Eligi dari Padang Bintungan

Eligi dari Padang Bintungan

Beranda > InformasiOpini > Eligi dari Padang Bintungan

Hampir 40 tahun lalu, rimba itu mulai diteruka. Ada 450 kepala keluarga membuka hutan kehidupan dalam belantara nasib yang mulai ditapaki. Maaruf, adalah salah satu di antara kepala keluarga yang mengekas kaki dan tangannya mencakar merambah semak-belukar perawan tak bertuan itu dulu.
Arah ke Selatan, lebih kurang 17 km dari Koto Baru, kini wilayah ini sudah menjadi enam jorong dalam kenagarian Sialang Gaung dan segera akan menjadi kenagarian Padang Bintungan.


Warga anak Nagari Bintungan merasa tenteram hidup setelah menjadi kaum muhajirin di pertengahan 1970-an. Mereka adalah kawula nusantara yang hijrah dari Wonogori dan sekitarnya setelah proyek waduk raksasa itu menjadi listrik penerangan Jawa dan Bali.

Kata Maaruf, soal ekonomi tidak terlalu payah. Mereka membuka sawah dan ladang. Ada yang yang menanam padi dan tanaman plawija. Ada yang berternak memelihara penggemukan sapi. Ada pula yang membuka kebun karet tentu sebagian ada yang mengikuti proyek inti-plasma kebun sawit.

Selebihnya banyak yang menjadi buruh di berbagai lahan perkebunan dan pertambangan. Sebagai bagian dari wilayah Dharmasyara, kabupaten baru usia 7 tahun, Padang Bintungan menjadi sepenggal harapan kehidupan anak nagari. Dharmasraya yang kaya kebun sawit, kebun karet dan tambang Batu Bara, Mangan, Biji Besi dan Emas ini, juga membalut cerita dalam suka dan duka yang menyatu.

Maaruf, Sastro dan Miyarso, adalah tiga generasi (65, 55, 35 th) yang dengan setia hidup di sini. Mereka dengan sepenuh hati mengayuh biduk kehidupan bersama warga yang kini sudah berkembang menjadi 800 kepala keluarga dengan sekitar 2000 jiwa. 

Maaruf memiliki beberapa orang anak dan 3 di antaranya sudah sarjana dan pascasarjana. Sastro Tukimin adalah ketua pengurus Masjid Al-Falah yang menggantikan Maaruf. Miyarso, sarjana dan kini mengabdi di kantor Pemda Kabupaten ini sekaligus menjadi motivator ulung bagi pembangunan masyarakat.
Sebagai sarjana ilmu sosial, Miyarso cekatan dan mampu menjadi pemimpin dalam segala hal bahkan sekaligus menjadi pemimpin ibadah.

Kata Maaruf, Masjid Al-Falah yang terletak di lahan hampir 1 hektar, luas bangunannya berukuran 20 kali 20 meter itu adalah wakaf dari satu keluarga dari Timur Tengah, tepatnya Negara Kuwait pada lebih kurang 20 tahun lalu.

Ketika Tim Safari Ramadhan Pemda Prov Sumbar Sabtu, 28/8 kemarin berkunjung ke Masjid ini, kelihatan jamaahnya penuh sesak. Miyarso yang muda dan cekatan itu bahkan di sela-sela memimpin acara, menyelipkan pesan-pesan. Katanya, semua makanan dan minuman yang disajikan malam itu adalah produk anak nagari Padang Bintungan.

Kecuali Teh yang disedu malam ini adalah asli dari jawa tetapi khas untuk Padang Bintungan, maka yang lain adalah produk tani anak nagari di sini. Istimewa dari itu, rupanya Padang Bintungan menyimpan sekitar seratusan sarjana S1 dan sepuluhan Sarjana S2 dari berbagai disiplin ilmu. Termasuk sarjana pertanian dan peternakan. Mereka alumni dari berbagai Universitas dan Perguruan Tinggi di Sumbar dan di Jawa. 

Tetapi, Maaruf tetap saja menyelipkan sebuah eligi. Irama perjuangan dan kepedihan. Katanya, kebanyakan anak-anak mereka yang sarjana, terpaksa keluar daerah mencari pekerjaan. Ada yang di Jawa atau wilayah lain di Sumatera. Di antara mereka banyak juga yang masih tinggal di Nagari Padang Bintungan dengan ijazah yang disimpan baik-baik dalam lemari. Walau begitu, kami ikhlas, kata Maaruf senyum penuh arti.


https://aqidahfilsafat.wordpress.com/2011/07/13/eligi-dari-padang-bintungan/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan