Anwar Abbas: Hamka dan Quraisy ttg Ahlu al-Zikri
QURAISY SHIHAB DAN HAMKA SERTA TAFSIR AYAT FAS'AL AHLADZ DZIKR ( An-nahal 16 : 43).
Oleh : Anwar Abbas
Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan.
Menurut Quraisy syihab ayat ini terkait dengan
ayat-ayat sebelumnya yang bercerita tentang orang-orang musyrik yang mengingkari keesaan Allah dan hari akhir serta kerasulan nabi muhammad saw. Oleh karena itu ayat ini turun kata quraisy shihab adalah untuk mengingatkan mereka-mereka yang ragu dan tidak tahu tersebut dengan bertanya kepada ahl adzdzikr yakni orang-orang yang berpengetahuan jika kamu memang tidak mengetahui. Siapa yang dimaksud dengan ahlu al-dzikr disini ? Ahlu al-dzikr atau Orang yang berpengetahuan disini menurut Quraisy shihab bisa saja ahl al-kitab selama mereka dinilai berpengetahuan dan objektive. Jadi dari ayat ini menurut Quraisy Shihab jelas sekali terlihat bahwa orang islam itu adalah sangat terbuka sekali dalam memperoleh pengetahuan.
Buya Hamka juga mengatakan hal yang serupa dimana kalau ada yang masih belum percaya tentang apa yang dibawa oleh nabi Muhammad maka umat islam dipersilahkan untuk bertanya kepada orang yahudi dan nasrani yang telah menerima kitab2 dan ajaran dari nabi2 yang dahulu itu. Sebab Hamka yakin Kalau mereka yang ditanya dan dimintain pendapatnya itu adalah orang-orang yang jujur niscaya mereka akan memberitahukan hal yang sebenarnya. Untuk memperkuat penjelasannya tersebut Hamka mengutip hadis yang diriwayatkan oleh mujahid dari ibnu abbas bahwa ahludz dzikri disini maksudnya ialah ahlul kitab tapi ahlul kitab yang dimaksudkannya disini adalah adalah ahlul kitab yang belum dipengaruhi oleh nafsu ingin menang sendiri, karena Hamka sangat yakin kalau seandainya mereka mau berlaku jujur maka tentu mereka akan mengakui bahwa nabi2 dan rasul2 yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka dan merupakan manusia pilihan yang diberi wahyu oleh Allah. Jadi dari ayat ini kata Hamka bila kita ragu tentang sesuatu maka kita kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya dimana saja dan dengan siapa saja sebab yang kita cari dalam hidup ini menurut Hamka adalah kebenaran. Untuk mencari kebenaran tersebut hamka dalam tafsirnya tersebut tidak hanya terpaku kepada penafsiran seperti demikian, beliau juga memberi perspektif lain dengan mengutip kata-kata ja'far al baqir cucu rasulullah yang mengatakan bahwa yang dimaksud ahludz dzikri di dalam ayat ini adalah kita sendiri yaitu para ulama yang benar2 faham dengan alquran karena ulama dari umat inilah yang berhak disebut ahludz dzikri sebab beberapa ayat dalam alquran menyebut bahwa alquran itulah adzdzikr. Untuk itu dibagian akhir tafsirnya tentang ayat ini Hamka menyatakan bahwa di antara kedua tafsir itu tidaklah berlawanan. Sudah menjadi prinsip bagi Hamka bahwa dalam hal yang mengenai ilmu-ilmu agama islam itu sendiri dan juga tentang ilmu2 yang lain yang lebih umum maka sudah selayaknya kita bertanya kepada ahludz dzikrinya sendiri, ini menjadi tanda kata beliau bahwa kita umat islam adalah orang yang berpaham luas dan berdada lapang. Hal itu kata Hamka perlu dan boleh kita lakukan adalah supaya kita bisa mendapatkan penjelasan berupa keterangan-keterangan dan alasan-alasan dari masalah yang kita hadapi dan itu kita lakukan adalah untuk menguatkan pendirian kita bahwa Allah Ta'ala itu Ada dan Tunggal serta tidak berserikat dengan yang lain. Dan dengan pemahaman yang baik terhadap maksud dari ayat ini kita kata Hamka akan semakin menjadi tahu bahwa kewajiban nabi muhammad saw untuk menyampaikan peringatan dan firman-firman Allah tersebut (alquran/aldzikr) bukanlah merupakan kewajiban yang baru melainkan ia sudah merupakan sambungan mata rantai dari rencana Allah untuk membimbing dan memberi petunjuk kepada umat manusia yang telah dimulai sejak Adam sampai kepada berpuluh rasul sesudahnya sampai kepada dirinya sendiri. Oleh karena itu dalam lanjutan ayat ini atau dalam ayat ke 44 kita atau mereka ditantang oleh Tuhan untuk melakukan hal tersebut tentu bukanlah tanpa tujuan tapi adalah supaya mereka berfikir sehingga kata Hamka dia tahu dengan baik tentang dirinya, tentang hidupnya , tentang Tuhannya dan tentang bagaimana hubungannya dengan Allah itu sendiri. Dan ini tentu jelas-jelas merupakan hal yang sangat penting dan mendasar sekali dalam hal kita berislam dan dalam melaksanakan semua ajaran yang terdapat di dalamnya. Untuk itu menurut saya tidak ada salahnya jika kita bertanya kepada ahludz dzikr yaitu al-ulama bi Taurati wal injil. Cuma pertanyaannya masih adakah kitab taurat dan injil yang asli yang diturunkan oleh Allah swt kepada musa dan isa tersebut ? Kesimpulan saya hal itu sudah tidak ada . Oleh karena itu yang namanya ulama ahlil kitab itu sekarang ini sudah tidak ada. Oleh karena itu implikasi teologis dan praktisnya kita tidak lagi perlu bertanya tentang masalah-masalah yang terkait dengan akidah tersebut kepada ulama yahudi dan nasrani yang kitab sucinya bukan lagi taurat dan injil yang asli tersebut karena jika kita bertanya kepada mereka maka hasilnya sudah pasti tidak akan sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Allah swt seperti yang terdapat dalam kitab suciNya yaitu alquran/al-dzikru dan itu secara aqidah dan teologis benar-benar sudah tampak dan terbukti oleh kita secara empiris. Oleh karena itu implementasi ayat tersebut dalam konteks hari ini kalau kita akan bertanya tentang masalah agama maka tanyalah ulama yang predikatnya memang benar2 sebagai waratsatul anbiya bukan lainnya. Tks.
Ciputat, 20 Juni 2021
Jam 17.20 sore.
Komentar