Kunci Kekuatan Taliban

Oktober 31, 2008...5:40 am

Kunci Kekuatan Taliban

Lompat ke Komentar

Oleh Dina Y. Sulaeman*

dimuat di koran Singgalang edisi hari ini.

Perang melawan terorisme yang dilancarkan AS di Afganistan sudah berlangsung 7 tahun. Serangan AS pada musim gugur 2001 memang berhasil menggulingkan rezim Taliban dan disusul dengan dibentuknya pemerintahan Afganistan yang dipilih melalui pemilu. Namun, kenyataannya, Taliban secara de facto tetap tak terkalahkan. Bahkan, Brigadir Mark Carleton-Smith, Komandan Pasukan Inggris di Afganistan pada awal bulan Oktober memproklamasikan, “Kita tidak bisa mengalahkan Taliban,” (The Times, 6/10). ABC News online bahkan juga menyebut tahun 2008 sebagai tahun mematikan bagi tentara asing di Afgan. Padahal, saat ini sekitar 33.000 tentara AS tengah bercokol di negeri ini, ditambah dengan 65.000 tentara NATO yang didatangkan dari 40 negara.

Tidakkah ini menimbulkan tanda tanya besar? Sebuah pasukan yang dicitrakan primitif, berjuang di gunung-gunung batu, punya paham ekstrim kanan, ternyata tak bisa ditaklukkan oleh pasukan tercanggih dunia yang bersenjata lengkap meski perang berlangsung 7 tahun. Osama bin Laden yang disebut AS sebagai teroris nomor 1 dunia, juga tak kunjung tertangkap. Padahal, hampir seluruh pelosok Afghan konon sudah disisir. Sejak 2001, lebih dari 1000 tentara asing dan 1500 warga sipil tewas dalam operasi-operasi militer yang konon bertujuan untuk mencari Osama dan gerombolan Al Qaeda.

Sebuah buku berjudul Bin Ladden, the Forbidden Truth agaknya bisa memberi titik terang pada tanda tanya di atas. Buku karya Brisard dan Dasquie menceritakan adanya negosiasi rahasia antara Bush dengan rezim Taliban pada tahun 2001, sebelum terjadinya tragedi 11 September. Negosiasi itu intinya berisikan kesediaan AS menerima rezim Taliban dan tidak lagi menyebutnya sebagai organisasi teroris jika Taliban bekerjasama dalam proyek minyak di Asia Tengah. AS memang ingin melepaskan diri dari ketergantungan minyak pada Timur Tengah. Ladang-ladang minyak yang layak untuk dieksplorasi terletak di negara-negara Laut Kaspia dan Asia Tengah, seperti Kazakhstan, Azebaijan, dan Tajikiskan. Problemnya, minyak di kawasan itu harus melewati Rusia untuk bisa sampai ke pasar dunia dan ini bukan pilihan yang baik untuk AS. Pilihan lain, yang juga mustahil diambil AS adalah, minyak dialirkan melalui Iran, lalu menembus Teluk Persia. Pilihan terakhir dan terbaik (bagi AS) adalah membangun pipa minyak dari Turkmenistan, terus melewati Afganistan dan Pakistan, hingga sampai di Samudera India. Tak heran bila AS sedemikian bertahan menduduki Afganistan, meski korban nyawa telah sedemikian banyak.

Indikasi lain adanya bisnis minyak di balik serangan AS ke Afganistan adalah bahwa hingga kini, AS tidak pernah mencatatkan Afganistan sebagai negara sponsor terorisme. Padahal, sudah jelas Taleban dan Bin Laden bermarkas dan merajalela di Afganistan. Di saat yang sama, AS memasukkan nama Iran, Suriah, Korea Utara sebagai negara pendukung terorisme tanpa alasan yang masuk akal. Tentu saja, seandainya Afganistan dikategorikan sebagai negara sponsor terorisme, akan mencoreng citra AS jika menanamkan modal bisnis minyak di sana. Fakta aneh lain yang terungkap adalah bahwa sesungguhnya keluarga Bin Laden dan Bush punya hubungan erat di bidang bisnis.

Ada beberapa prediksi terkait hasil negosiasi Bush-Taliban pra Tragedi 11 September itu. Sebagian sumber menyebutkan bahwa Taliban menolak bekerja sama dengan AS. Ada pula sumber lain yang menilai bahwa negosiasi itu membuktikan bahwa invasi AS ke Afgan sudah dipersiapkan jauh sebelum terjadinya 11/9. Namun, yang jelas, tragedi terorisme canggih ala 11/9 itu (yang anehnya, tidak mampu terdeteksi oleh agen FBI dan CIA yang selama ini dicitrakan sangat hebat), memberi alibi kuat bagi AS untuk melancarkan serangan ke Afghanistan dan Irak. Hanya dalam waktu 3 minggu, rezim Taleban bisa digulingkan.

Taliban Ternyata Didirikan CIA

Kini, mari kita melihat fakta di balik pendirian Taliban. Data menyebutkan bahwa antara tahun 1978 dan 1992, pemerintah AS mengucurkan minimalnya 6 juta US Dollar (sebagian bahkan menyebut angka $20 juta) untuk membeli senjata, melatih, dan mendanai pendirian sebuah kelompok jihad Afganistan demi mengusir Soviet dari Afganistan. Perlu diingat, saat itu tengah berkecamuk Perang Dingin AS-Soviet dan AS menggunakan segala cara untuk menghalangi meluasnya pengaruh Soviet di dunia.

Upaya itu juga didukung oleh Arab Saudi dan Pakistan, termasuk dinasti Bin Laden yang menyumbang dana jutaan dollar. Kelompok itu kemudian disebut Taleban, berasal dari kata Taleb atau pelajar, karena merekrut para pelajar Islam di Pakistan dan berbagai negara muslim. Ahmed Rashid, koresponden untuk Far Eastern Economic Review, menulis bahwa pada tahun 1986, Direktur CIA William Casey mengakui bantuan CIA kepada ISI (badan intelijen Pakistan) untuk merekrut pasukan jihad. Minimalnya 100,000 militas Islam berdatangan ke Pakistan antara tahun 1982 and 1992 (60.000 di antaranya pelajar Islam di Pakistan).

Perekrutan, penggalangan dana, dan penyediaan peralatan untuk Taleban disalurkan oleh organisasi Maktab al Khidamar (MAK) dan Osama Bin Laden adalah salah satu dari tiga pimpinan MAK. Pada tahun 1989, Bin Laden menguasai MAK sepenuhnya. Osama bin Laden, anak dari milyarder Arab Saudi, datang ke Afghanistan tahun 1980 untuk bergabung dalam gerakan jihad yang disponsori CIA itu. Dia bertugas merektrut, mendanai, dan melatih 35.000 sukarelawan non-Afghan yang bergabung dengan Taliban. Milt Bearden, Deputy CIA di Pakistan 1986-1989, mengakui, atas sepengetahuan CIA, Bin Laden membawa 20-25 juta dollar per bulan untuk membiayai perang (New Yorker, 24/1/2000). Bin Laden kemudian mendirikan organisasi Al Qaeda pada tahun 1987 yang menjadi pelaksana kamp-kamp pelatihan militan dan berbagai bisnis (perdagangan) di Afganistan.
Bulan madu Taleban-Al Qaeda-Bin Laden berakhir setelah Tragedi 11 September 2001. Segera setelah pengeboman menara WTC di New York yang menewaskan 5000-an orang itu, pemerintahan Bush menuduh Al Qaeda lah pelakunya dan segera setelah itu, melancarkan serangan ke Irak dan Afganistan tanpa izin PBB.

Lalu, kembali ke pertanyaan, mengapa Taliban dan Bin Laden tetap tak terkalahkan hingga kini? Jawabannya sangat sederhana: Taliban adalah kunci bagi AS untuk terus bercokol di Afganistan. Bila Taleban kalah dan Afganistan aman, sulit bagi AS untuk memaksakan kehendaknya (dan proyek-proyeknya) di negeri itu. Pembentukan pemerintahan dan UUD Afganistan segera setelah rezim Taleban digulingkan menunjukkan bahwa rakyat Afganistan memilih bentuk negara Islam. Bila dibiarkan begitu saja, Afganistan akan sangat mudah bersekutu dengan Iran (kedua negara memiliki sejarah historis yang hampir sama, bahkan keduanya dulu pernah tergabung dalam satu negara, dengan bahasa yang sama). Itulah sebabnya, AS tak pernah membiarkan bangsa Afgan mengatur sendiri negaranya. AS terus bercokol di sana, menghancurkan berbagai infrastruktur dan membunuh warga sipil dengan alasan, untuk menumpas Taleban. Dan itulah kunci kekuatan Taleban: AS memang masih membutuhkan keberadaannya.

*pemerhati kajian Timur Tengah, penulis buku Ahmadinejad on Palestine

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shofwan Karim, Obituari Buya Mirdas Ilyas (3): Satu Rumah-Posko Bersama

Sejarah Tahlilan