih
yang ada.
Akan tetapi
sekarang habitat ulama NU pada berbagai bidang tertentu sudah melampaui
zamannya. Dalam konteks politik kelihatan warga dan pemimpin Muhammadiyah bebas
aktif dan NU lebih bervariasi. Kader-kader NU ada di mana-mana. Mereka tidak
lagi membatasi masuknya berbagai potensi dan sumber. Cukup sebelum atau sesudah
di NU mereka di didik dalam kancah Madrasah Kader NU. Untuk diisi pengetahuan,
pemahaman dan praktik kebergamaan serta kurikulum lainnya. Lalu mereka menjadi
kader NU . Kemudian dengan multi polar posisi itu mereka menggesa kadernya
masuk ke berbagai lini.
Muhammadiyah
dan NU pada dasarnya secara wujud-hayati berada dalam lingkaran satu pemahaman
keberislaman yang saling melengkapi. Akan tetapi habitatnya ada variasi.
Yang satu
lebih simple dan yang lain lebih berwarna. Maka keduanya dapat kita apresiasi
baik dalam makna hayati maupun habitatnya.
Bagaimana
warna politik pada habitat berikut bagi Muhammadiyah?
Nanti kita lihat produk muktamarnya November 2022. *** (Shofwan Karim Ketua
PWM, Dosen PPs UM Sumbar dan Ketua Umum YPKM).
Komentar